Diusianya yang tak lagi muda, Sabrina terpaksa mengakhiri biduk rumah tangganya yang sudah terajut 20 tahun lebih lamanya.
Rangga tega bermain api, semenjak 1 tahun pernikahnya dengan Sabrina. Dari perselingkuhan itu, Rangga telah memiliki seorang putri cantik. Bahkan, kelahirannya hanya selisih 1 hari saja, dari kelahiran sang putra-Haikal.
"Tega sekali kamu Mas!" Sabrina meremat kuat kertas USG yang dia temukan dalam laci meja kerja suaminya.
Merasa lelah, Sabrina akhirnya memilih mundur.
Hingga takdir membawa Sabrina bertemu sosok Rayhan Pambudi, pria matang berusia 48 tahun.
"Aku hanya ingin melihat Papah bahagia, Haikal! Maafkan aku." Irene Pambudi.
..........................
"Tidak ada gairah lagi bagi Mamah, untuk menjalin sebuah hubungan!" Sabrina mengusap tangan putranya.
Apa yang akan terjadi dalam kehidupan Sabrina selanjutnya? Akankah dia mengalah, atau takdir memilihkan jalannya sendiri?
follow ig @Septi.Sari21
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31
"Maaf atas sikap Gina, Mbak!" Danang tertunduk lesu, wajahnya tampak begitu lelah.
"Danang, duduklah! Ada yang ini Mbak bicarakan!" Sabrina lalu duduk dikursi teras, begitu diikuti oleh mantan Iparnya. Jika menyangkut dengan Bu Farida, maka Sabrina tidak akan tinggal diam. Wanita tua itu selalu hidup menderita, karena kurangnya kasih sayang dari anak-anaknya.
"Kamu sudah mendapatkan kerjaan?" Sabrina mulai membuka suara.
Danang mengangkat pandanganya. Lalu menoleh sekilas, "Aku digaji sama Gina, Mbak! Kerjaku ya ... Nganterin dia pergi," lirih Danang.
Sabrina semakin memicing. Digaji istri sendiri? Apa maksud ucapan Danang barusan? Bukanya Danang bekerja sebagai karyawan?
"Bagaimana bisa? Apa pekerjaan, Gina?" Jika tidak peduli dengan pria muda didepannya itu, mustahil Sabrina akan sepenasaran ini.
"Aku dari Bali, Mbak! Aku nggak tahu jelas kerjaan Gina seperti apa. Tapi, dia selalau memintaku untuk menunggu di Hotel saja. Bilangnya, dia hanya pergi bersama teman-temannya. Dan setiap dia pulang, aku diberikan sejumlah uang." Jabar Danang.
"Danang, bagaimana bisa kamu tidak curiga sedikitpun dengan pekerjaan Istrimu, ha?! Buka matamu, Danang!" Sabrina benar-benar tak habis pikir dengan rumah tangga mantan Iparnya itu. Sebagai seorang suami, bagaimana mungkin Danang hanya diam saja? Sementara Gina sudah jelas berada dijalan yang salah.
"Aku sudah pernah menanyakan semua itu, Mbak! Tapi Gina mengancam ingin menceraikanku! Itulah kelemahanku, aku dibutakan oleh cintanya!" Lagi-lagi Danang tertunduk sendu. Ia merasa gagal menjadi seorang suami.
Merasa pusing, Sabrina lantas bangkit. Ia terlihat merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kartu nama Perusahaan Pambudi, ia letakan diatas meja.
"Perusahaan yang aku tempati bekerja, sedang mencari staff bagian komunikasi. Datang, dan cobalah melamar kesana. Perbaiki dirimu, lalu rasakan efek dari perbaikan itu. Kamu seorang kepala rumah tangga, Danang! Mau sampai kapan kamu hidup dibawah kendali Gina terus?! Pertimbangkan saja. Mbak pamit!" Sabrina langsung beranjak pergi dari kediaman rumah itu.
Danang terdiam cukup lama. Ia mencerna setiap kata yang barusan Sabrina lontarkan. Sejak dulu pun, Sabrina tidak pernah membedakan siapa, antara Revan dengan Danang. Keduanya sudah Sabrina anggap adiknya sendiri. Dan kebaikan itu, dapat Danang rasakan hingga kini
Dengan cepat, ia langsung mengambil kartu nama itu. Danang berniat, jika ia sudah kembali bekerja, maka ia tidak akan mau diperbudak lagi oleh Gina.
*
*
*
Drttt...
Gawai Sabrina bergetar, hingga membuat lamunannya buyar. Ia saat ini dalam perjalanan pulang, karena waktu juga sudah pukul 5 sore lebih. Dan mungkin, Haikal juga sudah sampai di rumah.
'Pak Rayhan? Ada apa lagi ya?'
"Hallo, Pak, ada apa ya?"
📞 "Ehem!" dehem Rayhan sebelum ia membuka suara. Mendengar suara Sabrina saja, tubuh Rayhan mendadak terasa panas dingin. "Apa kamu tadi keluar? Mau kemana? Kenapa tidak bilang dengan saya?" Setelah berkata itu, Rayhan agak menjauhkan gawainya. Ia mencoba menarik nafas pelan, sambil memegang dadanya kembali.
"Memangnya ada apa ya, Pak? Saya hanya keluar sebentar, tadi!" suara Sabrina terdengar tenang, namun ia sedikit berpikir.
