NovelToon NovelToon
CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Romansa
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: GOD NIKA

Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Antara Reruntuhan Dan Pelukan

Lana berdiri di dapur, menatap cangkir kosong yang masih berembun. Matahari belum benar-benar naik, tapi sinarnya menyusup perlahan dari sela - sela tirai. Ia menyentuh perutnya, bukan karena rasa sakit, tapi cemas yang belum menemukan tempat untuk berlabuh.

Langkah kaki pelan terdengar dari lorong. Leon datang dari kamar, masih dengan rambut acak - acakan dan tatapan redup. Tapi begitu matanya menangkap Lana di sudut dapur, ia langsung menghampiri.

"Tidurmu nyenyak?" bisiknya, merangkul pinggang Lana dari belakang.

Lana menggeleng pelan. "Kamu pulang larut. Aku nungguin kamu."

Leon menyandarkan dagunya di pundaknya. "Maaf. Aku butuh waktu buat nenangin pikiran."

"Kamu mikirin siapa orang dalam itu?"

Leon mengangguk. Tapi kemudian ia memutar tubuh Lana agar menghadapnya, menatap langsung ke dalaman matanya. "Tapi di tengah semua itu, cuma satu hal yang aku yakin."

"Apa?"

"Kamu." Ia menyentuh pipinya lembut. "Kamu rumahku untuk pulang."

Lana menahan napas sejenak. Kalimat itu sederhana, tapi diucapkan Leon dengan suara yang membuat dadanya bergetar. Ia menunduk, lalu mendekat, menempelkan dahinya di dada bidang suaminya.

"Kadang aku takut, Leon."

Leon merengkuhnya erat. "Aku juga. Tapi rasa takut itu nggak akan lebih besar dari keinginan kita untuk saling melindungi."

Mereka berdiri lama dalam pelukan itu, hanya ditemani denting jam dinding dan suara detak jantung masing-masing. Hingga akhirnya Lana menengadah, memandang wajah pria yang telah menemaninya melewati badai demi badai.

"Kamu masih ingat waktu pertama kali kita bertemu?"

Leon tertawa kecil. "Di ruang negosiasi yang penuh asap rokok? Waktu kamu bilang aku terlalu sombong untuk bisa diajak kerja sama?"

"Dan kamu jawab aku terlalu idealis untuk bertahan di dunia bisnis lebih dari setahun," Lana ikut tertawa.

Leon menariknya lebih dekat, matanya melembut. "Dan lihat kita sekarang. Masih saling menyebalkan. Tapi tetap di sini."

Lana menyentuh dagunya. "Karena cinta itu bukan soal cocok... Tapi soal memilih untuk tetap bertahan meski nggak selalu merasa cocok."

Leon menunduk, mencium keningnya. "Dan aku akan terus milih kamu Lan."

Ruang Rahasia

Sore harinya, Lana dan Leon kembali memeriksa ruang penyimpanan bawah tanah yang terhubung ke kantor pusat mereka. Di sanalah mereka menyimpan file-file penting dan backup server lama.

Leon membuka brankas kecil di balik panel kayu. Di dalamnya, terletak hard disk hitam dengan label yang hampir terhapus.

"Ini milik ayahku," katanya pelan. "Dulu dia selalu bilang, ‘simpan kebenaran, bahkan kalau dunia belum siap untuk menerimanya."

Lana menatapnya. "Kamu pikir ada petunjuk di dalamnya?"

"Aku nggak tahu. Tapi kalau Vincent benar, dan ada yang menyusup, bisa jadi ini menjadi kunci untuk kita."

Mereka membawa hard disk itu ke ruang kerja. Saat Dika menyambungkannya ke sistem isolasi, layar komputer langsung menyala dengan ratusan folder.

Aluna, yang ikut membantu dari sudut ruangan, menatap data itu dengan waspada. "Banyak nama di sini. Proyek-proyek lama Titan... tapi juga ada yang aktif sekarang."

Leon memfokuskan mata pada satu folder bernama "ORION". Ia membukanya perlahan, dan mendapati ratusan catatan transaksi, termasuk proyek pembangunan yang selama ini mereka curigai sebagai pencucian dana.

Tiba-tiba Lana menegang. "Lihat nama ini."

Aluna dan Leon menoleh. Di sana tertulis jelas.

Manajer Proyek : Aluna N. Damarjati

Hening. Wajah Aluna memucat.

