Menara yang Misterius yang sudah berdiri dan berfungsi sejak sangat lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Space Celestial, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Langit pagi di atas lapangan latihan terbuka berwarna biru pucat, dengan angin sejuk yang berhembus pelan melewati rerumputan hijau yang terawat. Suara langkah kaki puluhan Regular bergema lembut di antara pepohonan saat mereka mengikuti Leo menuju tempat latihan luar ruangan yang disebut sebagai “Lapangan Mage”.
Lapangan Mage adalah hamparan luas yang dibagi ke dalam beberapa zona, masing-masing dilengkapi target-target berbentuk siluet manusia dari logam ringan yang berjarak lima hingga lima belas meter. Di sekelilingnya, pilar-pilar kristal biru berdiri tegak, berfungsi sebagai penstabil mana dan pengukur kekuatan serangan para peserta.
Leo, dengan gaya santainya yang khas, masih menggigit sayap ayam di tangan kirinya saat ia berdiri di tengah lapangan. Tatapan birunya menyapu seluruh peserta kelas sebelum akhirnya berhenti pada sebuah target logam di ujung barisan.
“Oke, sekarang kita masuk ke bagian menyenangkan,” katanya dengan suara ceria. Ia melempar tulang ayam ke tempat sampah otomatis, lalu mengangkat tangan kanannya. “Lihat baik-baik.”
Udara di sekitar telapak tangannya mulai bergetar. Cahaya biru terang mulai berkumpul dalam bentuk bola kecil, kira-kira seukuran bola tenis. Energinya berdenyut pelan, seperti jantung yang berdegup stabil. Bola itu tampak jernih dan bersinar, berwarna biru bening seperti danau yang tenang.
“Ini mana,” ucap Leo, suara dan ekspresinya tiba-tiba serius. “Mana murni yang telah dibentuk dan dikondensasi menjadi peluru. Kalian semua akan belajar melakukan ini. Tapi bukan sekadar membentuk bola... kalian harus memahami karakteristik elemen kalian.”
Ia mengayunkan tangannya. Bola mana itu melesat dengan kecepatan tinggi dan menghantam target logam di ujung lapangan. Ledakan ringan terdengar, disertai semburan uap dan percikan air, sebelum target terlempar ke belakang dan jatuh terguling.
“Boom,” kata Leo sambil tersenyum kecil. “Itu mana berelemen air. Lembut tapi kuat. Itulah elemenku. Mana punya sifat unik tergantung dari elemen alami yang kalian miliki. Kalau kalian punya elemen, warna mananya akan berubah. Lihat.”
Leo lalu menciptakan bola mana lain. Kali ini, warnanya tetap biru, tetapi berkilau lebih terang, seperti kristal es. “Air. Sekarang dengarkan baik-baik. Ini penting.”
Dia mulai berjalan perlahan di depan peserta, seolah memastikan semua memperhatikan.
“Jika mana kalian berwarna merah… itu artinya kalian punya afinitas dengan api. Ledakannya cepat dan kuat, cocok untuk serangan langsung. Kalau hijau, angin, cepat, ringan, dan cocok untuk kontrol jarak jauh. Coklat adalah tanah, lebih lambat tapi stabil dan kuat seperti pertahanan. Hitam? Itu elemen kegelapan. Jarang ditemukan, tapi punya efek negatif pada tubuh atau pikiran target. Setiap orang mempunyai elemen afinitas masing-masing. Dan terakhir… putih.”
Dia berhenti di depan seorang Regular dan menatap tajam.
“Kalau mana kalian putih, artinya kalian tidak punya afinitas elemen manapun. Tapi bukan berarti kalian lemah. Justru, kalian lebih fleksibel.”
Sofia memperhatikan dengan tenang. Dia masih mengingat pertama kali melihat bola mana putih di masa lalu, kebanyakan di tangan orang-orang luar menara yang tidak memiliki elemen afinitas sendiri dan memiliki elemen afinitas sendiri tetapi berasal dari luar menara saja sudah dianggap beruntung.
Sementara itu, di sisi lain, Lena mencoba membuat bola mana di telapak tangannya. Cahaya samar muncul, tidak stabil, warnanya hampir tidak terlihat. Wajahnya tegang. Marco juga berusaha dengan serius, peluh membasahi keningnya. Karen Laine duduk bersila, mencoba bermeditasi untuk merasakan mana dalam dirinya, tetapi wajahnya menunjukkan kebingungan.
