Anara adalah siswi SMA berusia 18 tahun yang memiliki kehidupan biasa seperti pada umumnya. Dia cantik dan memiliki senyum yang manis. Hobinya adalah tersenyum karena ia suka sekali tersenyum. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Fino, laki-laki dingin yang digosipkan sebagai pembawa sial. Dia adalah atlet panah hebat, tetapi suatu hari dia kehilangan kepercayaan dirinya dan mimpinya karena sebuah kejadian. Kehadiran Anara perlahan mengubah hidup Fino, membuatnya menemukan kembali arti keberanian, mimpi, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Anara hanya tertawa keras, sementara Fino masih menatap kaos di tangannya, seakan benda sederhana itu punya makna lebih besar dari sekadar hadiah.
***
Setelah puas memamerkan belanjaannya, Anara akhirnya masuk ke kamar untuk beristirahat. Pintu kamar tertutup, meninggalkan Fino dan Bagas di ruang tamu.
Mereka berdua memilih naik ke balkon. Angin berhembus kencang membuat kedua nya, entah Mega sama-sama menghela nafas .
“Apa rencana lo selanjutnya, Fin?” tanyanya serius.
"Gue… nggak tau, Gas.”
Bagas menoleh. “Maksud lo?”
Fino menunduk, jemarinya mengetuk pelan pagar besi.
“Tiga bulan ini gue terus berusaha, berharap dia balik jadi Anara yang gue kenal. Tapi… semakin gue deket, semakin gue sadar… dia bukan orang yang sama.”
“Terus lo nyerah gitu aja?”
Fino menggeleng pelan.
“Nggak. Gue cuma… bingung harus gimana. Di satu sisi, gue kangen Anara gue yang dulu. Senyumnya, tawanya. Tapi di sisi lain, ada dia yang sekarang… beda, keras kepala, banyak bikin gue emosi. Tapi dia juga tetap Anara.”
"Gue bingung, Bagas." Lirih Fino.
Bagas menepuk bahunya pelan. “Lo masih punya waktu buat nyari tahu, Fin. Gue yakin kita bisa temukan solusinya.”
Fino mengangguk pelan.
**
Fino masih berdiri di balkon, pikirannya melayang entah ke mana. Bagas sudah kembali masuk ke dalam rumah, meninggalkan Fino sendirian dengan malam yang hening.
Ponselnya bergetar di saku celana. Ia menghela napas, enggan mengecek, tapi akhirnya ditarik juga ponsel itu.
"Papah,"
Fino menatap layar beberapa detik, ragu. Sudah lama sekali ia tak menerima telepon dari pria itu. Tangannya sedikit bergetar saat menekan tombol hijau.
“Fino,” suara berat itu terdengar di seberang, dingin tapi tegas. “Kita perlu bertemu.”
“Untuk apa?” tanyanya datar.
“Ada banyak hal yang harus kita bicarakan. Jangan menunda lagi. Besok, datang ke tempat biasa.”
“Apa nggak bisa lewat telepon aja?” Fino berusaha menahan nada suaranya tetap tenang.
“Tidak,” jawab Aidar cepat.
“Ada hal yang tidak bisa dibicarakan lewat kata-kata. Kita harus bertemu langsung.…”
“Baiklah. Besok.”
Telepon terputus. Fino menurunkan ponselnya perlahan, pandangannya kosong menatap bulan yang bersinar terang.
Tiba-tiba, terdengar langkah pelan di belakangnya. Fino menoleh sedikit, dan mendapati Anara kini berdiri di sampingnya. Gadis itu hanya mengenakan sweater tipis, rambutnya terurai ditiup angin malam.
“Bulannya indah banget malam ini,”
Anara mendongak ke langit. Matanya berbinar menatap bulan yang bulat sempurna.
Anara tersenyum tipis lalu melanjutkan,
"Lo sadar nggak, Fin… bulan itu sebenernya nggak pernah utuh. Dia selalu punya sisi gelap yang nggak bisa diliat siapa pun. Sama kayak manusia.”
Fino terdiam mendengarkan, matanya tidak bisa lepas dari wajah Anara.
