Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.
Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 / THTM
Langit sore tampak seperti peringatan — merah, kelam, seolah ikut menahan napas bersama Nayara yang berjalan cepat di trotoar kecil menuju tempat kerjanya. Di tangannya masih tergenggam buku catatan yang sejak tadi bahkan belum sempat ia buka. Setiap langkahnya terasa ringan di luar, tapi dada di dalamnya bergemuruh hebat, memukul satu sama lain seperti ombak mencari tepi.
Kertas kecil itu masih tersimpan di dalam saku seragamnya.
Tulisan itu sederhana.
Tapi entah kenapa, seperti mantra buruk yang tak mau hilang dari kepala:
“Kamu cantik hari ini.”
Sekilas, kalimat itu bisa saja dianggap biasa. Tapi bukan dari dia.
Bukan dari Alaric!! Kalimat itu yang selalu berulang di pikirannya.
Sudah seminggu Nayara mencoba menenangkan dirinya, menolak untuk berpikir bahwa kalimat itu menandakan apa pun. Tapi makin ia abaikan, makin bayangan pria itu hadir di setiap sela pikirannya. Ia tak tahu apakah ini kebetulan, atau memang Alaric sedang menuntun langkahnya dari kejauhan.
“Jangan paranoid,” gumamnya pelan sambil memeluk tasnya lebih erat. “Dia sibuk. Dia punya urusan.”
Namun bibirnya gemetar saat mengucapkannya.
Karena sejak dua hari lalu, ia seperti merasa diawasi.
Ketika menuruni tangga sekolah, ada tatapan asing dari mobil hitam di seberang jalan. Ketika bekerja di fotokopian sepulang sekolah, ia pernah melihat bayangan seseorang di kaca toko, berdiri lama, menatap. Dan setiap kali ia menoleh, tak ada siapa pun.
Semua lenyap. Tapi rasa itu tidak.
Dan hari ini, entah kenapa, udara terasa terlalu dingin.
“Nayaraaa!” suara Elara memecah lamunannya.
Sahabatnya berlari kecil, wajahnya cerah seperti biasa, tapi matanya menyimpan sesuatu yang Nayara tak sempat tangkap.
“Eh, Elara... kamu belum pulang?” Nayara kaget, ia tidak menyangka akan ada Elara.
“Belum. Aku lewat sini, tapi liat kamu jalan jadi aku pikir mau ajak kamu makan. Kamu kelihatan pucat banget akhir-akhir ini, kenapa sih?”
Nayara tersenyum, tapi senyumnya jatuh separuh jalan. “Capek aja, tugas banyak.”
Elara mengangguk, tapi tak sepenuhnya percaya. Ia menatap sahabatnya lama, seperti mencoba menembus dinding tipis yang Nayara pasang di sekeliling dirinya.
“Kalau ada apa-apa, kamu tahu kan, aku selalu ada,” ucap Elara pelan.
“Iya, aku tahu,” jawab Nayara singkat.
Mereka berjalan berdampingan sambil berbincang seperti sedia kala, Elara yang merengek karna Nayara sudah tidak pernah datang ke rumahnya dan membantunya belajar. semuanya mengalir tanpa ada rasa curiga sedikit pun dari Nayara.
Sesampainya di tempat fotokopi, Nayara menyalakan lampu, menata kertas, dan mencoba sibuk. Elara sudah pulang setelah sempat membantunya sebentar dan juga mereka makan dari pesanan yang di pesan Elara, meninggalkan tawa yang tak lagi sama. Tawa yang dulu hangat, kini terasa seperti pengingat.
Waktu berjalan lambat.
Suara mesin fotokopi berdengung monoton, satu-satunya suara di ruangan itu. Sampai… bel pintu berdenting pelan.
Ting.
Nayara mendongak.
Seseorang masuk.
Tubuhnya tinggi, langkahnya tenang, aroma parfum yang khas langsung menembus udara.
Napas Nayara tertahan.
Alaric.
Ia datang tanpa suara, seperti bayangan yang menemukan bentuknya lagi.
Pria itu berdiri di dekat rak kertas, jari-jarinya menyusuri permukaan meja, seolah sekadar lewat. Tapi mata itu—mata yang sama yang dulu membuat Nayara kehilangan logika—menatapnya.
“Tempatmu rapi,” katanya datar, nyaris seperti sapaan biasa.
Nayara menelan ludah. “Kamu... ngapain di sini?”
Alaric menatapnya beberapa detik sebelum menjawab, “Mengecek sesuatu.”
“Kau—”
“Tenang, Nayara.” Ia tersenyum samar. “Aku tidak datang untuk mengganggumu.”
Tapi suaranya membuat seluruh tubuh Nayara gemetar.
