Di dunia di mana kekuatan spiritual menentukan segalanya, Yu Chen, seorang pelayan muda dengan akar spiritual abu-abu, berjuang di dasar hierarki Sekte Awan Hening. Di balik kelemahannya tersembunyi rahasia kuno yang akan mengubah takdirnya. Dari langkah kecil menuju jalan kultivasi, ia memulai perjalanan yang perlahan menantang langit itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Morning Sunn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 31: Keheningan Kehampaan dan Pelajaran Pertama He Feng
Langit Dataran Beku seputih tulang dunia.
Angin yang bertiup di sana bukan lagi udara, melainkan gema sunyi dari waktu-waktu yang telah mati. Di tengah lautan es yang tak bertepi berdiri sebuah gua, di mana dinding-dindingnya memantulkan bayangan bintang yang padam. Di sanalah He Feng duduk bersila di atas lempeng es kuno, tubuhnya nyaris transparan, hanya garis-garis kehampaan yang berdenyut lembut di sekitarnya.
Yu Chen melangkah ke dalam gua itu tanpa suara. Setiap pijakannya menimbulkan gema seakan tanah sendiri menahan napas. Ia berhenti tiga langkah di depan lelaki tua itu. Bayangan emas-hitam di dada Yu Chen berkedip seperti jantung naga yang tertidur.
He Feng membuka mata. Tidak ada cahaya di pupilnya, hanya pantulan ruang tanpa ujung.
“Selamat datang di batas di mana waktu berhenti memutar dirinya sendiri,” katanya pelan. “Dataran Beku ini adalah penjara bagi yang menentang hukum. Aku adalah salah satu dari mereka.”
Yu Chen menunduk hormat. “Kau menyebut tempat ini penjara, tetapi di mataku ia tampak seperti altar.”
He Feng tertawa, suara tawanya kering seperti retakan kristal. “Altar bagi kegagalan. Aku pernah mencoba menjahit ruang dan memutar waktu agar tidak kehilangan muridku. Tapi hukum tidak bisa dilipat sesuka kehendak. Aku kehilangan dia, dan kehilangan diriku.”
Ia memandang ke atas gua yang retak. “Kini aku hanya serpihan yang menjaga reruntuhan; namun setiap kali dunia melahirkan pengelana baru, aku kembali belajar memaafkan.”
Yu Chen terdiam, merasakan getaran samar di jiwanya. Hening yang aneh menyelubungi mereka, seolah seluruh dunia menanti percakapan berikutnya.
He Feng menatap Puncak Jiwa di tubuh Yu Chen. Segel naga emas-hitam bersinar pelan, mengeluarkan panas lembut yang menembus udara beku. “Indah, namun rapuh,” gumamnya. “Kau menguasai ruang, tapi napasmu masih mengandung Chaos. Jika tidak kau jinakkan, suatu hari naga itu akan menelan tuannya.”
Yu Chen menunduk, tangannya mengepal. “Aku telah mempelajari akibatnya di Zona Hening. Jika itu adalah harga kekuatan, aku akan menanggungnya, tapi aku tidak akan membiarkan Chaos mengatur jalan Dao-ku.”
“Baik,” kata He Feng. “Tiga Kunci Abadi yang kau bawa, mereka bukan benda mati. Mereka adalah gema keseimbangan. Tanamkan ke dalam jiwamu, bukan dalam cincin penyimpanan. Kehampaan hanya mengakui yang dilepaskan.”
Ia mengangkat tangan, menunjuk pusaran udara di tengah gua. “Di sanalah kehampaan lahir. Bila sesuatu bisa lenyap tanpa bekas, barulah ia layak disebut abadi.”
Yu Chen duduk bersila. Tiga Pecahan Kunci keluar dari tubuhnya dalam bentuk tiga sinar: biru, hijau, dan emas. Ia menutup mata, membiarkan cahaya itu larut ke dalam Puncak Jiwa. Getaran pertama terasa seperti pedang menusuk dada; yang kedua seperti bunga api yang menyebar di seluruh tubuh; yang ketiga seperti air dingin yang memadamkan semuanya. Saat ketiga-tiganya lenyap, jiwanya menjadi ruang luas yang tak berbatas.
He Feng mengangguk tipis. “Langkah pertamamu benar. Sekarang, dengarkan waktu.”
Ia menekan jari ke tanah; lingkaran formasi muncul, berputar pelan di bawah tubuh Yu Chen.
“Di tengah pusaran itu, dengarkan gema waktu. Jangan ciptakan Qi, jangan kendalikan napas. Biarkan ruang membawamu.”
Yu Chen memasuki formasi. Dinginnya tak lagi berasal dari suhu; itu berasal dari diam yang menelan setiap suara. Dalam diam itu, ilusi masa lalu muncul: dirinya di Kota Awan Perak, darah menetes dari pedang; kemudian ia melihat Ning Rou memanggilnya, cahaya merah di matanya. Gambar berganti lagi: masa depan yang belum datang — Yu Chen berdiri di puncak menara, mengenakan jubah naga, mata tanpa belas kasihan.
