"Aku tidak mau dijodohkan! Bukankah kalian semua tau kalau aku sudah memiliki kekasih? " "Kami semua tau nak, tapi tidak bisakah kamu menolong papa sekali ini saja, ? " "Tidak! Yang menjadi anak dirumah ini bukan hanya aku saja, masih ada Melodi di rumah ini, kenapa bukan dia saja yang kalian jodohkan! "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alizar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Pagi itu, udara segar menyapa keluarga Salamah. Melody, gadis bungsu mereka, dengan cekatan membantu ibunya di dapur. Aroma sarapan pagi yang menggugah selera menyebar ke seluruh rumah. Sementara itu, Budi, sang ayah, telah duduk di ruang makan, menyeruput kopi sambil membaca koran.
Salamah memandang Melody yang terlihat bersemangat. "Mel, kamu terlihat bahagia sekali hari ini. Ada apa, Nak?" tanyanya sambil menyendokkan nasi goreng ke piring.
Melody, dengan senyum mengembang, menjawab, "Ibu, aku lupa memberitahu. Aku sudah mulai kuliah minggu ini. Aku benar-benar senang bisa melanjutkan pendidikan."
Salamah memeluk Melody, rasa haru bercampur bangga. "Ibu sangat senang mendengarnya. Menjadi orang berpendidikan itu penting," ucap Salamah, matanya berbinar.
Budi, suami Salamah yang telah mendengarkan percakapan itu, menoleh dari korannya dan menambahkan, "Benar, Nak. Pendidikan itu akan membuka banyak pintu untukmu di masa depan. Kamu membuat kami bangga."
"Tentu ayah, semua ini berkat Arkan dan juga mama mertua yang mendukung ku. Jika tidak ada mereka, mungkin aku tidak akan pernah bisa merasakan kuliah dan mengejar mimpi ku. "
"Syukurlah, ternyata anakku yang manis ini di berikan suami dan juga mertua yang baik." Ucap salamah bahagia
Keluarga itu kemudian menikmati sarapan bersama, penuh canda tawa dan obrolan tentang hari-hari yang akan datang di kampus untuk Melody. Kebersamaan dan dukungan keluarga memberi kekuatan baru bagi Melody untuk menghadapi tantangan baru sebagai mahasiswa.
"Baiklah bu, kalau begitu aku berangkat dulu. " Pamitnya mencium tangan kedua orang tua nya.
***
Melody mengayunkan langkahnya dengan semangat yang membara, serupa api yang tak kunjung padam sejak hari pertama ia menginjakkan kaki di kampus impian. Setelah menikmati sarapan hangat yang disiapkan oleh kedua orang tuanya, Melody meninggalkan rumah dengan rasa syukur dan cita-cita yang menggebu. Perjalanan ke kampus memakan waktu, namun bagi Melody, setiap detik terasa berharga untuk mempersiapkan masa depan yang cemerlang.
Tiba di kampus, sinar matahari pagi menyambutnya dengan hangat, menambah semangatnya yang sudah berkobar-kobar. Dari kejauhan Risa melihat Melody, dan dengan segera memanggilnya. Ia segera bertemu dengan Risa, temannya yang baru, yang telah menunggunya di depan gerbang. Mereka berdua, dengan langkah riang, berjalan menuju taman belakang kampus, tempat yang sering menjadi saksi bisikan impian dan tawa mereka.
Di taman yang dipenuhi pepohonan rindang itu, mereka duduk di bangku panjang yang menghadap ke danau kecil. Risa, dengan nada berhati-hati, membuka pembicaraan tentang Bibinya Rina, keluarga yang dia punya satu satunya. "Melody, bagaimana kabar mu?" Ucapnya
Melody menarik napas dalam, matanya menatap ke permukaan danau yang tenang. "Aku? Seperti yang kau lihat, Risa. Aku sehat sekali. " Jawabnya riang
"Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat gelisah? Apa ada sesuatu yang terjadi, " Tanya melody menatap Risa sepenuhnya
"Eum, apa aku boleh bertanya sesuatu denganmu Mel? Ini bersangkutan dengan suamimu, "
"Suamiku? Kau mengenal suami ku? " Tanya Melody dengan alis berkerut.
