 
                            "Aku akan menghancurkan semua yang dia hancurkan hari ini."
Begitulah sumpah yang terucap dari bibir Primordia, yang biasa dipanggil Prima, di depan makam ibunya. Prima siang itu, ditengah hujan lebat menangis bersimpuh di depan gundukan tanah yang masih merah, tempat pembaringan terakhir ibunya, Asri Amarta, yang meninggal terkena serangan jantung. Betapa tidak, rumah tangga yang sudah ia bangun lebih dari 17 tahun harus hancur gara-gara perempuan ambisius, yang tak hanya merebut ayahnya dari tangan ibunya, tetapi juga mengambil seluruh aset yang mereka miliki.
Prima, dengan kebencian yang bergemuruh di dalam dadanya, bertekad menguatkan diri untuk bangkit dan membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konsultasi Dokter.
Anita tengah bersiap di dalam kamar. Ia memoles wajahnya lebih merona dari biasanya, tak mau terlihat pucat dan menimbulkan kekhawatiran bagi seisi rumah. Kebetulan hari ini pak Yusuf masih cuti. Kesempatan baginya untuk pergi ke rumah sakit tanpa pengawalan Pak Yusuf. Iya tak mau ada pertanyaan-pertanyaan yang belum siap untuk ia jawab.
"Nyonya mau pergi ke kantor ya? Biar Iqbal antar."
"Tidak perlu Bi Karti. Biar Iqbal di rumah saja menunggu Prima pulang sekolah."
"Terus Nyonya pergi sama siapa?"
"Sendiri saja tidak apa-apa nanti biar naik taksi."
Anita bersikeras untuk pergi sendiri. Tentu saja ia tak ingin mereka tahu ke mana Anita pergi kali ini. Sekalipun bi Karti sebetulnya tak tega melihat majikannya pergi sendiri, tetapi ia tak punya keberanian untuk melarang.
"Telepon ke rumah segera ya Nyonya, kalau perlu Iqbal untuk menjemput."
Anita mengangguk tersenyum, lalu berbicara di saluran telepon memanggil taksi.
Hari belum terlalu siang. Anita meminta sopir taksi untuk berjalan sedikit lebih cepat. Malam tadi ia sudah membuat janji dengan dokter Hendri untuk datang menemui. Namun menjelang waktu yang ditentukan Anita hampir saja lupa dengan janji itu.
Meskipun hati Anita dilanda rasa ketakutan namun ia harus memberanikan diri. Anita tahu bahwa iya tak bisa selama-lamanya menutupi penyakit ini dari keluarganya. Namun sebelum ia menceritakan kepada orang lain, ia harus tahu terlebih dahulu sejauh mana penyakit ini sudah menggerogoti tubuhnya.
"Nyonya harus segera melakukan kemoterapi rutin, sebelum sel kanker menyebar ke seluruh tubuh."
"Sejauh ini bagaimana keadaan saya dok?"
"Nyonya tidak boleh memforsir tenaga dan pikiran. Lebih baik nyonya menunda peluncuran perusahaan nyonya dan fokus pada pengobatan terlebih dahulu."
"Lebih baik dokter berkata jujur kepada saya, sejauh mana penyakit ini menyerang saya."
Dokter Hendry terdiam. Ia tidak tahu harus menggunakan kata-kata apa untuk menceritakan kondisi Anita yang sebenarnya. Dokter Henry tahu bahwa pasien memiliki hak hak untuk mengetahui kondisi medis tentangnya, tetapi ia berharap Anita tidak sendirian untuk mendengar berita ini.
"Nyonya, datanglah bersama suami nyonya setelah beliau pulang ke Indonesia. Saya akan menceritakan semua kondisi nyonya yang sebenarnya."
"Tidak, saya tidak akan menceritakan kepada siapapun sampai saya tahu betul kondisi kesehatan saya. Jadi saya mohon Dok, katakan saja."
