INGRID: Crisantemo Blu💙
Di balik nama Constanzo, Ingrid menyimpan luka dan rahasia yang bahkan dirinya tak sepenuhnya pahami. Dikhianati, dibenci, dan hampir dilenyapkan, ia datang ke jantung kegelapan-bukan untuk bertahan, tapi untuk menghancurkan. Namun, di dunia yang penuh bayangan, siapa yang benar-benar kawan, dan siapa yang hanya menunggu saat yang tepat untuk menusuk dari bayang-bayang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I. D. R. Wardan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Ostinata
Vesa melipat tangannya, kedua alisnya naik, mendesak mendapatkan jawaban segera. Dia menatap Ingrid dan Frenzzio secara bergantian. Dia tidak heran jika Frenzzio berkeliaran di jam seperti ini, karena sering diberi tugas oleh Giorgio. Tapi berdua dengan Ingrid? Apa yang dilakukan keduanya.
Ingrid memberikan lirikan tajam pada Frenzzio, memberi isyarat padanya untuk berbalik dan menghadapi Vesa. Frenzzio mengedipkan sebelah matanya, seakan berkata aku akan mengatasi ini.
Frenzzio memutar tubuhnya, senyuman cerah terpasang di wajahnya tampannya yang tak terpengaruh oleh pencahayaan yang minim.
"Hai, ibu. Kami bersenang-senang, kau tahu yang biasa dilakukan anak-anak seusia kami. Tolong, jangan marah."
Mata Vesa semakin tajam, dia melirik tangan Ingrid yang meskipun terbatas karena kurangnya cahaya, dia masih dapat melihat plester di sana, seperti baru saja melepas infus.
"Cepat masuk ke kamar kalian," ucapnya singkat, kemudian berjalan melewati keduanya begitu saja.
Ingrid bernapas lega.
"Ayo!" ajak Frenzzio, Mereka kembali menapaki anak-anak tangga.
"Hanya seperti itu? Itu aneh." Ingrid bicara sangat pelan memastikan tidak ada lagi yang akan menangkap mereka.
"Dia melihat plestermu." Pria itu berucap santai.
Ingrid menoleh ke Frenzzio dengan tatapan tak percaya. "Apa?!"
"Lupakan saja, dia bukan sesuatu yang harus kita khawatirkan."
"Bagaimana bisa kau begitu yakin?"
"Aku tinggal serumah dengannya bertahun-tahun."
Ingrid meringis, dia lupa fakta itu.
Mereka sampai di depan kamar Ingrid. "Selamat malam," Ingrid buru-buru masuk ke kamarnya, tanpa menunggu balasan dari Frenzzio.
Pintu tertutup di depan wajah Frenzzio, menyisakan sapuan angin yang menimpa wajahnya. Sudut-sudut bibir Frenzzio terangkat naik sedikit. "Selamat malam, Amore."
Frenzzio beralih dari depan pintu kamar Ingrid, menuju pintu kamarnya yang di mana jarak yang memisahkan keduanya tak terlalu berarti.
•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•
Setelah berada berada dalam kamarnya, Ingrid mendudukkan dirinya di sofa di sudut ruangan. Pusing kembali mendatanginya, itu sebabnya di buru-buru masuk ke dalam kamar. Dia tidak ingin Frenzzio kembali melihatnya seperti ini, sudah cukup dia merepotkannya.
Ingrid menyandarkan kepalanya di sofa, berharap pusing di kepalanya mereda. Ingrid sadar telah meninggalkan obat-obatan yang di berikan dokter tadi di mobil Frenzzio. Dia lelah, seluruh tubuhnya terasa diremukkan, dia rasanya tidak sanggup lagi harus kembali ke bawah.
Beberapa saat berlalu, syukurlah denyut di kepalanya berkurang jauh lebih baik. Ingrid mengambil kesempatan itu untuk membersihkan dirinya, dia tidak bisa tidur tanpa membersihkan diri terlebih dulu, apalagi setelah berbagai hal yang terjadi disepanjang hari ini. Memikirkannya membuatnya frustasi.
Selesai membersihkan diri, Ingrid segera menghampiri ranjangnya. Mematikan lampu-lampu utama, menyisakan lampu tidur di sampingnya. Ingrid membaringkan dirinya di kasur yang empuk dan hangat. Dia Mencoba untuk tidur, akan tetapi, saat menurunkan kelopak matanya, bayangan orang-orang yang menculik dan menganiayanya terus menghantuinya. Ingrid frustrasi, berkali-kali dia menutup matanya selalu bayangan mereka yang muncul.
Ingrid mendudukkan dirinya, mengusap wajahnya dengan kasar, berharap dapat menghilangkan bayangan itu dari pikirannya.
"Apa yang terjadi padaku?!" Ingrid memukul selimutnya. Dia menyalakan kembali lampu. Perasaannya menjadi gelisah, seakan-akan ada yang memperhatikannya, padahal tidak ada siapapun. Jantung Ingrid berdetak cepat, matanya menelisik ke sekeliling kamar dengan tidak fokus.
"Akhirnya aku menemukanmu." Pria yang ingin menodai Ingrid tiba-tiba saja muncul entah dari mana. Dia tertawa dengan mengerikan. Berjalan cepat ke arah Ingrid, kedua tangannya menjulur ke depan, seakan siap mencekiknya.
