NovelToon NovelToon
CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Romansa
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: GOD NIKA

Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bayangan di Perbatasan

Angin pagi di kota perbatasan itu dingin, meskipun matahari sudah cukup tinggi. Leon berjalan setengah langkah di depan, bahunya tegang, pandangan matanya terus menyapu kiri-kanan jalan. Di tangannya, genggaman pada tas kecil berisi perlengkapan penting terasa seolah sedang mencengkeram nyawa keluarganya.

Lana mengikuti di belakangnya bersama Arya. Balon naga yang tadi begitu ceria kini bergoyang pelan tertiup angin, warnanya kontras dengan wajah Leon yang gelap.

“Leon,” suara Lana lirih, “itu cuma mobil parkir. Mungkin milik orang sini.”

Leon tidak menoleh. “Aku berharap kamu benar.”

Arya melirik ke atas, matanya bingung. “Ayah… kenapa kita jalan cepat?”

Leon tersenyum tipis ke arahnya. “Karena ayah mau kita cepat sampai hotel, biar kamu bisa istirahat lagi.” Senyumnya hangat, tapi nada suaranya menyimpan waspada yang tidak dimengerti anak itu.

Tanda yang Tak Terlihat

Sesampainya di penginapan, Leon tidak langsung masuk. Dia berjongkok di depan pintu, memeriksa bagian bawah kusen. Matanya menangkap sesuatu, sebuah pita hitam kecil, terselip rapat, hampir tak terlihat.

Itu bukan pita biasa, ia mengenalinya dari salah satu operasi masa lalu. Simbol milik kelompok yang pernah ia kira sudah ia hancurkan.

Darahnya berdesir. Mereka tahu aku di sini.

Lana memperhatikan perubahan ekspresi Leon. “Apa itu?”

Leon menegakkan badan, menyelipkan pita itu ke sakunya. “Bukan apa-apa.”

Tapi tatapan matanya cukup memberi tahu Lana bahwa itu bukan sekadar potongan kain.

Rencana Mendadak

Begitu pintu terkunci dari dalam, Leon bergerak cepat, memeriksa tas, memindahkan beberapa barang ke ransel yang lebih kecil, lalu mengeluarkan pistol dari kotak besi kecil di bawah ranjang. Ia mengisi magazen dengan gerakan cepat.

Lana berdiri di dekat meja, menahan diri untuk tidak panik. “Kita mau ke mana?”

Leon berhenti sejenak. “Ada dua opsi, keluar kota sekarang juga, atau sembunyi di sini sampai mereka pergi.”

“Dan kamu pilih yang pertama,” Lana menebak.

Leon mengangguk. “Kota ini kecil. Mereka tidak akan butuh waktu lama untuk menutup semua jalur keluar. Kita harus bergerak sebelum itu.”

Arya duduk di tepi ranjang, memeluk balon naganya. “Aku nggak mau pergi lagi…”

Leon mendekat, berlutut di hadapan anaknya. “Arya… kadang ayah harus bawa kamu ke tempat lain supaya kita aman. Tapi ayah janji, kita akan main lagi nanti.”

Anak itu mengangguk pelan, meski jelas kecewa.

Bayangan di Jalan Raya

Mereka keluar dari kota lewat jalan belakang yang jarang dilalui kendaraan. Leon mengemudi pelan tapi pasti, matanya terus memantau kaca spion. Sedan hitam dari pagi tadi sudah tak terlihat, tapi rasa waspada di dadanya tidak surut.

Di tikungan ketiga, ia melihat debu tipis membubung di kejauhan—seperti jejak ban mobil yang baru saja lewat. Instingnya berkata itu bukan kebetulan.

Lana, yang duduk di kursi penumpang depan, melirik ke arah yang sama. “Mereka?”

“Mungkin,” jawab Leon pendek. “Tapi kita nggak akan menunggu untuk memastikan.”

Dia menekan pedal gas sedikit lebih dalam.

Persinggahan Darurat

Sekitar satu jam kemudian, Leon memutar masuk ke sebuah bengkel tua di pinggir jalan. Pemiliknya, pria paruh baya dengan topi lusuh, tampak terkejut melihat mereka.

“Mobil ini perlu ganti oli,” kata Leon singkat, meski tujuannya bukan itu. Sambil pemilik bengkel memeriksa mesin, Leon memanfaatkan waktu untuk memutuskan langkah berikut nya.

Lana berdiri di dekat pintu masuk bengkel, mengawasi jalan. “Kalau mereka lewat sini?”

“Kita masuk lewat pintu belakang, naik bukit,” jawab Leon. “Ada jalur kecil yang nggak akan mereka periksa.”

