Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 6
Pagi menjelang di apartemen sepi itu. Alya keluar dari kamar tamu dengan seragam putih abu-abunya yang telah dicuci dan disetrika sendiri malam tadi. Rambutnya di kuncir rapi, wajahnya tanpa riasan, tapi sorot matanya tenang.
Ia berpapasan dengan Reihan yang juga hendak keluar dari kamarnya. Pria itu mengenakan kemeja gelap dan celana bahan, tas selempang hitam menggantung di bahunya. Tatapan mereka bertemu sepersekian detik, tak ada senyum, tak ada salam.
“Kamu bisa ke sekolah sendiri, kan?” tanya Reihan datar, suaranya seperti biasa, dingin dan malas.
Alya hanya mengangguk, “Iya, saya bisa sendiri,” jawabnya pelan tapi mantap.
Dalam hatinya, ia tak merasa berat. Ia tak pernah berharap apa pun dari Reihan. Tak berharap diantar, tak berharap dilindungi, apalagi dicintai. Pernikahan dadakan itu hanyalah lelucon pahit dalam hidupnya. Dan Reihan... hanya orang asing yang kebetulan berbagi atap.
Reihan melanjutkan ucapannya sambil menyesuaikan jam tangannya. “Kalau kita berangkat bareng, orang-orang bisa curiga. Mending jangan cari masalah baru.”
Alya hanya mengangguk sekali lagi. “Saya ngerti.”
Ia pergi lebih dulu, memesan ojek online dari sisa uang yang diberikan Reihan kemarin. Ia melangkah keluar apartemen dengan langkah tenang. ringan, seperti tidak membawa beban apa pun, karena memang begitu adanya. Ia tidak membawa harapan.
...
Sesampainya di sekolah, suasana masih sama seperti biasa. Lorong-lorong penuh suara, tawa, dan langkah kaki. Alya berjalan menyusuri koridor menuju kelasnya, melewati deretan loker dan tatapan yang tak pernah ramah.
Saat ia hendak menaiki tangga, tali sepatunya terlepas. Ia berjongkok di sisi lorong, mengikatnya kembali.
Dan saat itu, langkah cepat dan kasar berhenti di belakangnya.
DOR.
Sebuah tendangan ringan namun sengaja diarahkan menghantam bahunya, membuat Alya kehilangan keseimbangan dan tersungkur ke lantai.
“Minggir, bego. Lo menghalangi jalan,” suara Kevin terdengar, penuh jijik dan ejekan.
Alya menoleh, menatap Kevin dengan mata tajam yang menahan banyak hal. marah, muak, tapi juga lelah. Ia tidak berkata sepatah kata pun.
Kevin mendengus saat menangkap sorot matanya. “Apa lo liat-liat?” ejeknya lagi.
Alya tak membalas. Ia hanya menunduk, menahan diri. Bukan karena takut. Tapi karena ia tahu tidak ada gunanya melawan orang yang merasa dirinya kebal terhadap akibat.
Kevin berlalu begitu saja, tertawa kecil dengan teman-temannya.
Alya berdiri perlahan, menepuk-nepuk seragamnya yang kotor. Matanya memerah. Tapi seperti biasa, ia tidak menangis.
...
Di lantai atas, di balik jendela ruang kepala sekolah, Reihan berdiri memandangi koridor itu. Ia melihat semuanya. Melihat Kevin menendang Alya. Melihat gadis itu tersungkur dan tetap diam. Melihat cara Kevin memperlakukannya seperti sampah di jalan.
Namun Reihan hanya mendengus pelan. Ekspresinya datar. Tangannya dimasukkan ke saku celana, lalu ia membalikkan badan.
“Masalah mereka, bukan urusan ku,” gumamnya pelan.
Tanpa ada sedikit pun dorongan untuk turun tangan, Reihan melangkah menuju ruang kepala sekolah dengan santai. Apa pun yang baru saja ia lihat, tidak cukup penting untuk mengganggu harinya.
