“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 31
Malam turun dengan tenang, hanya diselingi suara jangkrik dan desir angin yang menggoyang pucuk-pucuk pohon. Di sebuah tanah lapang—tak jauh dari rumah berukuran cukup besar, Junaidi berdiri tegak. Lelaki muda berusia 25 tahun itu mengatur napas dalam-dalam, lalu menurunkan tubuhnya ke posisi kuda-kuda.
Kakinya mantap mencengkeram tanah, kedua tangannya mengepal erat. Dengan gerakan cepat, ia mulai mengeksekusi rangkaian jurus. Tubuhnya meliuk, meloncat, dan menghentak—penuh presisi dan tenaga. Cahaya rembulan yang menembus celah pepohonan menyinari tubuhnya yang berkeringat, memperlihatkan otot-otot yang menegang tiap kali ia mengayunkan tangan atau menyapu kaki.
“Arrrggghhh!” Sesekali ia mengerang, luka di punggung bawahnya belumlah sembuh dengan sempurna.
Debu-debu beterbangan tiap kali ia mendarat. Nafasnya mulai berat, tapi matanya tetap fokus—seolah sedang membayangkan lawan di hadapannya. Sekali-dua kali, ia melayangkan tendangan tinggi, lalu kembali ke posisi bertahan.
Lalu, di sela-sela keheningan, Junaidi berhenti. Ia menoleh perlahan ke sisi kiri lapangan. Alisnya mengerut. Entah mengapa, hawa malam terasa sedikit berubah. Seolah ada sesuatu—atau seseorang—yang memperhatikannya dari kegelapan.
“Keluar lah,” titah Junaidi, matanya tajam menatap ke arah gelapnya semak belukar yang bergoyang pelan.
Dari balik rimbunan itu, sosok berjubah hitam perlahan menampakkan diri. Kain hitam menutupi sebagian wajahnya, menyisakan hanya sorot mata yang gelisah namun waspada. Langkahnya pelan, seolah takut mengusik suasana malam yang sunyi.
“Maafkan saya yang sudah mengganggu Anda berlatih, Tuan Jun.” Ucapnya sambil menunduk hormat.
Junaidi tak langsung menjawab. Matanya menelisik tubuh tegap di hadapannya, mengamati dari cara berjalan hingga suara napas orang kepercayaannya—yang pernah turut berpartisipasi membobol rumah Juragan Karta.
“Malik,” gumam Junaidi akhirnya, masih dengan nada datar. “Bagaimana? Apa yang kau temukan di rumah dukun itu?”
“Mereka merencanakan sesuatu, Tuan,” sahut Malik setengah berbisik.
Pria itu mendekat satu langkah, menunduk lebih dalam, lalu membisikkan sesuatu ke telinga Junaidi—cepat dan nyaris tanpa jeda.
Rahang Junaidi mengeras. Kedua tangannya mengepal perlahan, urat di lengannya menegang. Ia tidak menjawab segera, hanya berdiri kaku dengan amarah yang berkobar.
“Sudah kuduga,” desisnya akhirnya.
Ia menatap ke kejauhan, ke arah pucuk rumah besar yang tampak samar di balik kabut tipis malam.
“Pantau terus dalam diam—jangan sampai ketahuan. Lekas temui aku jika mereka mulai bergerak.”
“Baik, Tuan.” Malik mengangguk patuh.
Malam di tanah lapang itu kembali hening, hanya terdengar suara desau angin dan gelegar niat yang belum terucap—menggantung di antara mereka berdua.
...****************...
Di dapur tua yang remang, di balik rak kayu yang nyaris lapuk dimakan usia, Mbah Darsih menyalakan pelita kecil. Api temaram menari di dalam gelas minyak, menyinari wajah keriputnya yang penuh gurat dan rahasia.
Di hadapannya, tergeletak seikat bunga berwarna ungu kebiruan—berbentuk lonceng, menggantung lembut namun menyimpan racun mematikan di balik keelokannya.
Bunga Lonceng Neraka.
Begitu masyarakat tua di kaki bukit menyebutnya. Bunganya memang cantik, menggoda, bahkan tercium harum manis yang menipu. Tapi satu tetes sarinya ... cukup untuk menghentikan jantung seekor anjing liar dalam waktu tiga napas.
Dengan gerakan yang lambat namun terlatih, Mbah Darsih menumbuk kelopak bunga itu dalam cobek tanah liat. Ia mencampurkannya dengan sedikit bubuk akar kering dan cairan pekat hasil rebusan biji hitam. Setiap gerakannya sangat terukur.
“Akan ku pastikan, semua dendammu terbalas tuntas!” desisnya dengan sorot mata tanpa emosi.
Setelah beberapa saat, ia menuangkan ramuan tersebut ke dalam botol kecil dari kaca bening. Cairannya tampak berkilau kehijauan dalam cahaya pelita.
Lalu, ia menyisipkan botol itu ke dalam kantung kecil dari kain beludru hitam dan melangkah menuju paviliun, tempat Arum biasa duduk seperti ratu tanpa mahkota.
Saat tiba, Mbah Darsih mengulurkan kantung itu tanpa kata.
Arum menatapnya dengan tenang, lalu mengambil botol itu dengan jemari gemetar ringan.
“Berikan perlahan,” bisik Mbah Darsih. “Teteskan pada tehnya, atau campurkan ke dalam air mandinya. Jangan banyak-banyak. Sedikit demi sedikit ... dan lihat bagaimana tubuhnya mulai rapuh dari dalam.”
Arum menggenggam botol itu erat. Jemarinya yang dingin menyentuh kaca kecil itu seakan sedang menggenggam nasib orang lain—yang sebentar lagi akan runtuh perlahan.
“Kita tidak akan dicurigai, kan, Mbah?” tanyanya lirih, nyaris berbisik. Matanya tak berkedip, menatap cairan kehijauan di dalam botol mungil itu.
Mbah Darsih menatap Arum, kemudian menghela napas panjang. “Tidak, Nak. Asal kau lakukan dengan sabar.” Bisik Mbah Darsih sembari membenarkan selendangnya. “Ramuan ekstrak lonceng neraka ini bekerja diam-diam. Ramuan ini akan membuat detak jantung menjadi tak beraturan, perlahan menyerang saraf pusat. Sudah sering digunakan oleh Londo saat akan menghabisi lawan.”
Ia menatap dalam ke mata Arum.
“Jika diteteskan sedikit demi sedikit, yang meminumnya akan tampak seperti mengalami serangan jantung alami. Bahkan jika ia dibawa ke rumah sakit besar—alat medis terbaik sekalipun akan kesulitan mendeteksi penyebab pastinya. Karena racun ini bukan racun biasa.”
Arum menelan ludahnya. Hatinya masih berdebar, antara bimbang dan keyakinan yang saling tarik-menarik.
“Kau harus mematikan hati nuranimu, Sekar Arum,” sambung Mbah Darsih. “Ingat, ini bukan hanya tentang balas dendam. Ini tentang keadilan. Untuk dirimu, dan untuk semua perempuan yang pernah diinjak oleh laki-laki rakus itu.”
*
*
*
hilang sudah yg bikin enak2 ya yun
mampus beneran kan yun mana bisa kau dpt uang lagi
nikmati saja nnti tiba kok giliran mu asli swer tak kewer2