Cinta itu manis, sampai kenyataan datang mengetuk.
Bagi Baek Yuan, Reinan adalah rumah. Bagi Kim Reinan, Yuan adalah alasan untuk tetap kuat. Tapi dunia tak pernah memberi mereka jalan lurus. Dari senyuman manis hingga air mata yang tertahan, keduanya terjebak dalam kisah yang tak pernah mereka rencanakan.
Apakah cinta cukup kuat untuk melawan semua takdir yang berusaha memisahkan mereka? Atau justru mereka harus belajar melepaskan?
Jika bertahan, apakah sepadan dengan luka yang harus mereka tanggung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27
...Eternal Love...
...•...
...•...
...•...
...•...
...•...
...🌻Happy Reading🌻...
Lampu ruang tamu apartemen menyala temaram. Reinan menjatuhkan tubuhnya ke sofa, melepaskan high heels dan membiarkannya tergeletak sembarangan di lantai.
Suara televisi menyala, menampilkan variety show yang biasanya bisa membuatnya tertawa, tapi kali ini hanya menjadi latar kosong. Matanya menatap layar, namun pikirannya melayang entah ke mana.
"Sejak kapan aku mulai merasa seperti ini... sepi, meski ada dia di dekatku?"
Ia menoleh ke pintu. Sunyi. Hanya denting jarum jam dinding yang terdengar pelan. Yuan belum pulang. Sama seperti beberapa malam terakhir. Saat ia pulang, Yuan masih di kantor, saat ia bangun, Yuan sudah pergi.
Reinan meraih bantal sofa, memeluknya erat. Dadanya terasa penuh, tapi ia tidak bisa menangis.
"Aku tahu dia sibuk... aku tahu dia punya banyak beban. Tapi kenapa hatiku terus bertanya, apakah aku masih ada di pikirannya?"
Televisi terus berbicara, tapi ruangan itu dingin. Reinan menggulung tubuhnya, berusaha mencari kehangatan dari bantal, seakan mencoba menipu dirinya sendiri bahwa ia tidak sedang menunggu.
Menunggu pintu itu terbuka. Menunggu suara langkah yang menenangkan.
Menunggu Yuan.
Suara pintu apartemen terbuka pelan. Yuan masuk dengan langkah hati-hati, menaruh tas kerjanya di meja. Pandangannya langsung jatuh pada Reinan yang tertidur di sofa dengan televisi masih menyala.
Ada rasa bersalah yang menekan dadanya. Beberapa kali ia ingin pulang lebih cepat, tapi keadaan kantor dan Hyeri yang terus menempel membuatnya sulit bergerak.
"Sudah tidur?" bisiknya.
Reinan menggeliat kecil, matanya terbuka setengah. Suaranya serak, nyaris seperti gumaman.
"Yuan? Kamu udah pulang..."
"Iya," Yuan tersenyum tipis, meski hatinya terasa perih. "Maaf telat lagi."
Reinan hanya menatapnya sejenak, lalu memilih diam. Ia berbalik tubuh, membelakangi Yuan di sofa.
Yuan menghela napas. Ia tahu diamnya Reinan bukan berarti tidak peduli-justru sebaliknya, itu tanda ia menahan perasaannya. Yuan berdiri, lalu mengangkat tubuh Reinan dengan hati-hati.
"Aku bawa kamu ke kamar, jangan tidur di sini, nanti masuk angin," ucapnya lembut.
Reinan tidak melawan, hanya menyandarkan kepalanya di dada Yuan. Hening. Yang terdengar hanya detak jantung Yuan yang berdegup cepat, seakan ingin mengatakan sesuatu yang tidak bisa ia ucapkan dengan kata-kata.
Yuan menidurkan Reinan di kasur dengan hati-hati. Ia merapikan selimut, lalu duduk di tepi ranjang. Reinan masih dalam posisi membelakanginya, matanya sudah kembali terpejam.
Sesaat Yuan hanya menatap punggungnya. Ada banyak kata yang ingin ia ucapkan tentang rindunya, tentang rasa takut kehilangan, tentang keruwetan yang kini membuat mereka jarang bersama. Tapi bibirnya kelu.