Alya bukan siapa-siapa. Dan ia tidak pernah meminta untuk menjadi siapa-siapa.
...
Sepulang sekolah, Alya memutuskan untuk mampir ke rumah orang tuanya. Ia merasa perlu mengambil beberapa barang yang tertinggal, terutama pakaian ganti yang akan ia butuhkan selama tinggal di apartemen Reihan. Setelah menunggu di pinggir jalan selama beberapa menit, sebuah motor ojol berhenti di hadapannya. Dengan langkah ringan dan raut wajah datar, Alya naik ke motor dan mengatakan alamat rumah orang tuanya pada si pengemudi.
Sepanjang perjalanan, ia memandangi jalanan kota yang mulai lengang saat matahari merambat turun. Udara sore membawa aroma khas aspal yang menghangat, memancing rasa rindu akan rumah kecilnya yang sederhana. Tak lama kemudian, motor berhenti di depan gang sempit yang sudah akrab di matanya. Ia turun, membayar ongkos dan mengucapkan terima kasih pada pengemudi, lalu berjalan cepat menuju rumahnya.
Sesampainya di halaman, ia melihat ibunya tengah mengangkat pakaian dari jemuran. Wajah letih namun hangat itu sontak menoleh ketika mendengar suara langkah Alya.
“Assalamualaikum,” sapa Alya dengan suara lembut.
“Waalaikumsalam, Alya? Kamu pulang?” sahut sang ibu, Sari, dengan mata yang sedikit membelalak kaget namun bahagia.
“Iya, Bu. Alya mau ambil beberapa baju. Di apartemen nggak punya baju ganti,” jawab Alya sambil tersenyum tipis.
“Bapakmu lagi narik, belum pulang” ujar sang ibu, meletakkan keranjang pakaian di teras.
Alya hanya mengangguk lalu masuk ke kamarnya. Ruangan sempit itu terasa jauh lebih nyaman daripada apartemen besar Reihan yang dingin dan kaku. Ia mengambil tas ransel dari atas lemari dan mulai memasukkan beberapa potong pakaian secukupnya, beberapa kaus, celana panjang, dan perlengkapan lainnya.
Dari arah dapur, terdengar suara lembut ibunya memanggil, “Nduk, kamu sudah makan?”
Alya berjalan pelan ke arah suara itu. Di meja makan yang sudah tua, ibunya tengah menata piring dan menyendok kan tumis kangkung ke atas piring.
“Ayo makan dulu, Ibu masak tumis kangkung sama tahu goreng kesukaanmu,” ucap Sari penuh perhatian.
Tanpa menolak, Alya duduk dan mulai menyantap makanan buatan ibunya. Baru sehari ia tak tinggal di rumah, tapi rasanya rindu itu menggumpal dan menyesakkan. Setiap suapan terasa begitu akrab dan menenangkan, seperti pelukan hangat di tengah dinginnya dunia asing yang kini harus ia hadapi.
Setelah selesai makan, Alya pamit. Ia menolak tawaran sang ibu untuk diantar bapaknya nanti malam.
“Alya naik ojol lagi aja, Bu. Biar cepat,” ucapnya.
Sari mengangguk, tapi sebelum Alya benar-benar pergi, ia menatap putrinya dalam-dalam dan berkata dengan suara pelan namun sarat makna,
“Alya, meskipun kamu masih muda, kamu sudah jadi istri orang. Ibu nggak minta banyak... Berbakti lah pada suamimu, layani dia dengan sepenuh hati. Kalau ada masalah, jangan langsung pergi. Bicarakan baik-baik.”
Alya terdiam. Pandangannya jatuh pada lantai usang di bawah kakinya. Ia menghela napas panjang lalu mengangguk pelan, walau hatinya tak sepenuhnya setuju dengan nasihat itu. Tapi ia tak ingin membantah ibunya yang jelas tulus.
“Ya, Bu... Alya pamit ya.”