Winda Happy Azhari, seorang penulis novel yang memakai nama pena Happy terjerumus masuk bertransmigrasi ke dalam novel yang dia tulis sendiri. Di sana, dia menjadi tokoh antagonis atau penjahat dalam novel nya yang ditakdirkan mati di tangan pengawal pribadinya.
Tak mampu lepas dari kehidupan barunya, Happy hanya bisa menerimanya dan memutuskan untuk mengubah takdir yang telah dia tulis dalam novelnya itu dengan harapan dia tidak akan dibunuh oleh pengawal pribadinya. Tak peduli jika hidupnya menjadi sulit atau berantakan, selama ia masih hidup, dia akan berusaha melewatinya agar bisa kembali ke dunianya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon La-Rayya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benih Bunga
"Ibu!!" Teriak gadis kecil itu dengan keras.
Kemudian seorang wanita yang tampak berusia sekitar tiga puluhan keluar dengan senyum lebar di wajahnya. Gadis kecil itu berlari ke pelukan ibunya sebelum menunjuk ke arah Alex.
Alex lalu membungkuk sopan kepada ibu gadis kecil itu.
"Joanna! Siapa ini?" Tanya ibunya.
"Tuan yang baik hati ini membeli benih bunga untuk kita dan dia bertanya apakah masih ada lagi!" Seru gadis kecil yang ternyata bernama Joanna itu dengan gembira.
Tangannya beterbangan ke mana-mana saat dia berbicara kepada ibunya.
Ibunya terkekeh sayang pada putrinya sebelum menoleh ke Alex. Dia membungkuk padanya.
"Terima kasih sudah membeli benih kami. Kalau Anda suka, kami punya beberapa jenis benih di belakang rumah." Ucap wanita itu.
Alex membungkuk.
"Tidak apa-apa, dan kalau kau tidak keberatan, bolehkah aku melihat bunga yang seperti apa?" Balas Alex.
Ibu Joanna mengangguk, lalu membawa Alex ke belakang tempat mereka menyimpan benih bunga. Alex melihat sekeliling dan menemukan bunga-bunga yang bermekaran indah tertata rapi. Meskipun agak berantakan, bunga-bunga itu memiliki daya tarik tersendiri yang membuatnya tertarik.
Tak lama kemudian, ibu Joanna kembali dengan beberapa jenis bunga.
"Tuan... Tuan...! Ini cantik sekali! Oh, ini juga!" Joanna menarik lengan baju Alex, menunjuk hampir setiap bunga yang dibawa ibunya untuk ditunjukkan kepadanya.
Meskipun wajah Alex tanpa ekspresi, matanya menunjukkan sedikit rasa geli saat mendengarkan ocehan Joanna. Ibunya kemudian menarik Joanna ke samping, dan memukul kepalanya pelan.
"Jangan ganggu pelanggan itu lagi, Joanna." Tegurnya yang membuat Joanna cemberut namun tetap menuruti perintah ibunya.
Alex perlahan mengamati setiap bunga sebelum satu pun menarik perhatiannya. Dia menunjuk bunga yang menarik perhatiannya. Ibu Joanna tersenyum hangat dan mengangguk.
"Itu bunga anyelir merah," katanya.
Dia lalu menambahkan, "Tuan, tahukah Anda arti bunga ini?"
Alex menggelengkan kepala, masih memandangi bunga anyelir merah itu. Warnanya agak merah, seolah-olah ada cipratan darah.
Ibu Joanna kembali ke dalam sebelum keluar membawa beberapa kantong biji anyelir merah untuk Alex.
"Lalu, apa Anda tahu arti untuk bunga gardenia?" Tanyanya sambil memilah-milah kantong benih.
"Tidak." Jawab Alex.
Dia menggelengkan kepalanya sekali lagi.
Ibu Joanna tertawa kecil sebelum mengangguk.
"Kalau begitu, akan kuceritakan saya pada Anda. Arti bunga gardenia adalah cinta rahasia." Ucapnya.
"Cinta rahasia?" Kata Alex lagi.
Ibu Joanna mengangguk.
"Benar, dan anyelir merah berarti hatiku sakit untukmu."
Alex terdiam, hanya menatap kelopak-kelopak anyelir merah yang berenda. Ibu Joanna menyadari kebisuan Alex dan tersenyum.
"Apakah Anda membeli benih ini untuk Anda sendiri?" Tanya Ibu Joanna sambil mengemas benih tersebut.
"Untuk taman milik wanitaku.." Jawab Alex lembut.
Dadanya terasa berat saat dia menggenggam bunga-bunga itu di tangannya lebih erat. Rasanya seperti dia tercekik. Joanna memperhatikan sikapnya.
"Tuan," panggilnya.
Alex menatapnya, bertanya-tanya mengapa dia memanggilnya. Joanna mengangkat tangannya dan tersenyum nakal.
"Gendong saya!" Seru Joanna.
"Joanna!" Pekik ibunya.