Karena Alaric tidak pernah datang tanpa alasan.
Ia ingin menjawab, ingin menolak, tapi lidahnya kelu. Tangannya menggenggam ujung meja erat-erat, mencoba tetap berdiri tegak.
Lalu Alaric berjalan pelan ke arah mesin fotokopi, menatap hasil cetak yang baru keluar, dan mengambil satu lembar.
“Masih sama seperti dulu, ya? Kamu suka bekerja keras... tapi masih menatapku seperti orang yang menyesal.”
“Berhenti bicara seperti itu,” ucap Nayara dengan suara rendah.
Alaric menatapnya, seolah menikmati setiap ketegangan kecil di wajah gadis itu. “Aku hanya menyapa. Aku tidak melakukan apa pun, Nayara.”
“Tapi kamu di sini.”
“Aku di sini, karena aku bisa.”
Satu kalimat itu cukup untuk memecahkan pertahanan Nayara yang tersisa. Ia mundur setapak. Alaric tidak bergerak mendekat, tapi tekanan di udara cukup membuat napasnya tersengal.
Namun tiba-tiba—
Suara langkah dari luar.
“NAYARAAA! Kamu belum pulang juga?”
Suara Elara.
Jantung Nayara seolah berhenti. Ia menatap Alaric panik, sementara pria itu hanya mengangkat sebelah alis, lalu dengan cepat berbalik ke arah rak kertas. Dalam satu gerakan yang nyaris tak terdengar, ia bersembunyi di balik sekat kecil di ruangan itu, menatap Nayara dengan isyarat tenang.
“Cepat, tenang saja,” bisiknya, sebelum benar-benar menghilang dari pandangan.
Nayara nyaris tidak bisa bernapas saat Elara masuk.
“Elara... kenapa balik lagi?”
“Aku lupa dompetku. Tadi kayaknya jatuh di sini waktu bantu kamu.”
Elara menunduk, mencari di bawah meja. Nayara mencoba tersenyum, tapi pandangannya sesekali menoleh ke arah sekat tempat Alaric bersembunyi.
Elara mengangkat dompet kecil berwarna krem. “Nah, ketemu! Untung aku balik.”
“Iya...” suara Nayara serak. “Untung kamu balik.”
Saat Elara hendak pergi, langkahnya terhenti. Ia menatap ke arah sekat, keningnya sedikit berkerut. “Tadi kamu bilang sendirian, ya?”
“Iya,” jawab Nayara cepat. “Kenapa?”
“Emm... gak, cuma tadi aku kayak dengar suara.”
Nayara memaksakan tawa kecil. “Mungkin suara mesin fotokopi.”
“Hmm...” Elara tampak berpikir, tapi akhirnya mengangguk.
“Oke. Nanti kalo kamu pulang hati-hati, ya.” Entah mengapa Elara terasa memiliki maksud lain, tapi Nayara berusaha menggapai hal itu hanya perhatian biasa dari Elara.
Begitu pintu tertutup, dunia Nayara kembali hening.
Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan detak jantung yang terlalu keras. Tapi sebelum ia sempat bicara, Alaric sudah muncul kembali dari balik sekat, langkahnya tenang, matanya menatap lurus ke arah Nayara.
“Dia hampir tahu,” katanya pelan, tapi nada suaranya bukan takut — melainkan geli.
“Kamu gila...” desah Nayara lemah.
“Mungkin,” jawabnya datar. “Tapi kau tahu yang lebih gila? Fakta bahwa kau masih belum melaporkanku, Nayara.”
Ia mendekat, cukup dekat untuk membuat napas gadis itu tercekat, tapi tidak sampai menyentuh.
Lalu dengan suara nyaris berbisik, ia menambahkan,
“Dan karena itu... aku tahu, sebagian dari dirimu masih mengingatku.”
Nayara memejamkan mata, menahan air mata yang hampir pecah.
Bukan karena rindu.
Tapi karena ketakutan yang tumbuh dari sesuatu yang membuatnya harus menjaga rahasia ini lebih dalam.
Ketika Alaric akhirnya pergi, langkahnya seperti bayangan yang larut di udara, meninggalkan keheningan yang aneh. Nayara duduk di lantai, menatap pintu toko yang kini tertutup rapat, tapi hatinya tahu — pintu itu tak akan bisa menutup rapat dari dirinya sendiri.
Karena mulai malam ini, bukan hanya Alaric yang membayangi.
Ada Elara.
Ada rahasia yang semakin berat disimpan.
Dan untuk pertama kalinya, Nayara mulai sadar — semakin ia berusaha menjauh, semakin takdir menyeretnya kembali ke arah yang sama.