Siapa sangka moment KKN mampu mempertemukan kembali dua hati yang sudah lama terasa asing. Merangkai kembali kisah manis Meidina dan Jingga yang sudah sama-sama di semester akhir masa-masa kuliahnya.
Terakhir kali, komunikasi keduanya begitu buruk dan memutuskan untuk menjadi dua sosok asing meski berada di satu kampus yang sama. Padahal dulu, pernah ada dua hati yang saling mendukung, ada dua hati yang saling menyayangi dan ada dua sosok yang sama-sama berjuang.
Bahkan semesta seperti memiliki cara sendiri untuk membuat keduanya mendayung kembali demi menemui ujung cerita.
Akankah Mei dan Jingga berusaha merajut kembali kisah yang belum memiliki akhir cerita itu, atau justru berakhir dengan melupakan satu sama lain?
****
"Gue Aksara Jingga Gayatra, anak teknik..."
"Meidina Sastro Asmoro anak FKM, kenal atau tau Ga?"
"Sorry, gue ngga kenal."
.
.
.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kondisi tak kondusif
Meidina melirik langit untuk kesekian kalinya. Ragu menggelayut, namun jika tidak sekarang...kapan lagi? Sebab besok-besok ia pasti akan sibuk. Sebentar saja mungkin tak apa, terlebih Hamzah bukan sosok kriminal, lebih tepatnya bukan sosok yang harus ditakutkan dengan catatan hidup buruk.
Jingga? Jingga pasti juga paham pikirnya, ditambah....ia tak tega harus merepotkan Jingga yang tentunya sedang repot saat ini oleh teman-teman serta proker kelompok.
"Saya ngga bikin repot akang, kan?"
Senyum cerah jelas ditunjukan kang Hamzah, mata menyipit sepaket lesung pipi yang mencetak jelas di kedua sisi pipinya, "oh engga, kalo bikin repot saya ngga mungkin nawarin teh Mei." Ujarnya, Mei kembali menatap Jovi, "Jov. Tolong kabarin di grup...gue ke rumah Arika, ya."
"Siap," jawab Jovi.
Meidina mendekap tas kresek miliknya lalu naik ke boncengan kang Hamzah.
Siapapun yang melihat mungkin akan bilang, sungguh serasi jika keduanya berpasangan begitu kiranya sorot tatapan para bapak disana.
Bukannya membaik, awan-awan mendung itu nyatanya menyebar luas di atas Cikalong siang ini.
"Waduh mau hujan kayanya, a."
Bukan hanya Jovi yang memutuskan untuk menyudahi acara hari ini, anak-anak kkn 21 lain pun melakukan hal yang sama selain dari tugas hari ini yang telah selesai.
Beberapa dari mereka berangsur kembali ke posko.
**KKN 21**
(**Raindra Jovian**) *Waduh sorry gue lupa ijinin Mei. Ga, Mei ijin ke rumah Arika tadi bareng kang Hamzah. Hapenya mati, jangan ditelfonin atau dicariin*.
(***T. Zioma Arlan***) *waduhhh, pantesan Widya Mukti mendung berpetir gini...bentar lagi hujan badai deh*.
(***Arshaka Mandala***) *Nja, cang cuttt diamankan, ngga? Jangan sampe terbang ke rumah bah Wawan*.
*Jov, kirain perasaannya yang mati, pake jangan dicariin awokawok*...
(***Lengkara Savio***) *Senja lagi mewek, dia galau gegara diputusin. Jangan diganggu*!
(***Purwangga Mahadri***) *poor Senja. Gue turut berduka, mau gue kirim karangan bunga, Nja*?
(***T. Zioma Arlan***) *Turut berduka, Nja*.
(***Arshaka Mandala***) *poor Senja. Cari lagi, Nja...cowok masih banyak. Gue denger bah Wawan duda, lagi cari bini muda, bisa masak bukan prioritas*.
(***Lengkara Savio***) *Arshaka Mandala berisik lo bedebah. 😡 gue kubur idup-idup lo ya, Ka. Simpati dong*...
(***Raindra Jovian***) *gue indo bang sat, Vi...bukan Simpati*.
(***Arshaka Mandala***) *R.I.P hubungan kandas Senja*.
(***Aksara Jingga***) *Jov, lo kasih Mei pergi sama kang Hamzah? Kenapa ngga disuruh tunggu gue dulu, atau kabari gue dulu sebelumnya? Kan gue udah bilang tadi*.
(***Arshaka Mandala***) *nah lo, Jov...elu adalah orang pertama yang kena amukan badai*.
(***Raindra Jovian***) *sorry Ga, tadi gue liat Mei bingung banget. Mau hubungin lo, lo nya lagi sibuk kesana kemari*.
