"Endria hanya milikku," tekannya dengan manik abu yang menyorot tajam.
***
Sekembalinya ke Indonesia setelah belasan tahun tinggal di Australia, Geswa Ryan Beck tak bisa menahan-nahan keinginannya lagi.
Gadis yang sedari kecil ia awasi dan diincar dari kejauhan tak bisa lepas lagi, sekalipun Endria Ayu Gemintang sudah memiliki calon suami, di mana calon suaminya adalah adik dari Geswa sendiri.
Pria yang nyaris sempurna itu akan melepaskan akal sehatnya hanya untuk menjadikan Endria miliknya seorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jelitacantp, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertengkar
Utami sampai di halaman depan, napasnya putus-putus kelelahan karena sudah berlarian keluar dari mansion besar ini.
Betapa terkejutnya ia saat melihat Gatra sudah terbaring di atas rumput dengan Geswa yang duduk di atas perut Gatra sambil meninju wajah pria itu selama berkali-kali tanpa mempedulikan Gatra hampir menutup matanya karena kelelahan dan kesakitan.
Lebih terkejut lagi saat melihat Antonello yang cuma berdiri sambil bersidekap tangan, seperti seseorang yang sedang menonton pertandingan gulat. Di sekitar suaminya, ada tiga pengawal dan dua satpam dengan memar di sekitar wajah mereka.
Sedangkan Antonello, pria paruh baya itu hanya terdiam karena ia sudah memprediksi bahwa hal ini akan terjadi. Apalagi mereka berdua tak bisa dihentikan. Selagi tak ada senjata tajam seperti pistol atau semacamnya, dia hanya akan diam tanpa ikut campur sedikitpun.
Utami menarik kasar lengan suaminya sampai membuat Antonello menoleh dengan raut wajah terkejut.
"Apa kamu sudah gila?! Kenapa tak memisahkan mereka berdua?!" teriak Utami marah sampai-sampai membuat tenggorokannya sakit.
Antonello memejamkan kedua matanya sekilas, lalu balik menggenggam tangan Utami erat. "Sebaiknya jangan ikut campur."
Utami tak peduli setelahnya wanita paruh baya itu menghempaskan tangan suaminya lalu ia dengan berani menghampiri kedua putranya.
"Geswa! Berhenti! Sudah cukup!" teriaknya semakin histeris saat melihat wajah Gatra yang dipenuhi darah, walaupun Gatra masih sadar.
Utami mencengkeram kedua bahu Geswa dengan sangat kuat membuat Geswa pun berhenti memukuli Gatra, dia berdiri karena sang ibu yang memaksanya.
Sedetik setelah berhadapan dengan Utami, Geswa langsung mendapat tamparan keras, sakit karena bercampur dengan bekas pukulan Gatra, tetapi hatinya lebih sakit dari itu.
"Apa kamu sudah gila?" teriak Utami, matanya melotot. "Apa kamu ingin menjadi pembunuh adikmu sendiri, ha?!" Utami meneriaki Geswa habis-habisan lalu wanita paruh baya itu menoleh ke arah Gatra yang saat ini sudah mendudukkan dirinya.
Utami beralih dari Geswa ke Gatra, wanita itu menjongkokkan dirinya di depan sang putra bungsu. "Kalian ada masalah apa? Kenapa bisa seperti ini?" Utami menangkup kedua pipi Gatra, tatapannya menyiratkan raut khawatir yang tak terhingga, sesekali wanita paruh baya itu juga membersihkan darah yang merembes di wajah Gatra.
Sedangkan Geswa yang sudah mendapat tamparan dari ibunya, tanpa berkata-kata, pria itu segera berjalan ke arah mobil yang terparkir tak jauh darinya.
Geswa meninggalkan kekacauan yang diawali oleh Gatra tanpa peduli bahwa sekujur tubuhnya terasa sakit dan pegal akibat dari pukulan bertubi-tubi yang didapatnya. Kekuatan mereka berdua seimbang.
Melihat Geswa yang pergi dengan mengendarai mobilnya membuat Gatra menjauhkan diri dari dekapan Utami, tanpa mempedulikan perasaan sang ibu yang merasa tersisih.
