“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Sudah beberapa hari berlalu sejak Dio dirawat di rumah sakit. Kondisinya kini jauh lebih baik, dan pagi itu menjadi hari yang dinanti, hari di mana mereka akhirnya diperbolehkan pulang.
Sinar matahari menembus tirai tipis, jatuh lembut di lantai putih ruangan yang kini terasa lebih hidup. Di sisi ranjang, Nayla tampak sibuk memasukkan pakaian Dio ke dalam tas. Setiap lipatan ia rapikan dengan telaten, seolah tak ingin ada satu pun yang tertinggal. Wajahnya tenang, tapi matanya memancarkan kelegaan yang tak bisa disembunyikan.
Di sofa dekat jendela, Lili duduk dengan riang, memainkan boneka kelinci putih yang beberapa hari lalu diberikan oleh Elvino. Boneka itu kini menjadi benda kesayangannya, tak pernah lepas dari pelukannya, seolah menjadi teman kecil yang setia.
Sementara itu, Dio duduk diam di tepi ranjang rumah sakit dengan kaki kecilnya yang menjuntai ke bawah. Wajahnya tampak lebih segar, meski masih terlihat pucat. Ia memperhatikan kakaknya yang sibuk sejak tadi, gerak tangan yang cekatan, dan senyum lembut di wajah Nayla yang sesekali muncul tanpa sadar. Ada perasaan hangat yang mengalir di dadanya, bercampur dengan rasa bersalah yang sulit dijelaskan.
“Mbak…” panggilnya pelan. Suara itu lirih, hampir tertelan oleh suara mesin pendingin ruangan.
Nayla seketika menghentikan kegiatannya. Tangannya terhenti di atas tas yang belum tertutup rapat. Ia menoleh ke arah adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kenapa, Dio?” tanyanya lembut.
Dio menunduk sejenak, sebelum akhirnya berkata,
“Terima kasih… karena udah mau ngerawat Dio.”
Kata-kata sederhana itu membuat dada Nayla terasa hangat. Ia tersenyum kecil, lalu melangkah pelan mendekati adiknya. Tangannya menyentuh lembut pundak Dio, berusaha menenangkan perasaan adik yang tampak begitu rapuh pagi itu. Ia tahu betul, Dio sedang memendam sesuatu.
Dan benar saja, beberapa detik kemudian, suara lirih itu kembali terdengar.
“Maaf, Mbak…” ucap Dio, kali ini suaranya bergetar. Bahunya mulai berguncang karena tangis yang tak bisa ia tahan.
“Selama ini Dio jahat sama Mbak. Dio sering ngomong yang bikin Mbak sedih… Dio suka nyalahin Mbak atas semuanya. Padahal Mbak cuma berjuang buat Dio sama Lili.”
Air mata mengalir di pipinya yang masih pucat. Kata-kata itu pecah, namun tulus, datang dari penyesalan yang begitu dalam.
Nayla terdiam beberapa saat, matanya ikut berkaca-kaca. Lalu ia menarik tubuh adiknya itu ke dalam pelukannya, lalu menepuk bahunya pelan.
“Sudah, Dio… jangan minta maaf,” bisiknya lembut.
“Kamu nggak salah. Kamu cuma belum ngerti keadaan waktu itu. Karena kamu masih kecil.”
Dio terisak di pelukan kakaknya, ia membalas pelukan itu dengan erat seolah tak ingin dilepaskan. Pelukan itu bukan hanya tentang kasih sayang, itu adalah pengampunan, pemahaman, dan kehangatan yang sudah lama hilang di antara mereka.
Tiba-tiba suara kecil memecah keharuan di ruangan itu.
“Lili mau ikut peluk juga! Masa cuma Mbak sama mas Dio?” seru Lili sambil berlari ke arah mereka, boneka kelinci putihnya terguncang di tangan.