📞 "E-em, nggak ... Nggak papa! Cuma saya khawatir saja, jika mantan suamimu menguntit kemana pun kamu pergi."
Sabrina agak tersapu malu mendengar kalimat Rayhan barusan. Yang pertama diantarkan pulang, diberi kejutan buket raksasa, dan sekarang ... Sifat posesif itu muncul tiba-tiba. Apa maksud Pria matang itu?
"Saya dapat menjaga diri, Pak Rayhan! Anda tidak perlu mencemaskan saya." Sabrina tersenyum tipis.
Papah!!!!
Pintu kamar Rayhan tebuka kuat, dengan suara Irene yang begitu nyaring.
Rayhan menoleh, terhenyak, hingga ia terpaksa mengakhiri panggilannya.
📞 "Sabrina, maaf ya! Nanti saya telfon lagi! Selamat sore," bisik Rayhan.
Irene memicing, wajah tengilnya kembali muncul. Ia tipe anak perempuan yang tidak terlalu protektif dengan sang Ayah. Menurut Irene, kebahagiannya yakni melihat Ayahnya bahagia. Irene tahu, jika Ayahnya itu tipe pria yang sangat setia. Nyatanya, setelah kematian Ibunya, hingga kini Rayhan tidak berniat menikah lagi. Irene bahkan selalu mengenalkan ibu dari temannya yang janda, kepada sang Ayah.
Namun alasan Rayhan selalau sama. Ia hanya ingin membesarkan putrinya terlebih dahulu.
"Cie, Papah lagi telfonan sama siapa nih? Bagi tahu dong Pah!" Irene mendekat, sambil menyenggol lengan kekar Ayahnya.
"Apaan sih, Sayang! Papah hanya telfon sama rekan bisnis Papah saja! Lagian, kamu ini suka banget ngagetin Papah," gerutu Rayhan dengan mengacak rambut putrinya.
Irene tersenyum tengil. Ia memegang kedua tangan Papahnya. Tatapan matanya mengunci tatapan sang Ayah. "Pah, nggak papa kok kalau Papah ingin mengenal wanita lain! Siapa pun itu, asal dia nanti sayang sama Irene, maka Irene pasti akan mendukung Papah! Irene juga pingin punya adik, Pah! Masak sebesar gini hanya hidup sendiri," semakin lama, suara manis itu terdengar bergetar. Bibir tipisnya tersenyum, namun kedua matanya berkaca.
Rayhan tidak sampai hati mendengar ratapan hati putrinya. Ia langsung membawa Irene dalam pelukannya, membiarkan air mata putrinya bebas menetes.
"Usia Papah sudah tua, Sayang! Rasanya sangat sulit mencari wanita yang sama seperti Mamahmu dulu!" lirih Rayhan mengusap punggung putrinya.
Irene menarik tubuhnya. Tatapanya jelas menolak, "Itu karena Papah belum pernah mencoba! Pah, coba Papah perlahan mulai kembali membuka hati. Pelan-pelan aja, Pah! Irene yakin, masih banyak kok wanita yang baik diluaran sana."
"Kamu beneran nggak papa, kalau Papah menikah lagi?" Rayhan menatap lamat putrinya, sekaligus meyakinkan hatinya, apakah Sabrina yang ia kenal akan mau menerima statusnya, yang telah memiliki seorang putri remaja.
Irene mengangguk cepat. Wajahnya kembali bahagia, "Aku akan mendukung Papah!" ia kembali memeluk tubuh Ayahnya.
Rayhan mencium pucuk kepala putrinya. Terkadang, waktu bergulir sangat cepat, hingga putri kecil yang dulu ia timang, kini sebentar lagi akan tumbuh menjadi gadis dewasa yang manis.
*
*
*
Haikal memicing, kala ia masuk rumah dan melihat buket besar yang kini bersandar diatas sofa tamu. Ia sudah tahu, jika Ibunya kini masih dalam perjalanan pulang dari rumah neneknya.
Dari siapa buket mawar itu? Apa mungkin dari pengagum Mamahnya Atau ... Bisa jadi dari Ayahnya sendiri~Rangga. Haikal masih menerka, hingga pintu gerbang rumahnya terbuka oleh Sabrina.
"Sayang, sudah pulang?" Sabrina berjalan masuk, karena melihat putranya yang masih mematung di ruang tamu.
Haikal menoleh, tatapanya meminta jawaban atas hal yang ia lihat saat ini.
"Buket dari Bosnya Mamah! Alasanya apa ... Mamah juga nggak tahu. Hanya bilang special aja." Sabrina mengendikan bahu acuh, karena memang ia tidak tahu tujuan yang jelas Bosnya.
Haikal terkekeh, menampakan wajah tengilnya. "Naksir kali sama Mamah!"
Wajah Sabrina bersemu malu. Ia langsung melenggang masuk, sambil berkata, "Sudah, Haikal! Terus saja mojokin Mamahmu. Udah ... Sekarang kamu cepetan mandi, terus makan! Tadi Mamah sudah masak kesukaanmu!"
hnya dng kata maaf di pikir semua akn kembali. huuhhh mungkin anak anak sprti mika bgitu dah hilang rasa malu nya. ya gimana ibu nya saja jd pelakor gk malu kok.
coba klo nurut kakaknya
smoga diksh yg terbaik.
liat aruna kshan juga ditinggalin sndirian
rangga tanggung jwb juga ya smua asetnya buat anaknya dr istri sah..
ceritanya bagus lho..