"Tapi anehnya, meskipun ada sisi gelapnya, bulan tetap jadi alasan kenapa malam nggak segelap itu. Jadi mungkin… meskipun kita berantakan, meskipun banyak luka, kita masih bisa jadi cahaya buat orang lain.”
Fino diem beberapa detik.Menatap Anara lebih dalam lagi.
“kamu tau, Nar…” Fino akhirnya buka suara.
“ Dulu aku begitu benci dengan sisi gelap aku. Aku menutup diri, aku pura-pura kuat, pura-pura dingin. Tapi nyatanya… makin aku sembunyiin itu justru makin buat aku hancur sampai....”
Anara menengok Fino, hingga tatapan mereka bertemu, matanya serius, suaranya bergetar tapi tegas.
“Aku bertemu kamu, kamu buat aku sadar… mungkin semuanya nggak perlu selalu terang. Karena ada satu cahaya kecil aja udah cukup buat kita lihat sekitar.”
Anara terdiam, ada kata-kata yang tidak Anara mengerti tapi membuat hatinya, seolah terkikis mendengar perkataan ambigu itu.
**
Besok paginya, Fino duduk di sebuah restoran hotel mewah, tempat yang disebut “biasa” oleh Aidar. Ruangan itu elegan, tapi dingin—persis kayak atmosfer yang selalu muncul setiap Fino bertemu ayahnya.
Tak lama, Aidar datang. Penampilannya rapi dengan setelan jas hitam. Wibawa pria itu seakan menguasai seluruh ruangan. Dia duduk di hadapan Fino, tanpa senyum, hanya tatapan tajam.
"Jadi apa yang penting banget sampai harus ketemu langsung?” Tanya Fino dengan wajah datarnya.
Aidar menghela napas, lalu memberi isyarat ke pelayan. Beberapa menit kemudian, seorang perempuan masuk. Tubuh semampai, rambut terikat anggun, pakaian elegan yang mahal. Dia berjalan anggun lalu duduk di samping Fino, tersenyum sopan.
“Kenalin. Namanya Alendra. Anak dari rekan bisnis Papah. Mulai hari ini, Papah mau kamu seriusin hubungan ini. Kamu tunangan sama dia.”
Fino sontak menoleh ke ayahnya, tatapannya tajam. “Apa? Papah bercanda.”
“Apa papah terlihat bercanda, Fino. Ini soal keluarga kita, soal bisnis. Kamu harus paham tentang tanggung jawab ini.”
Fino mendengus, tangannya mengepal di bawah meja. “Tapi ini nggak ada dalam perjanjian kita. Aku nggak mau, hidup aku bukan buat jadi pion di permainan papah. Aku men.....”
“Kamu pikir hidup kamu cuma buat ngejar perasaan bodoh itu?! Perempuan itu—siapapun namanya—dibnggak akan bawa kamu ke mana-mana! Yang bisa kasih kamu masa depan cuma ini. Alendra!” Aidar memotong, suaranya meninggi.
Alendra menatap Fino dengan senyum kaku, mencoba menengahi. “Aku mengerti ini mungkin mendadak. Tapi… aku nggak keberatan, Fino. Aku percaya kita bisa—”
“Aku nggak pernah setuju. Dan aku nggak akan pernah setuju.”
Aidar membanting tangannya ke meja, membuat gelas bergetar.
“Cukup, Fino! Kamu nggak ada pilihan.”
Fino berdiri, kursinya bergeser keras. Matanya merah menahan amarah.
“Papah salah, aku punya pilihan. Dan pilihan aku jelas—aku nggak akan pernah jadi boneka papah lagi, apapun itu.”
“Kamu akan menyesel, Fino. Cepat atau lambat kamu bakal sadar, dunia ini nggak jalan pakai hati. Dunia ini jalan pakai logika, kekuasaan, dan uang. Dan kamj butuh semua itu.”
Fino melangkah mundur, rahangnya mengeras.
“Kalau semua itu harus aku dapetin dengan ngorbanin diri aku sendiri… lebih baik aku nggak punya apa-apa.”
Tanpa menunggu jawaban, Fino berbalik, meninggalkan meja itu. Alendra hanya terdiam, sementara Aidar menatap punggung anaknya dengan tatapan tajamnya.