Zee dan Zia adalah saudara kembar tak identik yang bersekolah di tempat berbeda. Zia, sang adik, bersekolah di asrama milik keluarganya, namun identitasnya sebagai pemilik asrama dirahasiakan. Sementara Zee, si kakak, bersekolah di sekolah internasional yang juga dikelola keluarganya.
Suatu hari, Zee menerima kabar bahwa Zia meninggal dunia setelah jatuh dari rooftop. Kabar itu menghancurkan dunianya. Namun, kematian Zia menyimpan misteri yang perlahan terungkap...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak?
Sudah beberapa hari sejak zia pergi, dan zee belum kembali ke sekolah. Ia masih terperangkap dalam duka--dan diam-diam mulai menyusun teka-teki di kepalanya.
Sore itu, Zee tak sengaja mendengar percakapan antara kepala sekolah asrama tempat Zia bersekolah dan kedua orang tuanya.
"Menurut penyelidikan awal... Zia kemungkinan besar bunuh diri," ucap kepala sekolah hati-hati.
Zee mengepalkan tangan. Omong kosong, batinnya. Ia tahu betul seperti zia sebenarnya. Ceria, hidupnya penuh semangat--mustahil Zia mengakhiri hidupnya sendiri.
Yang membuatnya makin marah, saat polisi dan detektif datang menawarkan bantuan penyelidikan, kedua orang tuanya justru menolaknya mentah-mentah.
“Ini takdir Zia,” ucap Zidan, datar. “Kalau ajalnya memang sudah sampai, mau bagaimana lagi?”
Zee ingin sekali berteriak, ingin membantah semua yang mereka katakan. Tapi ia tahu, suaranya tak akan berarti di tengah dinding penyangkalan itu.
Malam hari, pukul dua dini hari.
Zee masih belum bisa memejamkan matanya. Ia hanya membolak-balik tubuh di ranjangnya, hatinya dipenuhi rasa kehilangan dan amarah yang menyesakkan dada.
"Zia... kumohon, datanglah ke mimpiku. Aku rindu banget sama lo..." bisiknya lirih, memeluk bantalnya erat-erat.
Karena tidak juga bisa tidur, Zee bangkit. Ia melangkah pelan keluar dari kamarnya, menuju kamar Zia. Entah kenapa, ia merasa lebih tenang jika berada di sana.
Ceklek.
Begitu pintu terbuka, aroma vanila yang lembut langsung menyambutnya. Aroma favorit Zia. Zee tersenyum samar. Ia ingat, Zia sangat ingin punya kamar beraroma seperti itu.
Barang-barang Zia dari asrama telah dikirim pulang tadi sore. Rencananya, besok bibi mereka akan membereskannya. Zee duduk di atas ranjang Zia, lalu mengambil bingkai foto dari nakas. Foto mereka berdua saat berusia lima belas tahun. Zia tersenyum lebar, sedang Zee hanya tersenyum paksa.
Zee tertawa pelan, getir. Setetes air mata jatuh, tapi cepat-cepat ia hapus. Ia mengembalikan foto ke tempatnya, lalu memperhatikan buku-buku Zia yang menumpuk. Ia membuka satu per satu, hingga buku ketiga terasa aneh—kosong, tak ada tulisan apa pun.
Saat hendak mengembalikannya, selembar kertas tipis jatuh ke lantai.
"### Kertas apa ini?" gumam Zee, mengambil dan membacanya.
(Aku nggak nyangka, dia adalah pengkhianat. Aku sudah anggap dia saudara sendiri di asrama ini, tapi ternyata dia nusuk aku dari belakang.Aku dengar dia mau bunuh aku, cuma karena R suka dengan aku.
Dia pikir dia siapa? Tuhan?
Semoga aku nggak mati muda. Aku pengen nikah, pengen jalan-jalan sama kembaranku si beku itu, hehe..
Tapi jujur, aku takut. Kalau dia berencana ingin membunuh aku..
Aku mau cerita ke Zee, tapi aku nggak bisa telponan dengan dia.
Dia bisa lacak ponselku, dia jago bela diri.
Aku takut Zee kenapa-kenapa.
Andai aku kuat, aku akan balas dia. Tapi aku nggak bisa.
Dia dilindungi oleh orang berkuasa di asrama ini.
Aku juga pengen minta bantuan Daddy dan Mommy,tapi mereka terlalu sibuk. Kalau mereka turun tangan, dia pasti akan di keluarin dari sekolah.
Tapi aku nggak mau nyusahin mereka)
Zee membaca surat itu berkali-kali. Napasnya tercekat. Tangannya gemetar.
“Zia nggak bunuh diri...” bisiknya. “Dia dibunuh.”
Amarah menggelegak dalam dadanya. Kertas itu ia lipat rapi dan disimpan dengan hati-hati. Zee tak akan tinggal diam.
Pagi pun tiba. Suara burung bersahut-sahutan menyambut mentari yang perlahan menyembul di balik langit. Namun di kamar Zia, Zee masih tertidur, masih terbungkus selimut, seolah enggan menghadapi hari baru.
Sementara itu, di meja makan, Zidan dan Zavira telah rapi dengan pakaian kerja mereka. Sarapan pagi tersaji di hadapan mereka.
“Zee belum turun?” tanya Zidan sambil mengaduk kopinya.
“Kalau dia belum turun, artinya dia belum bangun,” jawab Zavira, mengoles selai kacang di atas rotinya. “Mungkin dia masih sedih. Kamu tahu sendiri anakmu itu gimana.”
Zidan menghela napas. “Aku ingin kamu berhenti kerja, Vir.”
Zavira menghentikan gerakannya. Tatapannya tajam, menusuk.
“Mas, udah berapa kali aku bilang? Aku gak akan berhenti kerja. Orang tua aku dulu banting tulang biar aku bisa kuliah. Masa sekarang aku lepas semua cuma karena kamu suruh?”
“Aku sanggup biayai kamu. Aku cuma pengen kamu lebih perhatian ke Zee. Zia udah nggak ada, Vir. Aku nggak mau kehilangan Zee juga,” ucap Zidan tegas.
Zavira memejamkan mata sejenak, lalu menatap suaminya.
“Zee bukan anak kecil. Dan Zia… Zia pergi karena dia lemah. Dia bunuh diri.”
Dari balik tembok, Zee yang ternyata sudah terbangun mendengar semuanya. Telinganya panas. Dadanya sesak. Tangannya mengepal erat.
“Dasar... brengsek...”