Ia akhirnya hanya mengulurkan tangan, mengusap pelan punggung Reinan lewat selimut.
"Reinan... sekali lagi maaf."
Tidak ada jawaban. Reinan diam saja, napasnya teratur, seakan sudah tertidur. Tapi Yuan tahu, ia masih terjaga.
Sejenak hening, lalu Yuan perlahan berbaring di sisi lain ranjang. Punggung mereka saling membelakangi. Jarak itu kecil, hanya selembar selimut, tapi terasa begitu jauh.
Yuan menutup mata, menahan rasa sesak di dadanya.
Sementara Reinan menggenggam ujung selimut erat, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh.
Malam itu mereka tidur dalam diam, dengan rindu yang sama tapi tak ada yang berani mengatakannya.
...****************...
Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama. Yuan sibuk dengan pekerjaannya, pulang semakin larut, sementara Reinan lebih sering menghabiskan waktu sendirian di apartemen.
Tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda yang membuatnya bingung. Ia cepat merasa lelah, bahkan untuk pekerjaan kantor yang ringan. Nafsu makannya naik-turun kadang ia bisa makan banyak, kadang hanya beberapa suap ia sudah tak nafsu makan. Mood-nya pun berubah-ubah tanpa alasan jelas kadang ia ingin menangis, kadang ia tersenyum sendiri meski tak ada yang lucu.
Di dalam hati, Reinan sempat bertanya-tanya 'Apakah ini hanya karena aku terlalu lelah? Atau... ada sesuatu yang terjadi pada tubuhku?'
Namun setiap kali rasa khawatir itu muncul, ia langsung menepisnya. Ia tidak mau terlihat rapuh di depan Yuan, tidak ingin menambah beban pikirannya. Terlebih, akhir-akhir ini Yuan sudah cukup banyak masalah di kantor, terutama dengan Hyeri yang semakin sering menempel padanya.
Jadi, setiap kali Yuan bertanya "Kamu baik-baik saja?", Reinan hanya menjawab dengan senyum tipis.
"Ya, aku baik-baik saja..."
Malam-malamnya pun sering ia lalui dengan diam, menatap punggung Yuan yang tertidur lebih dulu, atau menunggu suara pintu apartemen terbuka saat Yuan baru pulang larut malam. Rasa sepi itu semakin dalam, bercampur dengan perasaan asing di tubuhnya yang tak kunjung ia pahami.
Siang itu pantry kantor terasa sepi. Hanya suara mesin kopi yang mendesis pelan. Reinan datang untuk mengambil segelas air hangat, berusaha menenangkan kepalanya yang sejak pagi terasa berat.
Saat itu juga, Hyeri masuk. Wajahnya tenang, bahkan tersenyum tipis seolah ramah. Tidak ada orang lain selain mereka berdua.
Reinan sempat menunduk, mencoba bersikap biasa. Namun saat melewatinya, Hyeri berhenti sejenak, mendekat, lalu berbisik dengan nada yang terdengar manis tapi menusuk:
"...Nikmatilah masa-masa terakhir menjadi kekasih Baek Yuan."
Reinan tertegun, jantungnya langsung berdegup kencang. Matanya membesar, hampir menjatuhkan gelas yang dipegangnya.
"A-apa maksudmu?" tanyanya terbata, mencoba memastikan.
Namun Hyeri hanya tersenyum samar, matanya penuh kepercayaan diri. Ia tidak menjawab. Ia hanya berjalan melewati Reinan begitu saja, meninggalkan aroma parfum samar yang menyesakkan dada.
Reinan berdiri mematung, pikirannya kacau.
Bagaimana mungkin dia tahu...? Apa hubungan mereka selama ini ketahuan? Atau... apakah Yuan sendiri yang memberitahu Hyeri?
Namun yang lebih menghantui adalah kalimat Hyeri:
Masa-masa terakhir...
Reinan menggenggam gelas erat-erat, berusaha menenangkan diri, tapi tubuhnya justru semakin bergetar. Sebuah rasa takut yang tak bisa ia jelaskan mulai merayapi hatinya.
jadi tuan jangan nyalahin Reinan
dia udah pernah nyoba mencari mu loo