Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Rumah Kedua Laura
Beberapa hari sebelum konferensi pers, Laura yang sudah mengajak Leon bermain pun pulang ke rumah. Tubuh mungil Leon yang kelelahan, kini menempel pada dada sang ibu dengan kepala yang disandarkan. Lengannya melingkar pada leher Laura dengan kaki yang bergoyang karena gerakan Laura.
"Leon?" panggil Laura untuk memastikan putranya itu belum tertidur.
"Ya, Mama."
"Besok kita pulang ke rumah mama, ya?" tanya Laura sambil tersenyum simpul.
Suasana hening. Tak ada jawaban yang keluar dari bibir sang putra. Dengkur halus mulai terdengar dari mulut Leon.
"Mama anggap kamu setuju. Besok pagi, kita berangkat." Laura tersenyum simpul dan melanjutkan langkah masuk ke mobil.
Perempuan tersebut membelah jalanan ibukota dengan pikiran berkecamuk. Pesan singkat yang masuk ke ponsel Noah masih jelas terekam di benaknya. Dia menduga Noah ada kaitannya dengan skandal foto ciuman yang tersebar.
Laura tak menyangka Noah, orang yang paling dia percaya justru menikam dari belakang. Pandangan Laura perlahan buram. Setiap mengedipkan mata, butir bening keluar dan membasahi pipi.
"Aku harus pergi dari sini. Aku nggak bisa terus ada di sini." Laura menghapus air matanya.
Perempuan tersebut menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kasar. Dia melajukan mobil secepat yang dia bisa. Sampai akhirnya Laura tiba di apartemen.
Laura menidurkan Leon di kamarnya untuk terakhir kali. Perempuan tersebut mengeluarkan koper dari dalam kamar. Mengemasi barang lain menggunakan kardus dan mulai mengirim pesan kepada Siti.
Laura meminta Siti datang lebih pagi untuk membantunya berkemas dan mengirimkan barang yang tidak bisa dibawa menggunakan pesawat melalui jasa ekspedisi. Dia hanya membawa barang penting dan dokumen saja. Beberapa mainan kesayangan Leon juga dibawa agar putranya itu lebih betah ketika berada di Bali.
"Saya berangkat dulu, Mbok. Tolong jangan beri tahu siapa pun ke mana saya pergi, termasuk Noah. Saya ingin mendapatkan ketenangan dan menghilang dari kekacauan ini, Mbok."
Siti berkaca-kaca dengan isak tangis yang mulai keluar. Leon masih terlelap dalam pelukan sang ibu. Siti mendaratkan kecupan pada puncak kepala Leon yang sudah dianggap seperti cucunya sendiri.
"Baik, Mbak. Mbak Laura hati-hati di sana. Kalau nggak keberatan, mampir seandainya di masa yang akan datang kembali lagi ke sini. Masih ingat jalan ke rumah Mbok, kan?"
Laura mengangguk cepat. Perempuan tersebut masuk ke pelukan Siti. Setelah merasa lebih tenang, dia bergegas keluar dari apartemen dan naik ke taksi.
Tatapan Laura kosong ketika meninggalkan ibukota. Dia berharap kembali ke tempat kelahirannya membuat Laura menjadi lebih tenang dan aman. Terlebih di sana ada Nathan dan Wulan yang pasti akan menerimanya dengan baik.
Namun, sesampainya di rumah sang ibu, Laura terkejut. Rumah itu sudah tidak lagi dihuni oleh sang ibu. Laura terdiam seketika sambil menatap layar ponselnya.
"Sudah saatnya aku menghubungi Mbak Wulan." Laura menekan tombol gagang telepon untuk menghubungi Wulan.
Awalnya panggilan perempuan tersebut diabaikan. Akhirnya Laura mengirimkan pesan kepada sang kakak ipar kalau itu adalah dirinya. Sebuah panggilan dari Wulan akhirnya masuk.
"Kamu di mana?" tanya Wulan dari ujung sambungan.
"Aku ada di depan rumah ibu. Tapi ...."
"Tetap di sana! Aku akan ke sana sekarang!" potong Wulan, lantas mematikan sambungan telepon.
Laura akhirnya menunggu di depan rumah yang dulu pernah dia tinggali itu. Matanya berkaca-kaca ketika kenangan masa lalu menyergap ingatan. Leon yang sudah terbangun sejak tadi hanya diam.
Bocah laki-laki tersebut tak banyak bertanya. Dia terlihat kelelahan dan kurang begitu sehat. Laura mendekatkan diri kepada Leon sambil memeluknya dari samping.