(***Sultan Tri Alby***) *waduh, ancaman badai tornado, Jov...ngapain lo ijinin Mei pergi sama kang Hamzah...harusnya lo kasih pergi Mei sama kang Wahid*.
(**T. Zioma Arlan**) *Jingga : Jov, bang sat lu, setan. Kenapa lo ngga iket dulu Mei di kincir sampe gue datang, sih* !
*Nah begitu dong, Ga...harusnya*.
(***Raras Nalula***) *😂😂 pada demen banget manasin badai. Sabar pak kordes...sabar. Mei pasti pulang kok*.
*Yang sabar ya Nja...semua akan indah pada waktunya kok*.
(***Nagara Kertamaru***) *Ga, rumah Arika nomor 13 rt 3 rw 7 by the way kalo lo mau nyusul*.
(***T Zioma Arlan***) *Anjayyyy, velocity an dulu guys! Bentar lagi mau ada tarung drajat di rumahnya Arika, nonton yukkk. Lo mau taruhan buat siapa, mr. Kordes kita kah apa halo dok*? *Gue sih megang Jingga ya*.
(***Raras Nalula***) *lo semua balik deh guys, mau ujan ini, mana petir gede-gede*.
(***Livia Syua Tan***) *gue sama Arlan udah mau nyampe posko*.
"Teh Meidina? pak dokter Hamzah?" kebetulan sekali ibunya Arika sedang menurunkan jemuran-jemurannya saat Mei dan kang Hamzah datang.
"Ibu..."
"Teh Mei!" sapa kakak Arika dan adik-adiknya, bocah itu.. Bocah yang menyita perhatian Mei semenjak ikut Nalula ke taman kanak-kanak, kini sedang duduk di undakan tangga kayu, memperhatikan sang ibu yang sedang menurunkan jemuran sambil bertepuk tangan dan bernyanyi sendiri.
"Sesuai janji aku tempo hari, bu..."Mei menaikan kresek putih miliknya, "Arika! Aku bawain squishy aroma permen karet..." Mei turun dan menghampiri bocah itu, awalnya ia menatap Mei asing, namun kemudian ia memberikan seulas senyumnya.
"Masuk teh, pak dokter...waduhh teteh, sampe repot-repot kesini lagi, teh..." ucap ibu Arika yang cukup terkejut kedatangan keduanya, ia bahkan sempat menyingkirkan beberapa benda yang menghalangi langkah dan membuat pandangan risih dengan gerakan cepat meski hal itu tetap tak dapat mengurangi kesan berantakan, kumuh dan bikin risih di pandangan.
"Ibu, aku masuk ya, permisi..."
"Mangga teteh...tapi maaf berantakan rumahnya, teh...pak dokter." Ujarnya tak enak hati mempersilahkan keduanya untuk masuk.
Hujan benar-benar turun deras tanpa ampun. Bahkan, Alby, Zaltan dan Mahad adalah orang terakhir yang sampai di posko sepaket dengan jas dan pakaian basahnya, mereka langsung ke belakang untuk bersih-bersih dan menjemur baju basah mereka di tali tambang dekat dapur.
Sementara Meidina, justru masih terjebak hujan di rumah Arika masih bersama kang Hamzah.
"Arika, coba liat pak dokter..." pinta kang Hamzah mencoba memeriksanya. Sementara Mei...ia telah lebih dulu bercengkrama akrab dengan adik dan kakak-kakak Arika yang jumlahnya 4 itu.
"Teteh..."
"Teteh..aku mau cerita..."
Dan ia menjadi pusat perhatian, atau lebih tepatnya para bocah ini yang heboh berebut mendapatkan perhatian Meidina yang menurut mereka cantik nan baik itu.
Meidina, turut memberi mereka squishy satu persatu, bukan hanya Arika saja. Ia bahkan tak sungkan untuk mengajari mereka menggambar, menulis dan menemani mereka bermain tebak-tebakan, sementara Arika mendapatkan pemeriksaan.
Beberapa kali fokus bocah itu pecah, mendaratkan perhatian antusiasnya diantara pemeriksaan kesehatan pada Mei dan para saudaranya, sampai-sampai kang Hamzah harus menangkup wajahnya berkali-kali dan mengajaknya berbicara dengan kepayahan.
Kini pemeriksaan selesai, Arika ikut bergabung dengan saudara-saudaranya dan Mei, ketika kang Hamzah berbicara serius dengan ibunya.
"Arika. Arikaaa...."colek Mei pada si bocah.
"Arika dengar aku ngga?" ia mengangguk, "dengel."