Dokter Henry menghela nafas panjang. Iya sudah menduga bahwa Anita akan bersikeras untuk mengetahui sejauh mana penyakit kanker otak yang dideritanya.
"Penyakit nyonya berada di stadium 3 akhir. Nyonya masih punya waktu dan kesempatan untuk melakukan pengobatan. Saya menyarankan nyonya untuk tidak menunda Kemoterapi."
"Berapa waktu yang saya punya dok?"
"Maksudnya nyonya?"
"Dokter, saya tahu penyakit kanker bukanlah penyakit yang bisa diobati. Bahkan kemoterapi sekalipun tidak akan bisa mengobati, hanya menunda kematian saya saja."
"Nyonya, penyakit apapun memang bisa berujung dengan kematian, tapi saya harap nyonya harus bisa berpikir positif dan harus tetap optimis bahwa Nyonya bisa sembuh dan melawan penyakit ini."
Anita tersenyum tipis. Iya tahu betul bahwa ini hanyalah kalimat penghiburan dari seorang dokter kepada pasiennya. Bagaimanapun ia harus siap dengan datangnya kematian yang bisa merenggut kapan saja.
"Ada begitu banyak pasien kanker yang bisa sembuh. Saya percaya Nyonya adalah salah satunya. Jadi saya mohon segeralah melakukan kemoterapi."
"Saya tidak bisa menunda peluncuran perusahaan saya dok. Ini adalah impian saya sejak kecil. Saya akan tetap melakukannya seperti rencana semula. Setidaknya, kalau toh saya mati, maka saya mati tidak membawa sebuah penyesalan."
Dokter Henry kembali menghela nafas panjang. Lalu ia mengangguk dan mengambil secarik kertas.
"Baiklah kalau begitu, tapi saya harap setelahnya segeralah datang untuk melakukan kemoterapi."
"Dokter, apakah yang akan saya alami karena penyakit ini? Maksut saya, gejela-gejala yang mungkin terjadi."
"Setiap orang memiliki keluhan yang berbeda-beda Nyonya. Mulai dari merasa sakit kepala, perdarahan, atau mengalami dimensia. Apapun itu, Nyonya harus selalu berhati-hati."
"Baik dokter saya akan mengingat pesan dokter."
"Beristirahatlah jika memang sudah lelah. Jangan pernah memaksakan tubuh anda mengikuti kemauan anda. Jika bukan Anda yang menjaga, maka orang lain pun tidak akan bisa."
"Baik Dok."
"Bukankah seharusnya Tuhan Pram sudah kembali, Nyonya?"
"Kemarin suami saya memberi kabar kalau pekerjaannya mungkin akan memakan waktu lebih lama dari rencana semula."
Dokter Hendri tidak berkomentar. Ia meresepkan sebuah obat dan vitamin untuk Anita.
"Minumlah secara teratur nyonya. Dan segera lakukan kemoterapi."
Dokter Hendry terus mengulang-ulang kalimat itu. Namun Anita sama sekali tidak merespon.
"Dok, Saya harap dokter memegang janji Dokter untuk tidak menceritakan penyakit saya ini kepada suami saya."
Anita memohon kepada dokter Hendri, namun ada bicaranya lebih mirip dengan sebuah ancaman.
"Hanya 2 minggu Nyonya. Jika dalam waktu 2 minggu Nyonya belum datang untuk kemoterapi, maka dengan berat hati saya akan menghubungi Tuan Pram. Anda boleh marah dengan saya namun saya melakukan ini karena saya peduli dengan anda. Keluarga anda bukan pasien biasa bagi saya pribadi. Kalian sudah seperti keluarga bagi saya."
Anita menerima kertas itu ia memandangi sejenak coretan di atasnya yang tak dapat ia baca. Namun demikian Anita tahu bahwa opa dan vitamin yang harus ia tebus tidak sedikit. Anita harus berhati-hati menyimpan obat itu agar tak perlu terlihat oleh siapapun.
***