Arya duduk di kursi plastik, memainkan mobil-mobilan kecil yang ditemukan di bengkel. Leon menatapnya sebentar, lalu kembali memandang peta di ponselnya. Ia menandai beberapa titik, lokasi yang bisa jadi tempat berlindung sementara.

Pertemuan yang Tak Terduga

Tepat saat mereka bersiap keluar dari bengkel, suara mesin mobil terdengar dari arah jalan raya. Leon mengintip dari balik pintu. Sedan hitam itu muncul, melaju pelan, seperti mencari sesuatu.

Pemilik bengkel melirik. “Teman kalian?”

“Bukan,” jawab Leon cepat. “Katakan pada mereka kamu nggak lihat siapa-siapa.”

Pria itu mengangguk cepat, memahami situasinya.

Leon menggenggam tangan Lana. “Sekarang.”

Mereka keluar lewat pintu belakang, melewati gudang kecil, lalu naik ke bukit berumput di belakang bengkel. Dari atas, Leon bisa melihat sedan hitam itu berhenti tepat di depan bengkel, dua orang keluar dan berbicara dengan pemilik bengkel.

Lana berbisik, “Kamu kenal mereka?”

“Sayangnya,” jawab Leon. “Dan kalau mereka di sini, berarti waktunya hampir habis.”

Perjalanan Lewat Jalur Tersembunyi

Mereka menuruni bukit di sisi lain, sampai ke jalan setapak yang nyaris tertutup semak. Leon tahu jalur ini dari peta topografi lama, hanya digunakan oleh petani lokal dan nyaris tak tersentuh pembangunan.

Perjalanan melelahkan. Arya mulai mengeluh lapar, tapi mereka tidak bisa berhenti lama. Leon hanya memberi sepotong roti kering dan air, cukup untuk menahan sementara.

Saat matahari mulai condong, mereka mencapai sebuah rumah panggung tua di tepi sungai kecil. Atapnya miring, catnya pudar, tapi strukturnya masih kokoh.

“Kita istirahat di sini malam ini,” kata Leon. “Aku butuh lihat jalur sungai sebelum gelap.”

Lana memandangi rumah itu. “Tempat ini... Apa aman?”

“Lebih aman dari pasa terus bergerak di malam hari.”

Malam di Rumah Panggung

Begitu malam turun, Leon menyalakan lampu kecil bertenaga baterai. Lana menyiapkan roti dan sedikit sup instan di kompor portable. Arya makan dengan lahap, kelelahan membuatnya cepat mengantuk.

Setelah memastikan anak itu tidur, Lana duduk di samping Leon yang sedang membersihkan pistolnya. “Mereka… yang mengejar kita. Apa yang sebenarnya mereka mau?”

Leon menatap senjatanya, lalu berkata pelan, “Balas dendam. Dan sesuatu yang kupunya.”

Lana memiringkan kepala. “Sesuatu?”

Leon mengangguk. “Informasi. Cukup berharga untuk menjatuhkan mereka… atau membunuh kita.”

Keheningan menggantung. Angin malam meniup tirai robek di jendela, membuat bayangan bergerak di dinding.

Janji

Lana memegang tangannya. “Leon… aku nggak peduli seberapa berbahaya ini. Selama kita bersama, aku percaya kita bisa melewati semuanya.”

Leon memandangnya, melihat tekad yang sama seperti saat pertama kali ia memutuskan untuk melibatkan Lana dalam hidupnya. Ia menghela napas, lalu meraih wajahnya, ibu jarinya menyapu lembut pipi Lana.

“Kalau kita keluar dari ini hidup-hidup… aku akan berhenti,” kata Leon. “Benar-benar berhenti.”

Lana tersenyum tipis. “Aku akan pegang kata-kata itu.”

Bayangan di Sungai

Sekitar tengah malam, Leon mendengar suara samar dari arah sungai, seperti percikan air yang tidak biasa. Ia meraih pistol dan bergerak pelan ke jendela. Dalam cahaya remang bulan, ia melihat bayangan bergerak di tepian sungai, mendekat.

Ia kembali ke dalam, menyentuh bahu Lana yang baru setengah terlelap. “Bangun. Kita harus siap.”

Lana langsung terjaga, matanya mengikuti arah pandangan Leon. Mereka berdua tahu: bayangan itu bukan sekadar ilusi malam.

Ancaman yang mereka coba tinggalkan… akhirnya menemukan jalan.

1
Risa Koizumi
Bikin terhanyut. 🌟
GOD NIKA: Terima kasih🙏🥰🥰
total 1 replies
Mít ướt
Jatuh hati.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!