Ia sadar itu ujian. Tapi di antara dua masa itu, suara lain merembes masuk.
“Kenapa menahan dirimu, pewaris darah naga?” bisik Roh Naga. “Chaos adalah asal mula. Gunakan ia, dan waktu akan berlutut.”
Bayangan naga ungu melingkar di sekeliling pusaran, tiap sisiknya bergetar memantulkan langit retak. Tekanan luar biasa menyeret Yu Chen ke dalam arus energi. Ia bisa saja menghancurkan ilusi itu dengan satu letupan Chaos, tapi ia menahan diri.
Ia memejamkan mata lebih dalam. “Kekuatan tanpa kendali hanyalah ilusi kemenangan.”
Puncak Jiwanya bergetar hebat. Cahaya ungu beralih menjadi perak, kemudian perlahan keemasan. Raungan naga yang biasanya bergema kini berhenti. Dalam keheningan yang mengikutinya, Yu Chen mendengar sesuatu yang baru: detak waktu yang tak bergerak. Ia telah menyentuh Hukum Waktu.
Pada saat itu, kesadarannya menembus dinding gua. Ia melihat melalui ribuan lapisan ruang, mencari kehangatan yang dikenalinya. Cahaya tipis menyambutnya: Ning Rou.
Jarak ribuan li terlipat seolah hanya satu langkah. Dalam pikirannya ia berbisik, “Bagaimana keadaanmu?”
Jawaban datang, bergetar di kesadarannya. “Aku masih hidup. Tapi bahaya mendekat. Kapal dari utara — bendera Naga Hijau. Mu Feng memimpinnya.”
“Jangan keluar dari formasi,” katanya cepat. “Gunakan Batu Roh Tertinggi untuk memperkuat lapisan luar.”
Suara Ning Rou terputus-putus. “Aku akan melakukannya… tapi, Yu Chen, ayahku mengirim utusan. Klan Ning menuntutku kembali untuk membersihkan nama keluarga. Jika aku menolak, mereka akan menganggapku pengkhianat.”
Ia ingin menjawab, namun pusaran waktu menelan sambungan mereka. Ia hanya sempat mengirim gema pendek: “Pilih dengan hatimu, bukan dengan takutmu.”
Di kapal, Ning Rou berdiri di jendela lingkar. Badai es berputar di sekeliling lambung. Kapal spiritual dari utara muncul, sebesar gunung, sisiknya terbuat dari batu giok hitam berkilau ungu. Mu Feng berdiri di haluan, jubahnya berdesir seperti lidah petir.
Ia mengangkat artefak perak — cermin melengkung dengan garis waktu berputar di dalamnya. Saat ia menatapnya, ruang di antara dua kapal bergetar, terbuka menjadi koridor kehampaan.
“Yu Chen,” suaranya menggema, “kau pikir bisa bersembunyi di luar dunia? Aku membawa Cermin Langit Waktu. Aku akan menarikmu keluar dari dimensi mana pun kau bersembunyi.”
Ning Rou mengaktifkan formasi pertahanan. Batu Roh Tertinggi di inti kapal menyala merah, membentuk kubah pelindung. Saat serangan pertama datang, langit Dataran Beku berubah menjadi laut kilat. Es mencair, lalu membeku kembali dalam sekejap. Getarannya menjalar sampai ke dasar gua tempat Yu Chen bermeditasi.
He Feng membuka mata. Tatapannya tidak menunjukkan kegelisahan, hanya pengetahuan bahwa badai telah tiba. “Musuhmu telah menembus lapisan pertama kehampaan. Mereka menggunakan hukum waktu untuk melacakmu.”
Yu Chen masih bersila. Cahaya di tubuhnya mulai bergetar tidak stabil. “Aku bisa merasakannya, Guru. Tapi aku belum menenangkan jiwaku.”
He Feng berdiri, jubahnya berkibar tanpa angin. “Waktumu menipis, pengelana jiwa. Bila kau tidak memahami diam, maka waktu akan menjadi musuhmu sendiri.”
Ia menepuk udara, dan formasi di sekitar gua berputar lebih cepat. Dinding-dinding es mulai berkilau seperti cermin, memantulkan bayangan masa lalu dan masa depan secara bergantian.
“Sekarang kau harus belajar bertarung tanpa bergerak. Itulah pelajaran pertama tentang Kehampaan.”
Yu Chen membuka mata. Dunia di sekitarnya terpecah menjadi potongan-potongan. Dalam satu potongan, ia melihat kapal Ning Rou bergetar, formasi hampir runtuh; di potongan lain, Mu Feng melangkah menembus udara, membawa cermin raksasa yang memantulkan ribuan bayangan dirinya.
