NovelToon NovelToon
Umbral

Umbral

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor
Popularitas:392
Nilai: 5
Nama Author: Rudi Setyawan

Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 — Aksi Gila Rayan

SESEKALI suara lirih dari bawah air merambat di tengah keheningan malam. Mereka terus mengawasi riak-riak air dari tepi kolam. Tak ada apa pun muncul ke permukaan. Tapi, meskipun tak ada ancaman, pemandangan ganjil itu tetap membuat bulu kuduk mereka berdiri.

Riak air itu kemudian mendadak berhenti. Permukaan air tampak begitu tenang seperti kaca berwarna gelap—seakan tak terjadi apa-apa.

Tari masih berdiri terpaku. Meskipun grafik medan elektromagnetik pelan-pelan mereda, namun rasa tegangnya tetap belum berkurang.

Suhu dingin masih terasa menggigit kulit seperti di ruangan ber-AC. Lampu indikator di SRD juga belum berkedip merah—seolah mengisyaratkan Umbral belum pergi.

“Riaknya udah nggak ada lagi,” bisik Elisa lirih, sambil terus mengamati air kolam. “Apa… udah selesai?”

BRAKKK!

Mereka semua terperanjat. Suara hentakan itu begitu keras seakan sebuah benda berat dijatuhkan dari ketinggian. Bunyinya menggema di tribun beton dan dinding-dinding yang retak.

Elisa menutup mulutnya dengan telapak tangan. Jantungnya kembali berdegup kencang—menekan dada seolah ingin melompat keluar. Davin mendongak dengan wajah menegang. Sasha mencengkeram tablet dengan erat. Sedangkan Tari dan Naya saling melirik tanpa suara.

Di seberang mereka, Rayan juga mendadak menghentikan langkah. Saking kagetnya, kakinya nyaris terpeleset di tepi kolam utama. Tangannya refleks memutar lensa kamera ke lantai dua gedung tua. Dalam tangkapan lensa malam, rongga jendela tampak menganga suram seperti mulut besar yang menanti mangsanya.

KREKKKK….

Mereka makin menciut. Bunyi berderit yang panjang dan menyakitkan telinga itu tidak muncul dari ruang pompa air. Tapi kali ini merambat dari arah samping kiri mereka—dari pintu masuk utama kolam. Suara itu terdengar seperti gerbang besi di depan ditutup dengan paksa. Dari dalam.

“Ya Allah…,” bisik Elisa nyaris terisak. Napasnya memburu. Tanpa sadar jemarinya mencengkeram lengan Sasha. “Kita kayak terperangkap….”

Dan di tengah ketegangan yang makin kental, tiba-tiba Rayan membuat kelima temannya tercengang. Keganjilan demi keganjilan yang mengurung mereka membuat dadanya terasa sesak. Ada sesuatu di balik kegelapan—sesuatu yang seolah sengaja mempermainkan mereka. Rasa frustrasi dan kemarahan membuat dia akhirnya meledak.

“I hate this!” teriaknya tiba-tiba dengan lantang. “Kalau kalian mau bunuh gue, lakuin sekarang! Hei, kalian dengar?!”

Mereka terlompat kaget. Suaranya menggema panjang—bergulung-gulung di antara dinding gedung tua dan tribun beton. Sejenak semua terdiam. Tak ada yang bergerak, kecuali gema teriakan Rayan yang kembali pada mereka seperti ejekan.

“Oh my God,” bisik Sasha antara tak percaya dan ngeri. “He is insane.”

Tak seorang pun menanggapi. Davin kaget ketika melihat Rayan melangkah cepat ke arah gedung tua.

“Bro, jangan!” serunya spontan. “Lo nggak tahu apa yang ada di dalam sana!”

Tapi Davin tahu peringatannya tak ada gunanya. Kalau bukan Rayan sendiri, hanya ibunya yang bisa mencegah kenekatan sahabatnya. Di luar itu, tidak ada.

Naya buru-buru mengarahkan drone pada sosok Rayan. Telapak tangannya dibasahi keringat dingin. Tapi entah bagaimana dia mampu menjaga kendali drone tetap stabil.