Gatra berjalan sempoyongan menuju mobil yang baru saja dipakai oleh Antonello, kuncinya masih ada di sana dan tanpa meminta izin, pria itu pun pergi mengikuti jejak Geswa.
Utami hanya menatap nanar ke arah Gatra, dalam hati ia bertanya-tanya, ada apa dengan kedua putranya? Kenapa mereka bisa bertengkar sehebat ini.
Utami menunduk dan maniknya tak sengaja menyorot pada satu lembar foto dengan lipatan tak beraturan, Utami pun mengambilnya dan mengira benda ini yang menjadi penyebab pertengkaran kedua putranya.
Utami terduduk di atas rumput, ia memegangi dada kirinya yang tiba-tiba berdetak kencang. Wanita paruh baya itu menutup mulutnya dengan satu tangan, syok.
Apa ini? Sebuah foto yang sungguh tak masuk di akalnya akan bisa terjadi, foto yang menurutnya begitu tak senonoh.
Endria dan Geswa ... berciuman? Mereka berdua... Selingkuh?
Seketika kenangan satu bulan lalu langsung terlintas di pikirannya, di mana pada malam itu Geswa mengaku kalau ada seorang gadis yang disukai oleh sang putra sulung tapi sayangnya gadis ini sudah memiliki tunangan.
Jadi... gadis yang dimaksud Geswa adalah Endria? Tapi kenapa bisa? Geswa saja baru pulang satu bulan lalu.
Kepala Utami mendadak pusing, kepalanya dipenuhi praduga-praduga tak terjawabkan.
Utami mendongak saat ada seseorang yang memegangi pundaknya, Antonello, pria paruh baya itu menatap khawatir pada sang istri.
Utami segera menampakkan foto yang sedari tadi digenggamnya, membuat Antonello menghela napas lelah. Pria itu berjongkok menghadap sang istri.
"Papa tahu." Bukan pertanyaan, tetapi pernyataan yang langsung dari mulutnya. Karena helaan napas Antonello membuat Utami menduga kalau sang suami tahu akan hal ini.
Antonello mengangguk. "Ayo kita ke dalam dulu," ajaknya, pria itu sudah ingin mengambil ancang-ancang untuk menggendong sang istri, tetapi Utami malah menolak.
Utami menggeleng lalu meringsut mundur. "Jelaskan," katanya singkat sedang meminta penjelasan.
Lagi-lagi Antonello kembali menghela napas, entah ini keberapa kalinya dia menghela napas hari ini. "Baiklah, aku akan menjelaskan semuanya, mulai dari awal, tapi kita harus masuk dulu," kata Antonello serius yang pada akhirnya membuat Utami mengangguk seraya mengalunkan tangannya ke leher sang suami.
***
15 tahun lalu
Saat Geswa berusia 15 tahun.
"Geswa, apa saja yang sudah kamu lakukan?" tanya Antonello sedikit mengintimidasi. "Kenapa bisa nilai-nilaimu terus menurun?!" lanjutnya dengan tekanan di akhir.
Geswa yang awalnya berdiri sambil menunduk lantas mendongak menatap tajam ke arah Antonello.
"Aku muak, Pa! Aku lelah! Siang dan malam aku hanya tidur selama tiga jam dalam sehari gara-gara disuruh terus belajar, belajar, dan belajar!" teriak Geswa yang pada akhirnya mengeluarkan semua uneg-uneg yang dipendamnya selama ini. Remaja itu menarik-narik rambut pirangnya frustrasi bercampur stress.
Antonello menggebrak meja di depannya dengan satu tangan. "Kamu berteriak di depan papa? Di mana sopan santunmu, ha?!" teriak Antonello marah.
"Kamu bilang kamu lelah? Jangan berkata seperti itu, lihat diluar sana, banyak anak-anak seusiamu yang ingin menjadi sepertimu, tapi mereka tak bisa." Antonello melunak, dia memelankan nada suaranya.
"Itu juga demi kebaikanmu," lanjutnya.
Geswa terkekeh miris, bukannya memikirkan lebih lanjut tentang perasaannya, Antonello malah berusaha untuk melanjutkan rutinitas yang selama ini membuat Geswa merasa muak.
