NovelToon NovelToon
Sebungkus Mie Instan

Sebungkus Mie Instan

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Selingkuh / Janda / Romansa
Popularitas:12.3k
Nilai: 5
Nama Author: Tika Despita

Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.

Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31

Aku mulai membuka mata perlahan. Kepala masih terasa sedikit pusing, tubuhku dingin, dan jantungku berdegup pelan seolah belum percaya aku masih hidup. Begitu fokusku membaik, hal pertama yang kulihat adalah Mas Arsya yang sedang berbicara serius dengan dokter di dekat pintu. Raut wajah mereka cukup tegang, membuatku sempat takut ada sesuatu yang buruk terjadi pada diriku.

Di dalam hati aku tetap bersyukur kepada Allah karena masih memberiku kehidupan. Tadi itu, jujur saja aku benar-benar sangat takut. Aku takut anakku kehilangan ibunya. Takut tak bisa lagi melihat Keenan tumbuh besar, tertawa, dan memanggilku 'Mama'.

Mas Arsya menoleh dan langsung berjalan menghampiriku begitu melihat mataku terbuka.

“Aini? Kamu sudah bangun?” suaranya terdengar cemas, tentunya tatapan matanya mengkhawatirkan aku.

“Hmmm…” aku mengangguk pelan, mencoba tersenyum meski tubuh terasa lemas.

“Oh iya, tadi saya sudah hubungi keluarga kamu. Kemungkinan sebentar lagi mereka sampai,” ucapnya lagi sedikit gugup.

“Terima kasih, Mas,” jawabku tulus.

“Gak perlu berterima kasih,” ia menggeleng cepat.

“Ini memang tanggung jawab saya sebagai atasan kamu. Kejadian ini juga karena kelalaian saya.” Tatapannya merendah, seolah benar-benar menyalahkan dirinya sendiri.

Aku belum sempat menjawab ketika pintu terbuka. Ibuk masuk dengan wajah panik, diikuti Kevin yang membawa tas kecil, dan Keenan yang langsung menatap sekeliling dengan mata bingung.

“Aini..” lirih Ibuk sambil mendekat. Suaranya bergetar, membuatku merasa bersalah karena membuatnya khawatir.

“Aini gak apa-apa, Buk,” aku tersenyum menenangkannya.

“Mam..mama..” Keenan tiba-tiba meraih tanganku dan menangis keras. Rengekannya pecah, membuat hatiku terasa diremas. Mungkin dia ketakutan melihat aku berbaring penuh selang seperti ini.

“Keenan, sini sama Om yuk! Kita beli ice cream,” bujuk Mas Arsya sambil mengangkat Keenan ke gendongannya. Untung Keenan cukup akrab dengan Mas Arsya, jadi meski masih tersedu-sedu, dia mengangguk dan ikut dibawa keluar.

Setelah mereka keluar, Ibuk duduk di tepi ranjangku. “Aini, apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya pelan, tapi jelas ia menahan geram.

“Aini tadi terkurung di ruangan pendingin, Buk. Mungkin petugas gudangnya gak sadar ada orang di dalam, jadi pintunya ditutup, terus mereka pulang.”

Ibuk membuka mulut hendak protes, tapi Kevin lebih dulu menimpali dengan nada kesal, “Wah..itu sih sudah jelas lalai merekanya, Mbak. Kalau gak ada yang sadar kalau Mbak belum balik, bisa bahaya banget!”

Aku menghela napas. “Tapi Mbak kan selamat, Vin. Kita gak usah perpanjang masalah. Mas Arsya juga sudah bertanggung jawab, bawa mbak ke rumah sakit.Bahajn semua biaya sudah ditanggungnya.”

Kevin masih tampak tak terima, tapi Ibuk menepuk bahunya.

“Betul kata mbakmu itu .Jangan diperpanjang. Kasihan Nak Arsya. Kalau nama perusahaannya jelek, nama dia juga ikut jelek. Lagian dia sama mamanya cukup baik sama keluarga kita.”

Kevin akhirnya mengangguk pasrah.

Tak lama kemudian, Mas Arsya kembali sambil menggendong Keenan. Di tangannya ada kantong kresek besar berisi berbagai jajanan anak-anak.

“Keenan duduk di sini, ya. Ini semua buat Keenan,” ucapnya lembut sambil mengusap rambut Keenan. Anak kecil itu langsung berhenti menangis begitu melihat jajanan dan duduk manis di sofa kecil di sudut ruangan.

Aku terharu melihatnya,lelaki setegas Mas Arsya bisa begitu sabar menghadapi anak kecil, itu pemandangan yang tidak biasa.

Aku lalu memberi kode halus pada Kevin untuk menemani Keenan di sofa, karena rasanya sungkan kalau Mas Arsya harus terus mengasuh anakku sementara ia jelas sedang sibuk mengurus urusan kantor dan rumah sakit.