Alex meletakkan bunga-bunga itu dan dengan mudah menggendong Joanna. Gadis kecil itu meringkuk dalam pelukan Alex sebelum menepuk-nepuk pipi Alex dengan telapak tangannya.
Alex menatapnya kosong tanpa sepatah kata pun. Dia mendengus, menggeleng.
"Tuan seharusnya lebih banyak tersenyum. Ibu selalu bilang senyum adalah penyembuhan terbaik! Lihat, kan?" Joanna lalu tersenyum lebar padanya. "Sekarang Tuan lakukan," katanya.
Awalnya Alex tidak melakukan apa-apa, tetapi setelah Joanna terus-menerus mendesaknya, dia pun menyerah dan tersenyum kecil. Joanna menatapnya sebelum berseri-seri.
Dia mengangguk dengan marah sambil berbicara lantang.
"Tuan, Anda terlihat sangat tampan!!" Seru Joanna.
Senyum menghilang dari wajah Alex dan dia mengangguk menanggapi pujian Joanna.
"Terima kasih." Ucap Alex.
"Joanna turun dari gendongannya!" Tegur ibu Joanna sebelum berbalik ke arah Alex dan menyerahkan kantong kertas berisi benih. "Ini dia. Harganya 6 koin tembaga."
Alex menyerahkan uang itu setelah menurunkan Joanna kembali. Dia memeriksa isi kantong kertas itu sebelum kembali menatap ibu Joanna.
"Sepertinya kau salah memberiku tambahan." Ucap Alex.
Ibu Joanna menggelengkan kepalanya.
"Ini gratis, jadi silakan diambil." Ucapnya.
"Terima kasih," balas Alex mengangguk, tidak ingin mengganggunya lebih lama lagi.
"Selamat tinggal, Tuan! Datanglah kembali dan temui kami lain kali!!" Kata Joanna sambil memeluk kakinya.
Meskipun Alex tidak pernah benar-benar menyukai anak-anak, dia menepuk pelan kepala anak itu dan bersenandung sebagai jawaban.
"Aku pasti akan menemuimu lain kali," katanya, yang membuat Joanna lebih bahagia.
Alex membungkuk pada ibu Joanna dan saat hendak meninggalkan tempat itu, dia mendengar ibu Joanna berbicara dengan nada hangat.
"Saya harap Nona Anda menyukai bunga itu."
Alex kembali ke tempat kereta kudanya berada dan meninggalkan kota keci itu. Dia menatap kantong benih di dalam kantong kertas itu, mengingat arti dari benih bunga yang dibelinya
'Cinta rahasia...'
'Hatiku sakit untukmu.'
Setiap kali Alex mengingat maknanya, hanya satu orang yang terlintas di benaknya. Dia mengepalkan tangan sebelum mengalihkan pandangan dari benih-benih itu.
Tidak. Dia tidak bisa seperti ini.
Seharusnya dia tidak memikirkannya saat memikirkan bunga-bunga itu. Namun, dia merasa bunga yang dipilihnya itulah yang sebenarnya dia rasakan saat ini.
Alex menyandarkan kepalanya di kursi kereta dan memejamkan mata. Dia tidak tahu apakah dia lelah secara fisik atau mental saat ini.
Sekembalinya ke kediaman keluarga Elizabeth, dia kembali ke kamarnya di gedung yang disediakan untuk para pelayan. Dia menutup pintu rapat-rapat dan meletakkan kantong benih di atas meja sebelum menyegarkan diri.
Setelah segar kembali, dia pun bersandar di kursinya dan menatap kosong ke arah kehampaan.
Baru hari pertama, dan dia sudah bingung harus berbuat apa lagi di hari-hari berikutnya.
Alex menyadari kamarnya perlahan mulai gelap dan matahari mulai terbenam. Dia bangun dan meninggalkan kamarnya, memutuskan lebih baik menyaksikan matahari terbenam daripada berdiam diri di kamar tanpa melakukan apa-apa.
Dia berdiri di luar dan tanpa sadar memandangi matahari terbenam. Lalu dia melihat sesosok tubuh tertawa dan tampak bersenang-senang. Alisnya berkerut saat dia terus menatap sosok itu.
Tampak Elizabeth sedang berbicara dengan salah satu pelayannya sambil tersenyum. Alex mengerutkan jari-jarinya sebelum melepaskannya. Dia merasa kesal, sangat kesal. Dia berharap pelayan itu berbalik ke arahnya.
'Lihatlah aku,' adalah semua yang ada di pikirannya saat dia menunggu wanita itu berbalik ke arahnya.
Tetapi itu tidak pernah terjadi. Elizabeth bangkit dan meninggalkan balkon, tanpa sekali pun menoleh. Matanya terus menatap balkon tempat Elizabeth duduk, bahkan ketika sosoknya telah menghilang. Sebuah pikiran melintas di benaknya.
'Apakah aku tidak dibutuhkan lagi?'
Jantungnya berdebar kencang di dadanya.
'Tidak. Aku dibutuhkan. Pasti. Lagipula, hanya akulah yang tahu identitas aslinya.'
Bersambung...