Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Tanda di Balik Bambu Kuning
Pagi itu, langit tampak lebih terang dari biasanya. Tapi bukan terang yang menenangkan. Seperti cahaya yang terlalu putih, menyilaukan, menyembunyikan sesuatu di balik cahayanya.
Reno terbangun dengan rasa berat di dada. Ia memandangi jendela kamarnya yang masih berembun. Di sudut kaca, terlihat garis-garis samar seperti guratan tangan kecil. Ia ingat jelas suara anak kecil semalam. Diti.
Di balai desa, Bahri sudah lebih dulu duduk dengan wajah tegang. Ajo, Damar, dan Ucup datang terlambat seperti biasa. Ucup muncul sambil menggenggam setengah pisang goreng.
“Maaf telat, Pak Dukun, saya mimpi dibawa Palasik masuk pasar malam. Beli gelang, eh kepalanya terbang!”
Ajo ngakak, “Gue mimpi dia jualan cilok, terus kepalanya aja yang ngaduk kuah.”
Bahri tidak tertawa. “Kalian masih bisa bercanda, itu bagus. Tapi mulai hari ini, kita akan melihat wujud sebenarnya dari Rakasa kedua. Dan dia... tidak sehumoris kalian.”
Bahri lalu menunjukkan peta tua peninggalan leluhur desa yang diturunkan oleh Simbah Rum. Di pojok peta itu, ada simbol bambu kuning melingkar, dan satu titik merah kecil di tengahnya.
“Di sanalah gerbang kedua tersembunyi. Di balik rumpun bambu kuning di pinggir sungai Purwo.”
Ajo berbisik, “Waduh, tempat itu kan dikenal angker dari dulu. Banyak yang kesurupan kalau lewat malam-malam.”
Damar menambahkan, “Pak Lurah juga pernah kehilangan sapi di sana. Kata warga, sapinya nggak hilang... tapi dibungkus kabut, lalu lenyap.”
Bahri mengangguk. “Rakasa kedua adalah penjaga kabut. Dia tidak muncul dalam bentuk nyata, tapi lewat mimpi, ilusi, dan bisikan. Ia membuat orang percaya bahwa mereka sedang aman... padahal sudah berada di mulut bahaya.”
Ucup menatap serius. “Kayak mantan aku, ya. Manis di awal, bikin aku percaya. Eh, tahu-tahu ditinggal pas THR turun.”
Semua tertawa—bahkan Bahri pun tersenyum tipis.
Perjalanan ke lokasi bambu kuning memakan waktu dua jam jalan kaki. Sepanjang jalan, mereka melewati kebun kopi, pohon aren, dan beberapa bangunan tua yang sudah lama terbengkalai. Ucup sempat tersandung akar pohon dan terperosok ke lumpur.
“Ini pasti ulah Rakasa. Dia tau aku ganteng, makanya disabotase,” katanya sambil berdiri dengan wajah penuh tanah.
Sesampainya di tepi sungai Purwo, mereka melihat rumpun bambu kuning yang sangat lebat. Tidak ada suara burung, jangkrik pun enggan bernyanyi. Udara tiba-tiba menjadi lebih dingin.
Bahri meminta mereka duduk membentuk lingkaran. Di tengah lingkaran itu, diletakkan cermin bundar dan tiga lembar daun jati.
“Kita akan memanggil penjaga gerbang ini, bukan untuk bertarung... tapi untuk menunjukkan dirinya,” ujar Bahri sambil mulai membaca mantra.
Angin berhembus pelan, dan kabut mulai menyelimuti mereka. Dari dalam rumpun bambu, muncul bayangan hitam yang melayang. Tidak memiliki bentuk tetap—kadang menyerupai wanita, kadang menjadi anak kecil, lalu berubah jadi lelaki tua.
Bayangan itu bersuara:
“Siapa yang berani mengusik batas?”
Bahri berdiri. “Kami ingin kebenaran. Kami ingin menutup jalan Rakasa.”
Bayangan itu mendesis, lalu berbalik dan masuk ke dalam bambu. Namun dari bawah tanah, muncullah tangan-tangan hitam yang menggenggam kaki Reno dan Ajo.
Damar berteriak. “Pak Bahri! Mereka ditarik!”
Ucup langsung menyiram kaki Reno dengan air garam yang dibawa Bahri. Cengkeraman itu melepas, tapi meninggalkan bekas hitam seperti luka bakar.
Bahri melemparkan sesajen daun kelapa dan menancapkan tombak kecil berukir ke tanah. Tiba-tiba, dari langit muncul cahaya kuning keemasan yang menyinari rumpun bambu. Semua suara alam kembali. Angin bertiup, burung berkicau, dan kabut sirna.
Di depan mereka, terbuka sebuah lubang berbentuk segitiga, dengan dinding tanah yang diukir pola ular dan wajah manusia tanpa mata.
“Itu... gerbangnya,” bisik Bahri.
Tapi sebelum mereka mendekat, terdengar suara tawa dari dalam lubang. Bukan tawa anak-anak. Bukan tawa manusia.
“Sudah kukatakan, satu telah terbuka... kalian hanya mempercepat semuanya.”
Mereka semua menatap lubang itu. Reno menggenggam liontin Diti yang tiba-tiba bersinar. Ia tahu, jalan ke depan akan lebih berbahaya. Tapi ia juga tahu: kebenaran harus diungkap, atau seluruh desa akan menjadi tanah kosong tak berpenghuni.