Secara spontan Tari ikut bergerak ke gedung tua. Dia bukan ingin menyusul Rayan. Tapi dia hanya ingin mendeteksi medan elektromagnetik di dekat bangunan lantai dua itu.

“Oh, great,” keluh Davin seperti lemas. “Malam ini semua orang ingin ngelakuin aksi nekat.”

Langkah Rayan semakin dekat ke gedung tua. Beberapa detik kemudian sosoknya menghilang di balik daun pintu. Naya refleks menggeser drone ke rongga jendela. Lampu LED menyorot ke pintu yang setengah terbuka. Tidak ada akses lain ke bekas kafe itu, kecuali lewat pintu yang terletak di sebelah kanan ruangan.

Sasha dan Elisa terus memelototi layar tablet dengan perasaan campur-aduk. Keduanya cemas kalau-kalau Rayan tak akan pernah muncul di pintu itu.

Davin mengawasi gedung tua dengan mata telanjang. Cahaya lampu LED membantu penglihatannya. Sejenak dia seolah lupa pada gangguan-gangguan kecil tadi. Dia merasa cukup lega karena melihat Tari hanya berdiri di depan gedung tua—tidak ikut-ikutan menyelinap masuk ke dalam bangunan.

Selama beberapa saat mereka seperti kehilangan jejak Rayan. Mereka sama sekali tak bisa membayangkan jalur yang dilalui oleh Rayan dalam gedung tua. Entah bagaimana kondisi di dalam bangunan itu—dari pintu masuk hingga ke lantai dua. Yang pasti, setiap sudutnya gelap-gulita.

Sasha dan Elisa menahan napas ketika melihat sosok Rayan akhirnya muncul di layar tablet. Wajahnya tak terlihat dengan jelas karena Rayan hampir-hampir tak menoleh ke arah drone.

Rayan bergerak perlahan di lantai dua yang kotor dan berantakan—sambil terus merekam dirinya. Dia melangkah ke semua sudut bekas kafe itu.

Tak lama kemudian dia berdiri di tepi rongga jendela. Dia menghirup udara malam yang dingin dalam-dalam—dan sejenak membiarkan angin membelai lembut wajahnya. Dia benar-benar merasa gerah setelah terkurung dalam ruang yang pengap, gelap dan berbau apak.

Davin terus mengawasi sahabatnya. Dia melihat tatapan Rayan tertuju pada dirinya—bukan ke arah kamera drone.

“Oh, shit,” gumamnya pelan.

Sasha menoleh padanya. “Kenapa?” tanyanya heran.

Davin tersenyum tipis. “Dia akan loncat.”

“Apa?!” seru Sasha terperanjat.

“Nay, tarik kamera ke belakang.”

Naya menarik drone sedikit mundur. Fokus kamera sempat bergoyang karena tanpa dapat dicegah dia ikut merasa gugup.

Dan persis seperti tebakan Davin, Rayan mundur beberapa langkah, lalu dia melesat ke depan. Tubuhnya keluar dari rongga jendela—sejenak melayang di udara—dan jatuh bebas ke arah lantai semen.

Sasha dan Elisa sampai ternganga ketika menyaksikan aksi gila Rayan.

Rayan menghentak lantai semen dengan kaki tertekuk. Tubuhnya berguling setengah putaran, lalu berdiri lagi dengan napas terengah. Gerakannya mulus—tapi jelas bukan tanpa resiko. Lututnya sempat goyah, meskipun dia segera menegakkan diri kembali.

Elisa menepuk keningnya. “Kalau gue jadi lo,” gumamnya seperti asal bunyi, “mendingan gue jadi janda seumur….’

Sasha melotot pada sahabatnya. “Tutup mulut lo, Lis!”

“Gue cuma bilang….”

“Not now! Please!”

Elisa terpaksa merapatkan bibirnya.

Hening kembali menyelimuti mereka. Hanya suara drone yang berdengung. Rayan masih berdiri di bawah gedung tua. Sesaat tatapannya menantang ke arah jendela yang baru saja dia tinggalkan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!