"Aku… aku bisa jelaskan," katanya buru-buru. "Itu… itu data lama. Aku memang pernah magang di bagian administrasi Titan sebelum merger. Tapi aku nggak tahu proyek itu ilegal. Sumpah."

Leon menatapnya tajam. "Kenapa kamu nggak pernah cerita?"

"Aku takut... Kalian nggak akan percaya. Tapi aku benar-benar bersih. Aku bahkan yang ngajak teman lamaku untuk jadi whistleblower…"

Lana menghela napas, lalu mendekati Aluna. "Kita nggak akan menuduh tanpa bukti. Tapi mulai sekarang, semua orang harus terbuka. Kalau kita mau selamat, nggak boleh ada rahasia."

Aluna mengangguk cepat, matanya berkaca-kaca. "Aku ngerti."

Leon menatap Lana, dan di matanya ada kepercayaan yang tumbuh kembali. Di dunia yang mudah membuat orang meragukan satu sama lain, mereka masih punya satu hal yang kuat, keterbukaan.

Malam yang Menghangat

Malam itu, Lana mengajak Leon keluar. Bukan ke restoran mewah atau hotel bintang lima. Tapi ke taman kecil dekat rumah, tempat mereka dulu sering jalan - jalan sore waktu masih pacaran.

Lana menyiapkan selimut, termos teh, dan satu kotak kecil berisi makanan ringan.

"Kita mau ngapain di sini?" tanya Leon, duduk di bawah pohon beringin.

"Ngobrol. Tanpa laptop. Tanpa dokumen. Tanpa Aeternum," jawab Lana, menyandarkan kepalanya di bahunya.

Leon tersenyum. "Ini jebakan ya?"

"Jebakan supaya kamu inget... bahwa hidup kita bukan cuma tentang menang atau kalah. Tapi tentang siapa yang kita perjuangkan."

Leon mencium pelipisnya. "Dan aku tahu siapa itu."

Suara jangkrik mengisi malam. Angin membawa aroma tanah dan bunga kamboja. Di bawah langit yang jernih, Lana dan Leon berbagi keheningan yang nyaman.

"Sebenarnya aku selalu takut," Lana berbisik.

Leon menoleh. "Takut apa?"

"Takut suatu hari kamu harus memilih. Antara aku, atau integritas yang kamu pegang teguh itu."

Leon menggenggam tangannya. "Enggak akan ada pilihan itu. Karena integritas ku, ya kamu dan Arya."

Lana membalikkan tubuhnya, menatap wajahnya lama. “Kamu tahu, dulu waktu kamu ajak aku nikah, aku ragu.”

"Kenapa?"

"Karena kamu terlalu sempurna."

Leon tertawa. "Dan sekarang?"

"Sekarang... kamu masih sempurna, tapi dengan segala celamu. Dan aku jatuh cinta sama itu."

Mereka saling menatap, lalu tertawa pelan. Tak ada pelukan yang terlalu lama malam itu, tak ada ciuman yang terburu-buru. Hanya dua manusia yang saling menjaga, saling merawat, di tengah dunia yang nyaris selalu ingin merusak.

Menuju Jawaban

Keesokan harinya, Lana mendapat pesan dari nomor tak dikenal. Hanya satu kalimat:

"Temui aku. Aku tahu siapa pengkhianat itu."

Dan di bawahnya, lokasi sebuah galeri seni tua yang sudah lama tutup.

Lana menunjukkan pesan itu pada Leon. Pria itu menatap ponselnya, lalu mengangguk.

"Kamu nggak boleh pergi sendiri," katanya.

"Justru karena itu aku harus pergi. Kalau ini jebakan, mereka nggak akan mengharapkan aku datang tanpa pengawal. Aku bisa lebih waspada."

Leon menggenggam wajahnya. "Jangan jadi martir, Lana."

"Aku bukan. Aku cuma... percaya bahwa kita udah terlalu dekat sama kebenaran."

Leon menarik napas dalam. Lalu memeluknya lama. "Kalau kamu nggak pulang dalam dua jam, aku akan dobrak tempat itu."

Lana tersenyum tipis. "Kalau itu terjadi, semoga kamu pakai jas yang bagus. Biar dramanya lengkap."

Leon mencubit hidungnya. "Istriku, si ratu drama."

Dan di antara tawa yang samar dan kecemasan yang menekan, mereka berpisah pagi itu, bukan sebagai dua orang yang takut kehilangan, tapi sebagai dua jiwa yang berani melangkah ke arah kebenaran, bersama-sama.