"Oke. Gini...sini--sini liatnya, fokus sama aku, ya...bisa?" pinta Mei menangkup wajah Arika saat bocah itu mengedarkan matanya dan ikut heboh sendiri saat saudara-saudaranya kini tengah bermain squishy di belakang badan mereka.
Kini matanya beralih pada Mei, "Arika, aku mau tanya....kemarin..." bahkan demi menjaga fokus Arika, Mei menunjuk-nunjuk telapak tangan gadis itu, memancing indera perasa dan motoriknya, "kata bu guru, Arika nangis, Arika marah di sekolah, kenapa?"
(..)
Pandangan kang Hamzah dan ibu Arika tak bisa untuk tak melihat interaksi yang tercipta dari Arika dan Mei, dimana Mei begitu gigih dan telaten mengajak Arika mengobrol, meski butuh waktu...namun akhirnya bocah spesial itu mau menjawab dan mencurahkan isi hatinya dengan ucapan ciri khas bocahnya meski tak begitu jelas.
"Di ejek....nga diajak...ma-in..sama Uta."
"Arika, kalo Arika lagi mau cerita sama orang....tapi Arika ngga bisa, jangan nangis....tarik nafas dulu, bisa? Begini...aku punya sesuatu buat Arika...biar melatih fokusnya Arika." Mei mengeluarkan sesuatu dari kresek putih itu.
Tadaaa! Ia tertawa sementara Arika terlihat seperti terpukau dan terkejut padahal yang ia keluarkan hanya bubble wrap.
Kang Hamzah terkekeh begitupun ibu Arika yang kini tak bisa untuk tak bergabung.
Kini Arika tengah bermain bersama saudara-saudaranya, sementara Mei...masih menatap rintik hujan yang masih deras bersama bunyi gemuruh petir yang saling bersahutan di luar sana, bersama kondisi langit yang mendungnya bukan main, bahkan di jam 2 siang ini saja, seperti sudah memasuki waktu sore.
"Waduh teh, malah hujan ya..." Kang Hamzah melirik ke arah luar dimana hujan deras benar-benar mengguyur Widya Mukti, ia duduk bersila di samping Mei.
"Iya." Mei melirik ponselnya yang padam karena terlupa mencharger daya baterai.
"Tunggu aja teh, akang sampai hujannya reda. Kalau dipaksakan takut licin, kebasahan...petirnya juga bikin ngeri." Ujar ibu Atih.
Harus ia panggil teteh kah atau ibu, ibunda dari Arika ini, karena menurut Mei, ibu 4 anak ini masih cukup muda.
"Iya teh Atih. Meni gede gini ujannya. A Asep pulangnya setiap hari, teh?" kini kang Hamzah kembali membuka obrolannya pada sang pemilik rumah, sementara Mei..sedang mencoba mengusir rasa jenuh dan khawatirnya dengan kembali mengajak Arika bercengkrama.
/
Jingga sudah benar-benar berdecak kesal di tempatnya, memandang lebatnya hujan yang tak jua berkurang. Mungkin siapapun bisa melihat wajahnya yang telah tak bersahabat.
Ia mencoba mencari jas hujan kali ini.
"Ga, ujannya gede banget. Mei juga pasti neduh dulu disana...." Nalula mencoba menenangkan hati sang kordes.
Suara tangis Senja justru mendominasi kamar anggota perempuan, wajah sembabnya terlihat kacau sekali.
"Dia selingkuh di kampus...ternyata udah 3 bulan, tau ngga...sama temennya."
Vio melengkungkan bibir ikut simpati, sementara Syua telah ikut misuh-misuh menghakimi mantan kekasih Senja itu.
"Hallo? Hah?! Iya pak? Gawat..." Jovi justru menerima panggilan dari seorang warga yang sering membantunya membuat kincir air.
Ia berlari dengan wajah panik ke arah Jingga diantara kumpulan anak-anak kkn, "Ga! Kincir rusak kena terjangan arus sungai, anjirrr banget..gue lupa matenin baut bawahnya!"
Suasana hati dan pikiran kusut tak bisa lebih kacau lagi, ketika Jovi bilang begitu. Hasil kerja seminggu lebih harus rusak begitu saja.
"Gue mesti cek, jangan sampe kebawa arus..." Jovi turut meraih jas hujannya.
"Jov, elah bahaya Jov !"
"Jangan sendirian!"
"Gue temenin." Jingga akhirnya mengurungkan niatannya mencari Mei dan memilih menemani Jovian bersama Arlan dan Maru.
"Hati-hati!" ucap mereka ketika keempatnya keluar dari posko.
.
.
.
si arlan temenya setan 🤣🤣🤣