Setelah kejadian di bambu kuning, Bahri merasa ada yang janggal. Ia kembali membuka naskah-naskah tua warisan leluhur desa yang tersimpan di peti kayu di rumah Simbah Rum. Di antara lembaran daun lontar yang rapuh, ia menemukan peta usang dengan catatan di bawahnya:
“Akar bencana berasal dari Ranah Bundo. Tempat di mana darah pertama ditumpahkan oleh tangan sendiri. Di sanalah Palasik pertama disemayamkan.”
Bahri menatap Reno yang duduk bersila di depannya. “Kita harus ke Sumatra Barat.”
Perjalanan menuju Sumatra Barat tidak mudah. Mereka harus menumpang bus antarkota, menyeberang dengan kapal kecil, lalu berjalan kaki menyusuri daerah Nagari Balingka, sebuah kampung tua di pinggang Bukit Barisan.
Ucup tentu saja paling berisik sepanjang perjalanan. “Gue pikir kita cuma ngusir hantu kampung, eh ini malah jadi trip backpacker horor!”
Ajo menimpali, “Tapi sumpah ya, udara di sini sejuk banget. Sayang nggak ada sinyal buat update story.”
Setibanya di Balingka, mereka disambut oleh seorang datuk tua bernama Datuk Mangkuto, penjaga naskah dan pelestari adat Minangkabau. Datuk Mangkuto mengenali nama Bahri dan langsung menyambut mereka ke rumah gadang miliknya.
“Aku sudah menunggu kalian,” kata Datuk dengan suara berat dan pelan. “Tanda-tanda sudah muncul. Palasik yang lama dikurung mulai bangkit.”
Di malam pertama mereka menginap, Reno bermimpi melihat sosok wanita tua berpakaian lusuh, dengan rambut panjang hingga tanah, duduk memeluk tengkorak bayi. Suaranya serak dan penuh dendam.
“Anakku... mereka ambil anakku... mereka bilang aku pembawa sial... Padahal aku cuma ingin anakku hidup.”
Reno terbangun dengan keringat dingin. Di luar, terdengar suara talempong berdentang sendiri tanpa pemain. Ajo dan Ucup yang tidur satu ruangan dengannya ikut terbangun.
“Lu juga denger?” bisik Ajo.
Ucup mengangguk. “Iya. Dan gue yakin itu bukan ringtone HP.”
Esoknya, Datuk Mangkuto membawa mereka ke sebuah bukit kecil yang dikenal dengan nama Bukik Malantai. Di sana terdapat batu nisan besar berbentuk tengkorak.
“Inilah makam Siti Rubiah, wanita yang disebut sebagai Palasik pertama dalam catatan kami,” ujar Datuk. “Dulu ia dukun bersalin, terkenal di seluruh nagari. Tapi ketika anaknya meninggal dalam kandungan, ia menolak untuk mengubur. Ia lakukan ritual terlarang... dan jadilah ia seperti sekarang.”
Bahri menyentuh batu nisan itu. “Energinya masih kuat. Ini bukan makam biasa. Ini gerbang.”
Reno menutup matanya dan mulai merasakan bisikan. Dalam gelap pikirannya, ia melihat Siti Rubiah berdiri di depan gerbang besar yang dipenuhi tengkorak bayi. Wajahnya dipenuhi luka, tapi matanya... kosong dan menyimpan harap.
“Kalian datang... tapi sudah terlambat. Aku sudah dilepaskan dari dalam tanah. Aku akan mencari anakku... meski harus mengambil semua anak dari rahim ibu-ibu manusia.”
Reno membuka mata. Napasnya tersengal.
Di desa Balingka, mulai terdengar berita anak-anak hilang. Bayi-bayi yang baru lahir tiba-tiba meninggal dalam kondisi aneh: mata terbuka, mulut tersenyum.
Ucup pucat saat mendengar berita itu. “Ini... ini serius, Pak Dukun.”
Ajo menambahkan, “Kita mesti buru-buru nutup gerbangnya. Atau dia bakal pindah ke desa kita.”
Bahri menatap langit yang mulai memerah. “Satu-satunya cara adalah memanggil roh anak Siti Rubiah... dan memintanya menuntun ibunya kembali ke tanah.”
Reno mengangguk. “Aku pernah bersentuhan dengan roh anak. Diti. Mungkin mereka bisa saling bicara.”
Malam itu, di puncak Bukik Malantai, mereka membuat lingkaran dari lilin damar dan daun rarak. Reno duduk di tengah, menggenggam liontin Diti dan tulang kecil pemberian Datuk.
Bahri membacakan mantra dalam bahasa Minang kuno.
Angin tiba-tiba berhenti. Waktu seperti membeku. Suara bayi terdengar sayup-sayup, lalu muncul cahaya kecil dari liontin. Sosok anak kecil muncul, bukan Diti... tapi bayi berusia sekitar dua tahun, merangkak pelan ke arah makam.
Tiba-tiba dari tanah, muncul asap hitam pekat, berubah menjadi kepala tua dengan rambut menggantung dan lidah menjulur panjang.
“Anakku...!” jeritnya.
Bayi itu menatap sosok mengerikan itu... lalu tersenyum.
Seketika, langit bergemuruh. Cahaya menyilaukan muncul dari langit dan menyerap sosok Palasik itu ke dalam makam.
Tanah kembali tenang. Udara kembali segar.
“Dia... akhirnya menemukan anaknya,” bisik Reno.
Datuk Mangkuto menunduk. “Tapi ini baru satu. Masih ada empat jejak Palasik lain di nusantara. Dan semuanya terikat.”
Bahri menatap jauh ke perbukitan. “Kita lanjut. Kita harus temukan semua sebelum mereka menyatu.”
biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
semangat Thor... semoga sukse...