carol sebagai anak pungut yang di angkat oleh Anton memiliki perasaan yang aneh saat melihat papanya di kamar di malam hari Carol kaget dan tidak menyangka bila papanya melakukan hal itu apa yang Sheryl lakukan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31
“Ibu senang mendengarnya. Kalau kamu merasa bahagia dan nyaman sekolah di sini, berarti ibu sudah berhasil mencoba untuk mendidik murid-murid ibu, dan juga mendekatkan diri kepada guru-guru lain agar tidak terlalu jahat atau bersikap sentimen kepada siswa-siswa lain.”
Carol tahu betul kalau Bu Fitri adalah orang yang baik, tetapi Carol tidak mau kalau Fitri sampai bersama papanya nanti di masa depan.
Sampai detik ini pun, Carol masih rindu pada mamanya dan ingin sekali bertemu dengan mamanya walaupun hanya sekali saja.
Fitri merasakan bahwa ketika dirinya berbicara kepada Carol, Carol tampak seperti membuat jarak dan batasan dengannya.
“Ya sudah, Carol. Kalau kamu mau ke kelas, kamu ke kelas saja, nggak apa-apa. Ibu hanya ingin membicarakan itu saja sama kamu. Kalau misalkan kamu mengalami sesuatu hal yang merugikan, kamu boleh berbicara kepada ibu, ya.”
“Iya, Ibu. Tenang aja, pasti saya akan bicara kepada ibu kok. Lagian saya nggak percaya kepada guru-guru lain selain ibu. Maka dari itu saya selalu bicara kepada ibu saja.”
Fitri yang mendengar itu hanya tersenyum dan tidak berkata apa-apa. Ia merasa bahagia karena Carol mempercayainya.
Merasa dipercaya oleh calon anaknya sendiri membuat Fitri bahagia. Namun, Fitri juga tidak tahu apakah dirinya akan bisa bersama bapaknya Carol atau tidak.
Setelah Carol keluar dari ruangan, Dinda masuk ke ruang Fitri untuk bertanya tentang apa yang barusan dibicarakan dengan Carol.
“Lu tadi bicara apa sama calon anak lu?”
“Lu bicara apaan sih? Mana ada calon anak segala macam. Nanti kalau kedengeran kepala sekolah, gue nggak tahu harus berbuat apa. Bisa-bisa gue malah dikeluarin dari sekolah ini kalau lu ngomong kayak gitu!”
“Emang suka banget sama papanya, ya? Emang gue salah bicara kayak gitu? Kan gue cuma pengen klarifikasi aja, apa yang gue lihat itu benar.”
“Ya, benar kok. Gue juga nggak bisa nyalahin lu. Lagian, dari semua perbuatan gue juga memang kelihatan banget kalau gue suka sama pria itu.”
Dinda hanya takut kalau cintanya tidak terbalas dan malah membuat kariernya hancur ke depannya.
“Kasih tahu, deh, Fitri. Jangan terlalu dalam sama perasaan yang belum tentu dibalas. Kalau bisa, coba deh berpikir lebih luas dan lebih matang.”
“Bukannya awalnya lu duluan, ya, yang bikin gue jadi suka sama bapak anak itu? Terus gue harus bagaimana sekarang dengan pria itu?”
Dinda tidak habis pikir kenapa Fitri bisa berkata begitu, padahal dirinya sudah mengenal Fitri lebih lama dibanding orang lain.
“Bedain, Fitri, mana saatnya lu harus jujur dan mana saatnya bercanda. Karena nggak semua hal harus dibawa serius.”
“Lu mau minta gue gimana sekarang? Gue udah suka sama pria itu. Lantas gue harus apa biar nggak suka sama dia?”
“Fitri, sadar dong. Lu itu masih muda, lu masih bisa dapetin yang lebih baik daripada pria itu. Dia itu duda, lu nggak takut disia-siain? Dia memang banyak uang, tapi lu nggak punya apa pun yang bisa lu banggakan di depan dia. Jadi, mau lu berbuat apa pun, tetap aja di matanya lu bukan siapa-siapa.”
Fitri yang mendengar itu merasa tidak senang dengan perkataan Dinda. Rasanya seperti Dinda sedang menghina dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk Anton.
“Ya udahlah, terserah lu aja, Fitri. Gue pergi dulu, ya. Kayaknya kalau ngomong sama lu sekarang agak susah. Lu keras kepala banget, dan gue males ngomong sama orang yang lagi emosian.”