“Jangan terlalu fokus pada bentuknya dulu,” seru Leo dari kejauhan. “Fokus dulu pada energi dalam tubuh kalian. Tarik dari dada, arahkan ke lengan, lalu salurkan ke telapak tangan. Rasakan mengalirnya. Seolah kalian menarik napas dalam-dalam… tapi dengan energi.”
Lalu, Leo menunjuk ke arah Sofia.
“Kamu,” ujarnya, “tunjukkan ke mereka. Kamu udah mengerti, ‘kan?”
Sofia mengangguk pelan dan maju. Semua mata tertuju padanya. Ia mengangkat tangan kanan perlahan. Sejenak, ia menutup mata, menarik napas, dan membiarkan mana di dalam tubuhnya mengalir perlahan menuju tangannya.
Bola bercahaya putih bersinar dengan lembut di telapak tangannya, tampak stabil dan padat. Tidak ada riak yang tak terkendali, tidak ada lonjakan kekuatan yang liar. Hanya ketenangan murni.
Beberapa Regular menahan napas.
Leo mengangguk puas. “Lihat? Putih. Artinya dia gak punya afinitas elemen apapun, tapi mananya bersih dan stabil. Itu bisa jadi kekuatan luar biasa.”
Sofia menatap bola mananya sebentar, lalu melemparkannya pelan ke arah target. Bola itu mengenai pusat dada logam dan meledak dalam semburan ringan, cukup untuk menjatuhkannya.
“Efisiensi,” Leo menunjuk. “Dia nggak pakai tenaga berlebih. Itu penting.”
Di barisan belakang, Lena mencengkeram tangannya, berusaha meniru. Namun bola mana yang ia hasilkan hanya berkedip sebelum menghilang. Wajahnya memerah karena frustasi.
Leo melanjutkan pelajaran, sekarang lebih rinci. Ia berbicara tentang bagaimana mengenali elemen dalam diri, dan bahwa kadang elemen tidak muncul langsung. “Kalian bisa latih afinitas kalian. Bisa saja sekarang warnanya putih, tapi setelah latihan bertahun-tahun, muncul warna merah atau biru atau elemen yang lain. Itu bukan akhir dunia.”
Sofia memberi ruang kepada para Regular di kelas Mage dan berdiri diam di samping lapangan, tanpa kata, namun dalam diam itu ada rasa mantap. Tidak sombong dan tidak memamerkan hasilnya. Dia hanya tahu bahwa pelajaran ini baru dimulai, dan dia harus menyerap setiap maknanya.
“Jangan terburu-buru,” kata Leo lagi, kini kembali berdiri di sisi target logam yang sudah penyok. “Setiap orang punya irama masing-masing dalam menyentuh mana. Bahkan aku butuh waktu berminggu-minggu untuk pertama kali membentuk bola mana dengan benar. Jadi, tenang saja. Tidak ada yang terlambat di sini.”
Lena akhirnya duduk, napasnya berat. Ia menggeleng, frustrasi.
“Aku gak bisa,” gumamnya pelan. “Kenapa yang lain bisa, sedangkan aku...”
Karen membuka mata dan melihat ke arahnya. “Karena kamu terlalu terburu-buru,” katanya lembut. “Aku juga belum berhasil, Lena. Tapi kita di sini bukan untuk langsung sukses. Kita di sini buat belajar.”
Sementara itu, Marco, dengan wajah penuh determinasi, terus mencoba. Bola mananya mulai terbentuk perlahan. Masih goyah, masih tidak stabil, tapi mulai tampak cahaya samar berwarna cokelat di sekelilingnya.
Leo memperhatikan itu dan tersenyum. “Tanah,” gumamnya pelan. “Anak ini punya afinitas elemen tanah walaupun dia dari luar menara. Jika dia berlatih giat dia mungkin akan mengendalikan elemen afinitasnya dengan lebih hebat di masa depan.”
Kebanyakan para Regular dari luar menara tidak punya afinitas elemen, tetapi orang-orang dari dalam menara ada juga beberapa yang tidak punya elemen afinitas tetapi itu bukan berarti mereka tidak akan mempunyai afinitas elemen, karena di masa depannya mereka akan punya elemen afinitas sendiri jika mereka berlatih terus dalam mengendalikan mana mereka sendiri.