Setiap bayangan Mu Feng menyerang dari arah berbeda, menembus ruang dan waktu. Yu Chen ingin mengangkat pedangnya, tetapi He Feng menahan. “Jika kau bergerak, ruang akan pecah. Gunakan jiwamu, bukan tubuhmu.”
Ia menutup mata lagi. Dalam kesadaran batinnya, ia melihat ruang sebagai lautan tak berwarna, tiap riaknya membawa kemungkinan. Ia menyalakan cahaya kecil — kilau keemasan dari Puncak Jiwa. Satu titik itu memantulkan seluruh serangan yang datang. Bayangan Mu Feng terpecah sebelum menyentuhnya.
Di luar, Mu Feng terkejut. “Dia menahan serangan cermin tanpa bergerak?” Ia menyalurkan lebih banyak Qi ke artefak. Cermin Langit bersinar, membentuk lingkaran waktu yang mulai menelan gua.
He Feng menatap fenomena itu. “Dia akan mencoba mengurungmu di waktu yang sama berulang-ulang. Bila kau panik, kau akan hidup dan mati di detik yang sama selamanya.”
Yu Chen mendengar instruksi itu. Dalam pusaran yang menelan gua, ia melihat dirinya terbunuh ratusan kali, hidup kembali, lalu terbunuh lagi. Setiap kali pedang Mu Feng menembus dadanya, dunia memulai ulang.
Rasa sakitnya nyata. Namun perlahan, Yu Chen mulai melihat pola di antara kematian-kematian itu — jarak di antara setiap tebasan, urutan detik yang berulang. Ia menyadari bahwa waktu bukan sungai, melainkan jaring. Dengan mengubah satu simpul, ia dapat keluar dari lingkaran.
Ia menarik napas panjang dan membiarkan jiwanya melayang. Hukum Waktu di sekitarnya retak. Cermin Langit pecah dalam semburan cahaya. Di luar, Mu Feng mundur setapak, wajahnya pucat. “Dia… menembus perangkap waktuku?”
Dari dalam gua, cahaya keemasan menembus lapisan es dan langit. He Feng menatapnya lama, lalu berbisik, “Kau mendengar gema waktu. Sekarang, pahamilah keheningan di antaranya.”
Yu Chen membuka mata. Waktu di gua berhenti sepenuhnya. Salju yang jatuh membeku di udara. Ia melihat setiap serpihan beku di sekelilingnya, indah dan tak bergerak. Dalam detik yang tak berlari itu, ia menyadari: keheningan sejati bukan ketiadaan suara, melainkan saat ketika semua suara memahami tempatnya.
He Feng mendekat. “Pelatihan pertama selesai. Kau telah membuka mata pada separuh Hukum Waktu.”
Ia berhenti, menatap ke arah utara. “Namun, ujian keduamu datang lebih cepat daripada yang kukira.”
Dari kejauhan, kilat ungu Mu Feng kembali muncul. Kapal raksasa Naga Hijau memancarkan ribuan simbol ruang, menandakan ia memanggil bala bantuan dari Sekte Agung. Langit berubah menjadi anyaman ungu yang berdenyut.
He Feng tersenyum kecil. “Lihatlah, bahkan waktu pun membawa pengejarmu. Kau harus memilih: terus belajar, atau menghadapi mereka dengan pemahaman setengah.”
Yu Chen berdiri perlahan. Mata emasnya memantulkan lautan es yang membeku. “Aku akan belajar sambil bertarung.”
He Feng menggeleng, tapi ada rasa puas di sorot matanya. “Begitulah seharusnya seorang pengelana jiwa.”
Ia berbalik, melangkah ke kedalaman gua. “Ingat, keheningan bukan melarikan diri dari suara, melainkan menguasainya. Bila kau dapat mendengar raungan waktu dan tetap diam, maka Kehampaan akan mengakui namamu.”
Yu Chen menatap ke luar gua. Di langit, dua kapal spiritual saling berhadapan, satu merah muda lembut, satu ungu gelap. Di antara keduanya, badai Ruang-Waktu mulai terbentuk. Ia menutup mata, merasakan detik-detik yang berlalu seperti embun membeku di telapak tangannya.
Suara He Feng terdengar sekali lagi, jauh namun jelas:
“Waktumu menipis, pengelana jiwa. Jika kau gagal menjaga diam, maka waktu sendiri akan menelanmu.”
Yu Chen mengangkat pedangnya, membiarkan bilah itu tenggelam dalam diam sempurna. Ketika matanya terbuka, dunia di sekelilingnya berhenti — hanya ia dan pedang, berdiri di antara dua denyut waktu.
Dan di luar sana, Mu Feng tersentak, merasa ruang di sekitarnya mengeras. Untuk pertama kalinya, ia melihat jurang keemasan terbuka di bawah kakinya, dan dari sana terdengar suara naga yang tak lagi meraung, tetapi berbisik: hening.