Galeri Tua

Bangunan itu berdiri sunyi di ujung jalan yang bahkan tak lagi dilalui angkot. Dinding luarnya terkelupas, catnya pudar seperti ingatan yang ingin dilupakan. Lana berdiri di depan gerbang besi yang berderit saat disentuh. Angin sore menyusup lewat celah baju, membuatnya merapatkan jaket.

Ia melangkah masuk, langkahnya ringan tapi waspada. Di dalam, cahaya temaram menyinari kanvas - kanvas tua yang bersandar miring. Debu menari di udara. Suara langkahnya bergema, tapi ada sesuatu yang membuat kulitnya merinding, keheningan yang terasa terlalu disengaja.

"Lana."

Sebuah suara memanggil dari balik pilar.

Lana berbalik cepat. Seorang pria berjaket gelap muncul dari bayang-bayang. Wajahnya setengah tertutup topi, tapi suaranya familiar.

"Kamu..." Lana memicingkan mata. "Adrian?"

Mantan rekan Leon. Orang yang dulu hilang setelah skandal pertama Titan mencuat.

"Aku enggak punya banyak waktu," ujar Adrian. "Apa kamu sendirian?"

Lana mengangguk pelan, matanya tetap awas. “Kamu yang mengirim pesan?”

"Ya. Dan aku tahu siapa orang dalam yang sedang kamu cari."

Lana mengepalkan tangan. "Siapa?"

Adrian merogoh saku dan mengeluarkan flashdisk kecil. “Ini. Semua data transaksi, komunikasi rahasia, dan bukti kalau…”

Tiba-tiba, suara kaca pecah memotong kalimatnya. Sebuah peluru menembus jendela galeri dan menghantam dinding di dekat Lana.

"Merunduk!" teriak Adrian.

Mereka berlindung di balik meja marmer kayu yang lapuk. Tiga tembakan lagi menyusul, memecahkan vas keramik dan membuat debu beterbangan.

"Disini gak aman. Kita harus pergi!" kata Adrian.

Lana menatapnya, napasnya memburu. "Siapa yang tahu kita di sini?"

Adrian menggeleng. "Mereka mengawasi semua yang dekat dengan Leon. Termasuk kamu. Mereka takut kamu menemukan jalur uang yang tersembunyi."

Lana memegang flashdisk itu erat. "Kita harus keluar."

Kembali ke Pelukan

Setelah mereka lolos lewat pintu belakang galeri, Adrian menghilang ke jalan sempit. Lana langsung menelepon Leon.

"Aku di jalan pulang. Tapi mereka tahu. Dan mereka mencoba membungkam aku."

Leon menjemputnya di tengah kota. Begitu melihat Lana, ia langsung turun dan memeluknya erat. "Kamu gila. Tapi kamu luar biasa."

Lana tersenyum tipis, tapi tubuhnya masih gemetar. " Aku nyaris terkena peluru, Leon. Aku dengar suara tembakan."

Leon menarik napas berat, lalu mencium rambutnya. "Mulai sekarang, kamu nggak boleh sendiri lagi."

Malam itu, di kamar mereka, Lana duduk di tepi ranjang sambil memandangi flashdisk yang diletakkan di meja.

Leon duduk di sampingnya, menautkan jari mereka. "Apa pun isi di dalamnya, kita hadapi bersama."

Lana mengangguk. "Kita sudah terlalu jauh untuk mundur."

Leon memeluknya, lalu membisikkan kata-kata yang tidak Lana duga.

"Kalau suatu saat aku harus mengorbankan posisiku demi membongkar semua ini, aku akan lakukan. Tapi bukan kamu yang akan aku korbankan."

Lana menatapnya, air matanya jatuh pelan. "Kalau kamu jatuh, aku juga ikut."

Leon menggeleng. "Kalau aku jatuh, kamu yang harus tetap berdiri. Karena kamu bukan cuma istriku, Lana... kamu pewaris dari semua kebenaran yang belum berani diungkap."

Dan malam itu, di balik pintu yang tertutup, dua hati bersiap menantang badai berikutnya, dengan cinta yang sudah ditempa oleh rahasia, darah, dan keberanian untuk terus memilih satu sama lain.

1
Risa Koizumi
Bikin terhanyut. 🌟
GOD NIKA: Terima kasih🙏🥰🥰
total 1 replies
Mít ướt
Jatuh hati.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!