⚠️ *Peringatan Konten:* Cerita ini mengandung tema kekerasan, trauma psikologis, dan pelecehan.
Keadilan atau kegilaan? Lion menghukum para pendosa dengan caranya sendiri. Tapi siapa yang berhak menentukan siapa yang bersalah dan pantas dihukum?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.H., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Berbagi Roti
Di rooftop sekolah, Erlan dan dua temannya masih saja membuli anak-anak miskin yang menurut mereka pantas diperlakukan seperti itu. Meskipun Rio sudah tidak ada, aksi kejam itu tetap berlanjut. Selama Erlan belum tersingkir, kejahatan seperti ini akan terus terjadi.
Hari itu, mereka membuli seorang siswa bernama …Akyas—biasa dipanggil Yas. Ia berasal dari keluarga sederhana, orang tuanya telah bercerai, dan kini ia tinggal bersama neneknya yang sudah tua dan berjualan kue kadang di depan sekolah.
Berbeda dengan Yas, Rafael tak lagi menjadi sasaran. Mereka tahu Rafael bukan anak lemah seperti dulu. Kini ia tinggal bersama keluarga Argandara yang mengadopsinya, dan hidupnya berubah drastis. Bahkan saat mereka sempat mencoba membulinya lagi, Rafael membuat mereka kapok—karena kini ia berani melawan.
Erlan mendekati Yas dengan sikap angkuh dan memaksa.
"Serahin uangmu, atau nenek tua bau tanah itu bakal kami hancurkan dagangannya. Mau?" ancam Erlan, seolah paling berkuasa.
"Jangan... aku mohon," kata Yas sambil memeluk kaki Erlan.
"Makanya, kasih uangnya!" bentak Erlan, lalu menendang kakinya agar Yas melepaskan pelukan.
"Lepasin! Aku nggak sudi dipegang anak miskin kayak kamu. Nanti aku ketularan miskin," ejeknya dengan jijik.
Yas berdiri perlahan, wajahnya penuh ketakutan. "Tapi aku mohon... jangan sakiti nenekku. Dia sudah tua. Kalau mau menyakiti, sakiti aku saja. Jangan nenek."
Erlan menyeringai. Ia tak peduli. Tua atau tidak, selama itu menyenangkan baginya, ia akan tetap melakukannya.
"Kalau aku nggak mau, mau apa kamu? Kamu cuma anak miskin. Nggak punya hak buat ngatur aku!" katanya, lalu memberi kode pada dua temannya.
Arnoldo dan Sandi maju, dan mulai mengeroyok Yas dengan brutal. Meski sudah babak belur, Yas hanya diam, menahan sakit.
"Berhenti!" teriak Rafael, muncul dengan napas tersengal. Ia berjalan cepat mendekat. "Lepasin Yas, atau kalian akan berurusan denganku."
"Jangan ikut campur! Mau kayak Yas juga?" tantang Erlan.
"Erlan, kalau kamu masih terus membuli orang-orang, aku nggak segan buat bikin perusahaan ayahmu bangkrut," ancam Rafael dengan nada serius.
Erlan mengepalkan tangan. Ia tahu ancaman itu bukan omong kosong. Perusahaan Argandara adalah yang terbesar di kota ini. Perusahaan ayahnya tak sebanding.
"Cabut!" Perintah Erlan pada kedua temannya. Mereka pun pergi.
Rafael menghampiri Yas. "Kamu nggak apa-apa, Yas?" tanyanya sambil membantunya berdiri.
Namun Yas hanya menatap kosong, lalu berjalan pergi tanpa sepatah kata pun. Tak ada ucapan terima kasih, tak ada senyuman. Seolah tindakan Rafael barusan justru membuatnya merasa lebih buruk.
Sepulang sekolah, Rafael berjalan bersama Eka, ingat kan kalian? gadis berambut pendek yang juga teman sekelas Rafael.
Mereka berbincang ringan sambil menyusuri koridor sekolah.
"Eka, kamu ngerti nggak pelajaran matematika tadi?" tanya Rafael.
"Iya, aku ngerti kok. Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja. Kita bisa belajar bareng," jawab Eka dengan senyum ramah.
Namun sebelum Rafael sempat membalas, pandangannya teralihkan. Di kejauhan, ia melihat Yas berjalan dengan langkah gontai, wajahnya lusuh seperti kehilangan arah hidup.
"Aku duluan ya, eka." pamit Rafael buru-buru.
"Hati-hati," sahut Eka, sedikit bingung melihat perubahan sikap Rafael.
Rafael berlari mengejar Yas, penasaran dengan keadaannya dan ingin tahu di mana ia tinggal. Ia mengikuti Yas menyusuri gang sempit perumahan warga, hingga akhirnya Yas masuk ke sebuah rumah kumuh yang tampak lebih buruk dari rumah Rafael di masa lalu.
"Ini rumahnya... Astaga," gumam Rafael, berjalan pelan agar tak ketahuan. Ia mengintip dari balik pagar yang terbuat dari atap gosong.
Di dalam, terdengar suara lirih Yas berbicara pada neneknya.