Saat Kevin duduk di samping Keenan dan mulai membuka jajanan untuknya, Mas Arsya mendekatiku lagi. Wajahnya masih penuh kekhawatiran.

“Aini.. kalau kamu merasa pusing atau dingin lagi, langsung bilang, ya.”

"Iya mas..Aini juga udah gak apa-apa kok!" jawabku agar dia gak terlalu khawatir.

"Kata dokter,kapan Aini bisa keluar nak Arsya?" tanya ibuk kali ini.

" InsyaAllah besok pagi sudah bisa pulang buk. Tadi dari hasil pemeriksaan juga tak ada yang serius,"jawab mas Arsya.

"Hmmm...kalau gitu saya bisa pamit pulang dulu buk?"

" Tentu nak Arsya. Kami sudah di sini untuk menjaga nak Arsya!"

" Sekali lagi saya minta maaf,karena sudah buat Aini kayak gini!"

" Iya nak..sudah gak usah difikirkan. Kamu pulang saja! Toh nak Arsya juga butuh istirahat."

" Titip Aini,buk!"

" Iya,"angguk ibuk tersenyum.

***

Setelah Mas Arsya pamit pulang, suasana kamar rumah sakit mendadak lebih hening. Tinggal aku, Ibuk, Kevin, dan Keenan yang sudah mulai mengantuk sambil memeluk bungkus ciki-ciki yang tadi dibelikan Mas Arsya.

Tapi dari tadi Kevin menatapku dengan ekspresi aneh semacam curiga, bingung, dan kepo jadi satu. Aku sampai geleng-geleng sendiri melihatnya.

“Kenapa dengan ekspresi kamu?” akhirnya aku bertanya juga, karena tatapannya makin lama makin bikin risih.

Kevin memiringkan kepala, menilai wajahku seolah sedang membaca sesuatu.

“Mbak gak ngerasa apa? Perhatian Mas Arsya itu beda ke Mbak.”

Aku langsung melotot. “Beda apanya? Biasa saja.”

“Biasa gimana, Mbak?” Kevin mendekat, menurunkan suara seakan membocorkan rahasia besar.

“Mbak gak dengar tadi sebelum dia pulang?”

“Enggak,” jawabku santai.

Kevin menirukan suara laki-laki dengan gaya dramatis, “‘Titip Aini, Buk.’ Nah! Lah kita ini siapa? Keluarga kandungnya Mbak! Kok dia pakai bahasa begitu? Kayak dia menitipkan kekasihnya ke ibuk dan aku.” Kevin menghela napas sambil cengar-cengir.

“Aneh banget gak tuh?”

Aku spontan menepuk bantal sebagai ganti ingin nepuk kepala Kevin. “Jangan ngadi-ngadi kamu! Itu perhatian seorang atasan ke bawahannya saja!”

Kevin mendengus tidak percaya. “Mbak yakin itu cuma atasan ke bawahan? Atau bawahan yang mulai bikin atasan jatuh hati..hm?” godanya sambil mengangkat alis.

Aku sampai menutup muka dengan selimut saking kesalnya.

“Bagaimana menurut Ibuk?” Aku melempar pertanyaan itu ke arah yang lebih waras, setidaknya kupikir begitu.

Ibuk langsung nyeletuk, “Menurut Ibuk itu biasa saja.”

Nah, kan.

Tapi Kevin tidak menyerah.

“Ah, Ibuk sama Mbak gak percaya sama aku! Aku yakin Mas Arsya itu ada hati sama Mbak!” katanya yakin sekali, sampai aku bingung dapat kepercayaan diri dari mana dia.

“Itu gak mungkin, Kevin! Mas Arsya itu sudah punya kekasih. Itu yang datang makan malam pas ulang tahunnya itu!” seruku sambil menatapnya tajam.

“Mas Arsya bukan tipe yang aneh-aneh.”

Ibuk menimpali, “Betul kata Kakakmu itu. Lagi pula, Buk Ratna kemarin cerita sama Ibuk, katanya beliau mau melamar Neng Risa buat Nak Arsya.”

Kevin langsung terdiam. Kali ini benar-benar terdiam, bahkan ciki Keenan pun tak disentuhnya. Tatapan sok yakin tadi langsung pelan-pelan pudar.

“Yaudah kalau gak percaya!” gumamnya akhirnya sambil manyun, kemudian kembali duduk di samping Keenan.

Dia membuka bungkus ciki baru dan memakannya sambil mendekap Keenan yang sudah tertidur di pangkuannya, seakan ingin mengalihkan rasa malu.

Aku geli sendiri melihat tingkahnya.

Malam pun berlalu perlahan. Cahaya lampu kamar rumah sakit yang temaram membuat ruangan terasa tenang. Ibuk tertidur di kursi, kepala bersandar pada tasnya. Kevin sudah ikut terlelap sambil memeluk Keenan. Hanya suara detak jam di dinding menemaniku saat ini.