Dinda pun keluar dari ruangan Fitri. Ia sendiri merasa kesal, padahal yang membuat suasana jadi tegang adalah dirinya sendiri. Tapi entah kenapa, Fitri malah yang merasa lebih kesal.
Fitri akhirnya kembali mengajar ke kelas karena sadar dirinya sudah terlalu lama meninggalkan pelajaran.
Berdebat dengan sahabat lamanya hanya membuang waktu dan membuat Fitri merasa tidak fokus dalam pekerjaannya.
Fitri merasa kalau Dinda sebenarnya cemburu dengan kariernya yang bagus, sementara karier Dinda begitu-begitu saja.
Fitri juga tahu kalau Dinda takut karier dan percintaannya tertinggal jauh, karena Dinda sendiri sedang mengalami masalah percintaan yang buruk, ditambah pekerjaannya yang monoton setiap hari tanpa perubahan.
Fitri yakin suatu saat nanti dirinya bisa bersama Anton tanpa dihalangi siapa pun, karena baginya Anton memang diciptakan untuk dirinya, bukan untuk orang lain.
---
Sementara itu, di kantor, Anton merasa heran karena dari tadi ia terus-terusan batuk. Padahal dirinya sudah minum air yang cukup.
“Mungkin cuacanya lagi jelek,” pikirnya.
Anton mencoba untuk tidak mempermasalahkan hal itu karena pekerjaannya sedang banyak. Ia ingin cepat menyelesaikan semua supaya bisa bermain bersama anaknya.
Anton mencoba mengirim pesan kepada Carol, tetapi tidak ada balasan sedikit pun. Mungkin Carol masih marah kepadanya.
> “Sayang, nanti pulang sekolah papa jemput, ya. Kamu mau jalan-jalan ke mana? Nanti papa temenin.”
Pesan itu dikirim sejak jam 07.00 pagi, tetapi belum juga ada balasan. Anton berpikir mungkin anaknya sedang belajar.
Jam 09.00, Anton kembali mengirim pesan:
> “Sayang, kamu udah makan? Papa mau beli makan nih. Kamu mau makan apa? Nanti papa anterin ke sekolah biar kamu bisa makan juga.”
Namun tetap tak ada balasan. Mungkin ini marah yang paling besar Carol pernah tunjukkan pada papanya.
Anton tidak mempermasalahkan, tapi dalam hati ia bingung harus berbuat apa. Ia tahu, anaknya bukan tipe yang bisa marah lama kalau tidak ada alasan besar.
Anton mencoba memahami anak perempuannya, tapi memang sulit. Anak perempuan ternyata lebih rumit dibanding anak laki-laki.
Kadang Anton berpikir, apakah dirinya salah mengangkat anak perempuan? Mungkin seharusnya dulu ia mengangkat anak laki-laki saja.
Tapi kemudian ia sadar, sebenarnya mau anak laki-laki atau perempuan itu sama saja. Semua tergantung pada didikan. Mungkin memang didikannya selama ini kurang baik, makanya anaknya sering marah.
Taring!
Bunyi notifikasi ponsel Anton berbunyi.
> “Aku udah makan, dan aku nggak mau jalan-jalan sama papa. Aku males, papa bikin aku bete seharian. Jadi aku nggak mau ngomong sama papa. Bye.”
Anton langsung mengetik balasan:
> “Jangan gitu dong. Papa udah berusaha supaya kamu nggak marah. Kamu masih marah juga, ya? Papa harus gimana biar kamu nggak marah?”
Carol membalas:
> “Aku juga bingung, Papa. Gimana caranya biar aku nggak marah, kalau Papa selalu bikin aku marah?”
Anton merasa bersalah. Mungkin ia memang terlalu keras pada Carol, sampai anaknya jadi seperti itu.
Ia mencoba menulis pesan lagi, kali ini dengan nada lembut.
> “Ya udah, kalau kamu masih marah sama Papa nggak apa-apa. Tapi kalau kamu butuh apa-apa, kasih tahu Papa, ya. Nanti Papa bantu sebisanya. Walaupun Papa nggak bisa, Papa pasti tetap coba bantu.”
Carol membaca pesan itu dan tersenyum kecil. Ia merasa lucu, sekaligus gemas pada papanya.
Tidak heran kalau papanya selalu menuruti semua yang ia mau.
Namun, teman-temannya sering menganggap Carol aneh, karena sering tersenyum dan tertawa sendiri tanpa alasan.
Beberapa teman yang ingin mendekat pun jadi bingung, apakah Carol memang ingin berteman atau tidak, karena Carol jarang membuka diri pada siapa pun.
lah