Mata Ingrid membesar, pupilnya bergetar. Dia refleks mengangkat kedua tangannya, membuat sikap seakan melindungi dirinya. "Ayah!!" Ingrid menjerit.
Tidak terjadi apapun. Ingrid menurunkan tangannya—tidak ada siapapun.
Gadis itu tidak tahan lagi, dia segera turun dari ranjangnya dan berlari keluar dari kamar. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi kakinya membawa Ingrid ke pintu yang kemarin malam dia datangi, kamar Frenzzio.
Ingrid mengetuk sebanyak tiga kali. Jari-jarinya bergerak gelisah, menunggu sang pemilik kamar membuka pintu. 'klik' pintu terbuka, Frenzzio berdiri tanpa memakai atasan, memperlihatkan tubuh bagian atasnya dengan bebas.
"Ada apa, Blu?" Frenzzio khawatir melihat Ingrid berhias ketakutan.
"Bisakah aku di sini ... untuk malam ini?"
Frenzzio menarik lembut tangan Ingrid, membawanya masuk ke dalam kamarnya, lalu menutup pintu. "Katakan padaku, apa yang terjadi?" Frenzzio semakin kalut, karena hampir tidak mungkin Ingrid datang padanya di tengah malam seperti ini tanpa sebab yang kuat.
"Me ... me ... mereka terus datang padaku, mereka tidak mau hilang dari pikiranku, para penculikku, mereka terus muncul, mereka—"
"Hei, ssst! Tenanglah, tidak ada satu pun yang akan mendekatimu, Blu, ssst!" Frenzzio membingkai wajah Ingrid dengan tangan besarnya.
"Benarkah?" Ingrid mencari kesungguhan dalam netra Frenzzio, Ingrid mencengkram lengan atas pria itu.
Frenzzio mengangguk sekali dengan keyakinan penuh.
Kepanikan dalam mata Ingrid perlahan memudar, bahunya yang kaku pun menurun, cengkramannya juga melonggar.
"Ke mari." Frenzzio memapah Ingrid untuk duduk di kasurnya. Dia menuangkan air dari teko ke dalam gelas kaca bening, memberikannya kepada Ingrid.
Putri bungsu keluarga Constanzo itu meneguk air dengan cepat.
"Kau ingin tidur?" Ingrid mengangguk.
Frenzzio membantu Ingrid berbaring, menarik selimut, menyelimuti gadisnya. "Tidurlah." Dia melemparkan senyumnya.
Ingrid menggapai tangan pria itu saat dia akan beranjak pergi. "Jangan pergi ke manapun," mohon Ingrid.
"Aku tidak akan pergi." Ingrid melepaskan tangan saudara angkatnya.
Mata Ingrid mengikuti gerak-gerik Frenzzio yang menghampiri sebuah sofa kemudian mendudukkan dirinya di sana.
Kening gadis itu mengkerut, dia bangkit dari tidurnya. "Kau ... tidur di sana?" tanyanya ragu-ragu.
"Hm, tidak apa-apa, tidurlah, Blu." Dia memejamkan matanya.
"Kau tidak akan nyaman, dan tanpa selimut dicuaca dingin seperti ini, kau bisa sakit." Sorot matanya memancarkan kekhawatiran dan kecanggungan. "Ini kamarmu, tidurlah di kasur, biar aku saja yang tidur di sofa." Dia menurunkan kakinya hendak beranjak dari ranjang.
"Kau pikir aku akan melakukan itu?" Frenzzio melirik tidak senang. "Tetap di sana," titahnya tegas.
Ingrid masih tidak terima. Dirinya merasa tidak enak jika membiarkan si pemilik kamar tidur dengan tidak nyaman di sana, sementara dia di sini tidur dengan nyaman. Dia terlalu takut untuk kembali ke kamarnya dan tidur sendirian. Menyambangi kamar Marcello juga hanya akan menganggunya yang baru kembali dari rumah sakit.
"Frenzzio ...." Pria berambut hitam itu membuka sedikit matanya, menyorot tepat pada Ingrid. "Tidurlah di sini."
Senyum miring tipis terpahat di wajah Frenzzio, sampai-sampai tak disadari oleh gadis itu. "Kembalilah tidur, Ingrid."
"Aku tidak akan tidur sampai kau pindah ke sini." Dia bersikeras.
"Coba saja."
Tatapan Ingrid berubah kesal. Dia menyibak selimut, membawa kakinya ke lantai, menghampiri pria yang tak memakai atasan itu. Jari-jari lembutnya menyentuh kulit Frenzzio, menariknya sekuat tenaga untuk bangun dari posisi duduknya.
Tapi, bahkan Frenzzio tak bergerak dari posisinya. Justru Ingrid malah terhuyung dan akan jatuh jika saja Frenzzio tidak balik menarik tangannya. Dia jatuh di atas tubuh Frenzzio. "Keras kepala."
Ruang antara keduanya sangat sempit, bahkan keduanya dapat merasakan detak jantung satu sama lain. Wajah Ingrid rasanya terbakar, napasnya memburu, dia tidak dapat mengalihkan fokus matanya dari mata pria itu. Sementara netra Frenzzio terus-menerus berpindah dari satu mata Ingrid ke satu lainnya, lalu turun ke bibirnya yang tak di poles apapun.
Frenzzio menelan salivanya. "Masih ingin tidur atau kau akan berakhir menamparku lagi?"
•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•
lopyu thorr