"Tapi aku tak menginginkan semua itu, Pa!" teriak Geswa, anak itu memberontak.
Antonello menaikkan satu alisnya. "Kamu yakin tak menginginkannya?" Terlihat Antonello membuka laci meja kerjanya, lalu mengeluarkan beberapa lembar foto dan melemparnya ke arah Geswa.
"Lihat itu, lihat baik-baik."
Geswa bergerak, berjongkok untuk mengambil beberapa foto yang sudah berserakan di atas lantai. Matanya langsung membulat dan menatap kaget ke arah Antonello.
Foto-foto tersebut adalah foto aktivitas Endria, dan tempatnya ada juga saat gadis kecil itu berada di kamarnya.
Suatu hari, Geswa pernah memberi sebuah boneka berbentuk kelinci yang sudah Geswa pasangi sebuah spycam pada Endria dan gadis itu meletakkannya di dalam kamar.
Lain waktu, dengan kamera palaroid, Geswa memotret seluruh aktivitas Endria kalau mereka bertemu tanpa merasa jenuh.
Lantas Antonello tersenyum sinis. "Kamu pikir papa tak mengawasimu selama ini?" Antonello berdiri dari kursinya lalu berjalan memutari meja kerja dan berakhir berdiri di belakang putranya.
Antonello menyentuh pundak Geswa dari belakang, mereka berdua memiliki tinggi badan yang hampir sama. "Kamu menyukainya, kan?"
Geswa menoleh setelah ia mendengar bisikan dari ayahnya, satu alisnya terangkat, penasaran akan kalimat selanjutnya yang akan Antonello lontarkan.
"Gadis itu cantik, dan kamu baru saja mengatakan sudah muak dengan hidupmu hari ini. Maka coba bayangkan, kalau besar nanti dan kamu hanya menjadi seorang yang biasa apakah gadis itu akan melirikmu?" Antonello tertawa sekilas lalu kembali melanjutkan kata-katanya.
"Tentu saja jawabannya adalah tidak Geswa. Berbanding kalau kamu menjadi sukses dan lihatlah nanti, matanya akan berbinar bangga karena telah memilikimu dan kamu yang memilikinya." Antonello berusaha mensugesti pikiran putranya sendiri.
"Jadi Geswa, kamu sudah tahu kan maksudnya bagaimana?" Kini Antonello beralih menatap manik abu milik Geswa yang sama persis dengan miliknya.
Geswa pada akhirnya mengangguk, mata abunya berkilat-kilat penuh tekad.
Dan sejak saat itulah, Geswa memilih pindah ke Australia untuk belajar langsung di sana, dengan syarat Antonello harus menjaga Endrianya dan pria itu bisa memiliki akses untuk mengawasi gadisnya dari jauh.
Dengan begitu, di saat lelah belajar dan melakukan aktivitas lainnya maka hanya menatap foto atau video Endria lah yang bisa membuatnya kembali bersemangat.
Seberpengaruh itulah Endria dalam hidup Geswa. Mau bagaimana lagi, alasan Geswa ingin sukses karena untuk Endria.
Andai Antonello tak mensugesti Geswa tentang Endria, tidak menutup kemungkinan Geswa bisa diusir dari rumah.
Flashback off.
"Ya, begitulah ceritanya." Cerita Antonello tentang masa lalu telah berakhir serta pijatannya pada kaki sang istri sudah selesai.
Utami terperangah, tak menyangka. Suaminya dulu ternyata sekejam itu pada sang putra sulung, tetapi mau bagaimana lagi sudah tak bisa lagi disesali untuk sekarang.
Namun, Utami tak akan langsung bisa menerima ini sekarang. Cerita masa lalu Antonello tentang Geswa tak bisa dibenarkan, yang otaknya tahu, walaupun Geswa sudah lama mencintai Endria dan baru mendekati gadis itu bisa saja Endria yang bertindak, berusaha untuk menghindar agar masalah ini tak membesar.
Bisa saja Endria tetap bersama Gatra dengan Geswa yang mengalah. Namun, air sudah terlanjur mendidih.