Aku terbaring sambil menatap langit-langit, memikirkan kejadian hari ini.

Meski tubuhku masih lemah, ada rasa hangat yang susah dijelaskan. Entah karena keluarga yang menemaniku, atau sikap Mas Arsya yang cukup berbeda.

Aku menghela napas panjang.

“Mungkin cuma perasaanku saja,” gumamku pelan sebelum akhirnya ikut terlelap menyusul mereka.

***

Siapa sangka, pagi-pagi sekali Mas Arsya sudah muncul di depan pintu kamar rumah sakit. Padahal matahari saja baru muncul. Ia masuk dengan dua kantong kresek berisi makanan.

“Assalamualaikum… Saya bawakan sarapan,” ucapnya pelan, takut mengganggu aku yang dikiranya masih tidur.

Ibuk yang sudah bangun dari tadi langsung terkejut. “Aduh, Nak Arsy, ngapain repot-repot begini?”

“Gak repot, Buk. Saya lewat sini tadi dan sekalian saja,” jawabnya sambil tersenyum sopan.

Kevin langsung bangun karena mencium aroma makanan. “Wah, ini kaya aroma lontong sayur, aduh Mas, tau saja kesukaan ibuk.”

Aku hanya bisa memijat pelipisku melihat tingkah adikku ini.

Tak hanya membawakan sarapan, Mas Arsya bahkan mengambil alih semua urusan kepulanganku. Ia berbicara dengan dokter, mengurus administrasi, mengecek obat-obatan yang harus kubawa pulang, sampai memastikan ada kursi roda untukku meski aku bilang aku bisa jalan sendiri.

Ia mondar-mandir seperti orang yang sedang merawat keluarga sendiri, bukan sekadar bawahan kantor.

Kevin menatapku tanpa berkedip, senyumnya makin melebar setiap kali Mas Arsya melakukan sesuatu.

Sampai akhirnya dia mendekat dan membisikkan sesuatu ke telingaku.

“Atasan mana Mbak, yang rela pagi-pagi nganterin sarapan buat keluarga karyawannya? Bahkan ngurusin kepulangan karyawannya dari rumah sakit?”

Aku melotot ke arahnya. “Sst! Jangan mulai lagi.”

“Tapi Mbak coba lihat deh. Dia itu udah mirip calon men..”

Aku langsung mencubit pelan lengan Kevin sebelum ia menyelesaikan kalimatnya.

“Diam!”

Kevin cengar-cengir tak merasa bersalah sedikit pun. Dan parahnya, apa yang dia bilang tadi ada benarnya juga. Setidaknya sedikit.

Tapi aku menggeleng cepat, mencoba mengusir pikiran aneh-aneh itu.

“Dia cuma atasan yang bertanggung jawab,” gumamku dalam hati.

Namun ketika aku menoleh, Mas Arsya sedang memasukkan jaketku ke tas dan memastikan semua barangku tidak tertinggal. Gerakannya hati-hati, wajahnya serius, seolah dia sedang mengurus orang yang sangat penting baginya.

Aku terdiam sejenak.

Dan untuk alasan yang tidak mau kuakui,tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang.

1
Marini Suhendar
oh..kayanya mama arsya juga g suka klo sama aini karena statusnya janda..g tau kelakuan anaknya gmna..hemm
Wanita Aries
huhhh mmng lbih baik jgn sama arsya
Wanita Aries
wkwkwk lu ya aini bkin ank org patah hati sama sakit
Wanita Aries
wihhh bodohnya lastri demi dela jd hilang pekerjaan tp apa vera terlibat jg ya
Wanita Aries
ihhh kok jahat gtu sihh..
Wanita Aries
jahatnya tu mulut Rendra astagfirullah
Wanita Aries
wahh seruu 🤣🤣🤣 haredang euyyy rendra
Wanita Aries
duhh trnyta ada luka masa lalu
Wanita Aries
trnyata si vera biang keroknya cs gk ad yg betah
Cicih Sophiana
sabar ya Aini pasti akan ada balasan nya nanti...
Wanita Aries
nah gtu aini harus bangkit
Wanita Aries
duh aini mnding fokus bahagiakan diri drpd mikirin si rendra edan
Wanita Aries
geramnya ehhh
Wanita Aries
trnyata bagus jg akting rendra
Wanita Aries
seruuuu
Wanita Aries
mampirr thor
Qhaqha: Makasih udah mampir😊😊😊
total 1 replies
Cicih Sophiana
lamaran nya deket tinggal kebelakang lewat dapur Sya...😂
Cicih Sophiana
itu atasan yg luar biasa Aini... maksud aq di luar kebiasaan 😁😂😂
Cicih Sophiana
bisa aja si mantan Arsya kan... bukti nya lg keadaan begitu dia minta tolong di antar pulang Arsya...
Cicih Sophiana
siapa yg jahat banget tuh... sampe segitu nya mau nyelakain Aini
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!