NovelToon NovelToon
Beauty To Crystal

Beauty To Crystal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Anak Lelaki/Pria Miskin / Romansa
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Reenie

Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.

Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.

Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4. Sepeda tua

Langit Crystal Heights International School siang itu sedikit mendung, tapi suasana di dalam gedung sekolah justru lebih cerah dari biasanya. Semester telah usai. Tidak ada lagi suara bel pelajaran atau guru yang mondar-mandir di koridor. Yang terdengar hanya gemuruh langkah kaki siswa-siswi yang baru saja melihat hasil nilai akhir semester mereka.

Achazia berdiri terpaku di depan papan pengumuman elektronik. Senyumnya mengembang pelan, tidak mencolok, tapi cukup untuk membuat Brianna yang berdiri di sampingnya tahu bahwa nilai sahabat barunya itu sempurna lagi.

“Nilai kamu... 100 semua. Matematika, Fisika, Biologi, semuanya,” gumam Brianna, setengah kagum setengah kaget. “Tapi… lihat baris ini…”

Achazia menoleh mengikuti arah tunjuk Brianna. Dan di sanalah, di baris yang sama, nama Elvareon terpampang rapi. Nilainya juga sempurna.

“Dia... sama kayak kamu, Achazia,” ujar Brianna lirih. “Padahal dia dari keluarga yang kurang mampu dan belajar di perpustakaan karena tidak sanggup untuk membeli buku.”

Achazia hanya menelan ludah. Perasaannya aneh. Ada bangga, ada juga semacam rasa... kagum yang terlalu cepat berkembang.

Setelah perayaan kecil di kantin sekolah bersama teman-teman, para siswa mulai berpencar pulang. Sebagian naik mobil, sebagian jalan kaki, dan sebagian besar... ya, seperti Elvareon, menuntun sepeda tuanya yang kini terparkir di bawah pohon besar dekat gerbang sekolah.

Achazia melangkah menuju area parkir, ponsel di tangan, menghubungi Pak Gino, supirnya.

"Pak, aku udah selesai. Jemput ya di pintu depan."

Beberapa menit kemudian, Pak Gino menelepon balik.

"Nona Achazia... maaf sekali, mobil kita ban-nya pecah di jalan arah barat. Ini lagi antri di bengkel. Mungkin butuh... sekitar lima jam."

“Lima... jam?” gumam Achazia, sedikit panik.

Brianna yang melihat ekspresi sahabatnya itu langsung menghampiri. “Kenapa?”

“Mobilku rusak... dan Pak Gino bilang butuh lima jam buat betulin bannya.”

“Yahh... berarti kamu harus nunggu lama," ucap Brianna, menggaruk kepala. “Gimana kalau... kita naik bus aja bareng? Rutenya memang agak muter, tapi—”

“Achazia, kamu pulang sama aku aja.”

Suara itu datang dari arah belakang.

Achazia dan Brianna menoleh bersamaan. Di sana, berdiri Elvareon dengan tangannya menuntun sepeda tua berwarna biru pudar, dengan sadel yang sudah sedikit robek di pinggirnya.

“Kamu?” tanya Achazia, agak kaget.

Elvareon mengangguk. “Rumahmu dekat dari rute pulangku. Bisa aku antar pakai sepeda ini.”

Brianna menahan tawa kecil, menyikut Achazia pelan. “Ayo, Achazia. Kamu akan menjadi gadis pertama yang naik sepeda bareng si kutu buku.”

Achazia menatap Elvareon sejenak. “Tapi… sepeda kamu... cuma buat satu orang kan?”

Elvareon tersenyum, sedikit malu. “Aku bisa mengayuhnya, kamu bisa duduk di bagian belakang. Pegangan, tapi jangan terlalu keras, ya. Sadel belakangnya goyang.”

Beberapa menit kemudian, Achazia duduk dengan canggung di bagian belakang sepeda Elvareon. Rambutnya yang tergerai tertiup angin, dan tangan kirinya dengan gugup memegang bagian samping baju Elvareon.

“Kalau kamu takut jatuh, boleh peluk dari belakang juga, sih,” ucap Elvareon, nada suaranya setengah menggoda.

“Enggak perlu!” sahut Achazia cepat, tapi pipinya memerah.

Sepeda meluncur pelan menyusuri jalan kecil di sisi sekolah. Banyak siswa yang memperhatikan mereka berdua. Beberapa berbisik, beberapa hanya melongo. Tapi Elvareon tak peduli. Dan anehnya, Achazia pun tidak.

Hujan gerimis mulai turun, tapi angin sore yang menyapu wajah mereka terasa damai.

“Kenapa kamu begitu baik padaku?” tanya Achazia pelan dari belakang.

Elvareon tidak langsung menjawab. Ia terus mengayuh beberapa meter sebelum menjawab, “Karena kamu pernah bilang... kamu suka belajar diam-diam di perpustakaan. Tempat yang sama seperti aku. Dan... karena kamu tidak merasa jijik duduk di bangku sebelahku waktu itu.”

Achazia terdiam.

“Dan… aku tahu kamu tidak seperti orang kaya lainnya yang suka menilai orang dari sepatu atau tas yang mereka pakai,” lanjut Elvareon.

“Hmm… kamu juga tidak seperti orang miskin lainnya yang suka minder,” balas Achazia keceplosan menyebutnya "miskin". Dia lalu menunduk malu.

“Jadi kita... tidak seperti orang kebanyakan, ya?”

Achazia tersenyum dari belakang. “Iya… mungkin begitu.”

Saat mereka sampai di depan gerbang rumah besar Achazia, matahari mulai tenggelam. Sepeda berhenti perlahan. Elvareon turun duluan, membantu Achazia turun, meski agak canggung.