"Leon, maafin Mama, ya? Sebentar lagi Bibi akan menjemput. Setelah ini Leon bisa istirahat."
Leon hanya mengangguk lemah. Matanya terlihat berat sehingga lebih sering terpejam. Laura mengecup puncak kepala Leon sambil mengusap rambut putranya tersebut.
Tak lama kemudian, sebuah mobil mendekat dan berhenti di hadapan Laura dan Leon. Wulan turun dari mobilnya dan berhenti tepat di hadapan Laura. Matanya berkaca-kaca.
"Laura ...."
Suara lembut Wulan membuat Laura mendongak. Air matanya mendadak leleh. Wulan bergegas menghampiri adik iparnya itu.
Perempuan tersebut langsung memeluk Laura dan menghujaninya dengan kecupan. Tangis keduanya pecah. Ketika menyadari ada anak kecil yang kini bersama Laura, Wulan menghapus air matanya.
"Dia ... siapa?" tanya Wulan sambil menatap Leon yang masih terlihat sayu.
"Nanti aku ceritakan di rumah, Mbak. Sepertinya Leon kecapekan."
"Baiklah, ayo masuk! Aku juga harus menjemput Ghea dan Ghina." Wulan membantu Laura berdiri.
Perempuan tersebut meminta Laura masuk lebih dulu ke mobil, sementara dirinya memasukkan barang bawaan sang adik ke bagasi. Sepanjang perjalanan menuju sekolah si kembar dan rumah Wulan, mereka tak banyak bicara. Wulan sengaja memberikan ruang kepada adik iparnya itu untuk menenangkan diri lebih dulu.
Barulah setelah makan malam, Wulan dan Laura bisa mengobrol dengan tenang. Hari itu Nathan sedang ada dinas ke luar kota, jadi tidak bisa langsung menemui adik kesayangannya tersebut. Perlahan, Laura menceritakan semua.
Tangis Laura pecah. Begitu juga dengan Wulan. Keduanya kini berbagi kesedihan dan Wulan mencoba untuk menguatkan adik iparnya tersebut.
"Jadi, apa yang kamu katakan kepadaku dan Pak Nathan itu semuanya bohong? Laura, kenapa kamu nggak jujur saja? Seharusnya kamu nggak menjauh begitu. Kami semua di sini menderita rasa bersalah selama bertahun-tahun! Lalu, kenapa kami tidak mengetahui pertunanganmu waktu itu?"
"Waktu itu ibu sengaja tidak mengundang Mbak Wulan dan Mas Nathan. Kalian sedang berkonflik kan? Jadi aku juga tidak menceritakannya kepada kalian. Menurutku ini bukanlah hal penting yang harus kalian ketahui." Laura menghapus sisa tangisnya.
"Apa kamu tidak menganggap kami keluarga, sampai menyembunyikan semuanya?" Wulan menatap tajam Laura, tetapi ada kesedihan yang tersirat di sana.
"Bukannya begitu, Mbak. Aku dalam situasi sulit waktu itu. Kupikir aku menyetujui pertunangan agar perusahaan ibu semakin kokoh. Tapi, ternyata justru semakin terpuruk karena ulah Mbak Leysha. Tahu begitu, aku tidak akan pernah menerima Jordan. Maka aku tidak akan menderita dan melahirkan Leon tanpa ayah." Tangis Laura kembali pecah.
"Kamu menyesal telah melahirkan Leo?" Kini tatapan Wulan berubah tajam.
"Bukan begitu juga maksudku, Mbak." Laura tertunduk lesu dengan bahu merosot.
"Sekarang apa rencanamu? Kita fokus saja ke masa depanmu dan Leon."
Laura terdiam seketika. Dia termenung sejenak, kemudian menggeleng. Ya, perempuan tersebut belum memiliki rencana apa pun untuk ke depannya.
"Ya sudah, sekarang tenangkan dulu dirimu. Semuanya akan baik-baik saja. Aku sama Pak Nathan akan membantumu. Tapi kalau boleh tahu ...." Wulan menggantung ucapannya di udara.
"Apa kamu tidak memiliki keinginan untuk kembali bersama Jordan? Terlebih kalian sekarang memiliki ikatan." Wulan melirik ke arah Leon yang sedang tertidur lelap di atas ranjang.
Laura terdiam seketika. Dia ikut menatap Leon. Menatap putranya itu seakan sedang memandangi Jordan. Sebuah hela napas berat pun kini diembuskan oleh Laura.