Nayla dan Dio sontak tertawa di antara air mata yang belum kering. Nayla lalu mengangkat tubuh mungil Lili dan menariknya masuk ke dalam pelukan mereka.
Tiga tubuh itu kini saling berdekapan erat di tengah sinar pagi yang hangat, seolah dunia di luar ruangan itu berhenti berputar sejenak. Hanya ada cinta, haru, dan rasa syukur yang menyelimuti mereka.
...
Pintu kamar rumah sakit itu terbuka perlahan. Elvino berdiri di ambang pintu, langkahnya terhenti begitu matanya menangkap pemandangan di depan sana, tiga bersaudara itu tengah berpelukan erat di sisi ranjang, saling menguatkan dalam diam. Ada ketenangan yang terpancar di antara mereka, kehangatan sederhana yang entah kenapa membuat dada Elvino terasa hangat juga.
Ia tak ingin merusak momen itu, jadi ia hanya berdiri di sana, menyandarkan tubuhnya di kusen pintu, membiarkan senyum tipis terbit di sudut bibirnya.
Namun, keheningan itu pecah oleh suara polos Lili.
“Om… sini ikut pelukan juga,” ucap bocah kecil itu sambil melambaikan tangan mungilnya.
Elvino tertegun, begitu juga Nayla yang sontak tersentak kaget. Ia cepat-cepat melepaskan pelukannya, menunduk malu, pipinya memanas seketika. Dio hanya tersenyum samar, sedangkan Lili memandang mereka dengan ekspresi polos penuh kebingungan.
Suasana ruangan pun berubah canggung. Keheningan yang tadi hangat kini terasa kaku.
Elvino berdehem pelan, mencoba mencairkan suasana.
“Ehem…” suaranya dalam namun tenang. “Kelihatannya kondisi Dio sudah membaik, ya?” tanyanya, melangkah mendekat dengan senyum tipis.
Nayla segera menegakkan tubuhnya, mencoba bersikap tenang.
“Iya, dokter bilang hari ini Dio sudah boleh pulang,” jawabnya sopan.
“Syukurlah,” balas Elvino, matanya bergeser ke arah Dio yang kini menatapnya dengan senyum malu-malu.
“Kalau begitu, biar sekalian aku antar kalian pulang.”
Nayla menggeleng cepat.
“Kau tidak harus merepotkan dirimu seperti ini, Vin. Kami bisa naik taksi online. Aku tidak ingin mengganggu waktumu.”
Elvino menatapnya sebentar, lalu menunduk sedikit, menyembunyikan senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya.
“Aku tidak merasa direpotkan, Nayla,” ucapnya lembut, suaranya tenang tapi tegas.
“Tapi bukankah seharusnya kau berada di kantor sekarang?” Nayla mencoba menatapnya, meski matanya hanya berani menatap sampai ke dada pria itu.
Elvino mencondongkan tubuh sedikit, hingga wajahnya berada lebih dekat dari seharusnya. “Kau lupa,” bisiknya pelan di dekat telinga Nayla, dengan nada setengah menggoda, “aku ini bosnya.”
Wajah Nayla langsung memanas. Ia mundur setengah langkah dan menatapnya dengan mata yang sedikit menyipit.
“Sombong,” gumamnya pelan tapi jelas.
Elvino tak kuasa menahan tawa. Suara tawanya dalam, tapi hangat, membuat suasana canggung seketika mencair.
“Baru kali ini aku dengar kau bicara seperti itu,” ujarnya sambil tersenyum lebar.
Nayla hanya mendengus pelan dan berpaling, pura-pura sibuk menutup ritsleting tas di meja. Namun senyum kecil di bibirnya tak bisa ia sembunyikan.
Suasana ruangan kembali hangat.
Bukan hanya karena sinar matahari yang menembus tirai, tapi karena tawa kecil yang perlahan mengisi hati mereka, seakan menandai awal dari sesuatu yang baru.
merajukkk aja biar elvino ketar-ketir buat merayu nayla😍🤭🤭