Achazia menatap wajah Elvareon yang berkeringat dan rambutnya sedikit basah oleh gerimis.

“Terima kasih,” ucapnya tulus.

“Sama-sama,” balas Elvareon. “Dan... selamat atas nilai sempurnamu.”

“Kamu juga,” jawab Achazia.

Mereka saling menatap sebentar. Tidak ada yang bicara. Tapi ada sesuatu yang terasa. Sesuatu yang tidak bisa disangkal.

“Besok… kamu masih ke sekolah?” tanya Achazia.

Elvareon mengangguk. “Paling ke perpustakaan. Atau... mau bareng lagi naik sepeda?”

Achazia tertawa kecil. “Kalau ban mobilku masih rusak, mungkin iya.”

"Emangnya perpustakaan masih buka ya?" tanya Achazia penasaran.

"Masih, yang lulus itu kelas 12 bukan adik kelas kita. Ya walaupun sudah lulus, kita tetap bisa ke perpustakaan." ucap Elvareon.

Dari balik jendela rumah besar itu, seorang pria memperhatikan. Papa Achazia. Matanya mengerut melihat putrinya pulang naik sepeda bersama seorang anak laki-laki yang terlihat lusuh.

"Eh, Achazia aku ingin tahu nama instagram mu," ucap Elvareon sedikit gugup

"Aku ingin kau cari tahu sendiri. Instagramku tidak privat"

Elvareon lalu tersrnyum dan mengangguk.

Suara langkah kaki terdengar. Papa Achazia menemui mereka di luar.

Achazia menoleh ke belakang, "Papa" ucapnya

Papanya melihat laki-laki itu seperti tidak senang tapi dia harus bersikap profesional.

"Dimana supir kita? tanya papanya

"Kata Pak Gino, ban-nya ada masalah, pa lalu dibawa ke bengkel dan selesainya 5 jam kedepan," ucap Achazia gugup.

Achazia sekolah di tempat semua isinya perempuan. Jadi wajar saja dia awalnya tidak begitu tertarik dengan Elvareon. Apalagi ayahnya yang tidak menyukai jika putrinya dekat dengan laki-laki lain apalagi seperti Elvareon.

"Masuklah, bibi Eli sudah memasak untukmu," ucap papanya

Achazia lalu masuk ke rumah dan melambaikan tangan pada Elvareon. Membiarkan dia dan papanya berdua diluar rumah walau dia merasa takut papanya akan marah.

"Siapa kamu? Beraninya mengantar putriku. Naik sepeda?" ucap papanya

"Saya temannya, pak. Saya menawarkan tumpangan padanya," ucap Elvareon gugup

"Baiklah. Kalau begitu kamu bisa pulang,"

Elvareon lalu mengangguk dan memutar sepedanya lalu pulang. Di perjalanan dia merasa bersalah telah mengantar Achazia dengan sepeda itu. Apalagi rumahnya besar, tidak sebanding dengan rumahnya.

Sesaat Elvareon sampai ke rumah, dia melihat ibunya sedang duduk di teras rumah.

"Kamu sudah pulang? Kenapa wajahmu murung?" tanya ibunya

"Aku hanya ingin istirahat, bu."

Elvareon lalu masuk ke kamarnya. Kamar sederhana yang disukainya. Dia membaringkan badannya lalu menatap langit-langit.

"Aku tidak akan pernah menjadi kekasihnya," ucapnya dalam hati.

Di sisi lain, papanya Achazia menemuinya di ruang makan. Kebetulan Achazia juga sudah selesai makan siang.

"Sayang, papa mau bicara,"

Achazia mengangguk

"Sayang, siapa laki-laki itu?"

"Itu teman aku, pa. Teman aku sama Brianna," ucapnya meyakinkan

"Brianna? Tapi kok kamu berteman sama laki-laki?" tanya papanya

"Brianna memang sudah berteman lama pa sama laki-laki. Dia itu Elvareon teman aku juga. Kami selalu bersama disekolah. Kenapa pa?"

"Kamu tidak tahu memilih teman? Kamu tidak ingin berteman yang setara dengan kita?"

"Pa, aku tidak ingin memilih-milih teman. Bagiku semuanya sama. Aku juga nyaman bersama mereka", ucapnya

Papanya lalu mengangguk. Mungkin beliau terlalu berlebihan. Dia tidak pernah membiarkan putrinya berteman dengan laki-laki. Namun sekarang berbeda.

"Oh, baiklah sayang. Kalau begitu besok kita urus perkuliahanmu ya"

Achazia mengangguk "Iya, Pa"

Setelah berbicara bersama papanya, Achazia memutuskan untuk kembali ke kamarnya lalu dia berbaring.

"Untung saja papa tidak curiga," ucapnya dalam hati.

Achazia ingin sekali kuliah jurusan kecantikan. Tapi dia tidak tahu ayahnya mengijinkan atau tidak. Dia memang tidak memakai make up ke sekolah tapi dia memiliki kelebihan dalam tata rias. Dia suka merias wajahnya sebagai bahan percobaannya dan hasilnya selalu bagus. Di sekolah lamanya dia memang diajarkan para guru untuk bagaimana cara merias wajah yang baik.

Namun disatu sisi dia juga suka sains. Dia suka bagaimana hal-hal bilogis dan dia suka ke laboratorium. Sewaktu dia kecil, dia bermimpi menjadi ilmuan tapi sekarang dia bingung memilih antara tata rias atau sains. Atau ada jurusan lain yang tidak pernah ada dibenaknya.

1
Nana Colen
ceritanya ringan tapi asiiik 🥰🥰🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!