"Nenek mau jualan?"
"Nenek istirahat aja. Biar Yas yang jual. Nenek udah tua, Yas udah dewasa. Yas khawatir sama nenek. Kalau nenek kenapa-kenapa, Yas sama siapa?"
"Nenek nggak apa-apa, Yas. Kamu makan dulu, Nenek udah masakin buat kamu," jawab sang nenek dengan suara lembut. Namanya nek Nur.
"Kalau nenek nggak kerja, gimana sekolah kamu? Nenek nggak mau kamu putus sekolah. Nenek mau kamu sukses, biar nggak hidup susah kayak nenek."
Yas menggeleng lemah, berusaha tegar demi neneknya.
"Nek, Yas janji akan sukses. Tapi biar Yas aja yang jualan. Nenek istirahat saja."
Nek Nur menatap cucunya dengan penuh kasih, mengusap rambutnya yang kusut.
"Kamu belum makan dari pagi. Nenek minta maaf karena Yas harus hidup susah."
Yas mengeleng memegang tangan nek nur yang berkeriput itu.
"Tidak nek, harusnya Yas minta maaf karena sering nyusain nenek." Matanya berkaca-kaca, namun tetap tegar.
"Malah aku senang. Yang penting nenek selalu ada untuk Yas. Aku hanya butuh nenek sehat selalu dan itu cukup buat Yas."
Namun percakapan itu terhenti ketika nek nur malah pergi tak membalas. Rafael lihat betul air mata nek nur jatuh membuat dadanya sesak.
Rafael yang mengintip dari luar, melihat air mata Nek Nur jatuh. Dadanya terasa sesak. Ia teringat neneknya sendiri yang telah meninggal enam bulan lalu karena sakit dan ditipu orang. Rasa rindu menyergap.
Ia membuyarkan lamunannya dan mengikuti Nek Nur yang hendak pergi berjualan.
"Nek, jual apa?" Tanya Rafael sambil tersenyum menghampiri.
"Roti," jawab Nek Nur, tersenyum meski wajahnya menyimpan banyak luka.
"Aku mau beli semuanya. Aku cuma pengen berbagi," kata Rafael, mencoba menutupi rasa haru yang muncul.
Nek nur tampak terkejut dengan permintaan Rafael. Air matanya mulai berkumpul di sudut matanya. Ada rasa haru dan bahagia yang bersatu.
"Kamu... Kamu ingin membeli semua roti ini?" Tanyanya, suara bergetar.
Rafael mengangguk tersenyum, nek nur tidak bisa menyembunyikan emosinya lagi. Air matanya jatuh
"Anak muda, kamu tidak tahu betapa berharganya ini bagi saya?" Katanya suara terguncang.
Rafael terkejut melihat Nek Nur menangis. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi dia merasa ingin memeluk Nek Nur.
"Nek, maafkan saya. Saya tidak ingin membuat Nek sedih," kata Rafael, suaranya lembut.
Nek Nur menggelengkan kepala, masih menangis. "Kamu tidak melakukan apa-apa, anak muda. Kamu... kamu hanya membuat saya merasa tidak sendirian. Saya sudah lama berjualan roti ini, hanya untuk bertahan hidup," katanya, suaranya terpotong-potong.
Rafael merasa hatinya sakit mendengar kata-kata Nek Nur. Dia ingin membantu, tapi dia tidak tahu bagaimana.
"Makasih banyak, Nak. Semoga Tuhan selalu menolongmu."
"Gimana kalau kita bagi-bagi bareng?"
Nek Nur menatapnya, lalu tersenyum lebar—senyum yang kali ini benar-benar hangat. Wajahnya berubah cerah seperti pagi setelah hujan panjang.
Rafael pun terdiam sesaat, karena senyum itu mengingatkannya pada neneknya sendiri.
"Aku rindu nenek," batinnya.
Mereka berjalan menyusuri gang sempit menuju jalan besar, membagikan roti kepada orang-orang yang lewat.
Setiap kali seseorang menerima roti itu, Nek Nur tersenyum, dan untuk pertama kalinya senyum itu tak menyimpan luka—melainkan ketenangan dan kebahagiaan sederhana.
Setelah semua roti habis, Rafael mengeluarkan uang dari dompetnya.
"Nek, semuanya jadi berapa?"
"Dua ratus lima puluh."
Rafael menyerahkan beberapa lembar uang merah. "Nenek simpan aja. Aku senang bisa bantu. Aku jadi ingat nenek aku."
"Alhamdulillah, makasih ya, Nak. Pasti nenek kamu bangga punya cucu sebaik kamu."
"Nenek sehat-sehat ya. Aku pergi dulu."
Rafael pun melangkah pergi.
Dari kejauhan, aku melihat semuanya saat aku baru saja pulang kantor. Awalnya aku tak peduli, tapi entah kenapa langkahku terhenti. Hati ku seolah menyuruhku untuk memperhatikan. Aku menyeringai tak percaya—ternyata Rafael punya sisi yang begitu baik
iblis✔️
mampir juga yuk ke cerita ku "Misteri Pohon Manggis Berdarah"