"Ah tidak, tapi bibi ku yang mengenalinya. " Jawab Risa cepat
Alis melody kian berkerut semakin dalam. "Bibi mu? Siapa? " Tanya nya penasaran
Risa meneguk ludahnya. Gugup, takut jika melody marah dan tak ingin berteman dengannya lagi. Namun jika ia tidak bercerita maka rasa penasaran dan beban yang ia pikirkan justru semakin kuat untuk memaksanya bertanya
"Rina. Rina adalah bibi ku, jika nama suamimu Arkan berarti melody kau lah yang dimaksud oleh bibiku. "
Wajah Melody mendatar setelah mendengar nama wanita yang sangat tidak ia suka "ya, Arkan Putra Sanjaya adalah nama suamiku. Dan bibimu adalah mantan pacar dari suamiku, bukan? " Ucap Melody dingin
"I-iya, dari mana kau tau? " Jawab Risa terbata bata
Melody mendengus. "Tentu saja aku, beberapa hari yang lalu sempat bertemu nya. Dan dengan sengaja dia mengatakan bahwa ia adalah kekasih suamiku. Padahal kenyataan nya hanya bagian dari masa lalunya. "
"Dan kau tau, kenapa bibimu dan suamiku mereka berpisah? " Tanya Melody dan Risa menggeleng kuat
Melody berdecih. "Bibimu memutuskan hubungan nya hanya karena suamiku lumpuh. "
"Apa! " Ucap Risa kaget
"Kenapa kau terkejut? "
"Aku tidak tau jika itu adalah permasalahan nya. " Jawabnya syok
Mata Melody menatap lurus kedepan Menerawang jauh dan mengingat perkataan Arkan malam itu saat membujuknya.
"Beberapa tahun yang lalu suamiku mengalami kecelakaan yang membuat kedua kakinya lumpuh sementara. Dan disaat suamiku membutuhkan wanita itu disamping nya, tapi justru wanita itu malah meminta putus dan memilih mengakhiri hubungannya bersama suamiku ku, hanya karena wanita itu malu memiliki seorang kekasih yang cacat. "
Risa menutup mulutnya tanpa tak percaya bahwa ini adalah alasan yang sebenarnya mengapa dulu ia diajak pindah ke luar negeri secara mendadak. "Lalu sekarang bibimu meminta mu untuk melakukan apa padaku? " Ucap Melody dan Risa tersedak
"Bagaimana kau bisa tau? " Herannya Risa. padahal ia sama sekali belum berbicara apapun mengenai tujuannya namun ternyata Melody sudah tau terlebih dahulu
Melody tersenyum simpul. "Dari gelagat mu yang tiba tiba bertanya, dan juga sifat bibimu ynag bertemu dengan ku semua sudah terlihat dengan jelas. Katakan pada bibimu untuk menjauhi suamiku. Jika masih nekat juga, jangan salahkan aku bila terjadi sesuatu pada bibimu itu. " Ancam Melody membuat Risa merinding seketika
"Aku akan jaga dan peringati bibiku. " Janjinya dan Melody mengangguk puas
"Ayo kita ke kelas. " Melody beranjak lebih dulu dan Risa mengekori dari belakang.
"Maafkan aku mel, aku tidak bermaksud untuk-"
"Sudah tidak apa apa. Lupa kan saja, aku tidak marah kok. " Ucap Melody yang kembali riang lagi
Risa menghela nafas dengan lega. Ia kira pertanyaan nya tadi membuat Melody tersinggung dan marah padanya. Namun ternyata tidak sama sekali
Perbincangan mereka berlanjut dengan penuh empati dan dukungan. Melody berusaha keras untuk memberikan pandangan positif, sambil sesekali menatap ke danau, mencari kekuatan dari ketenangan alam. Risa mendengarkan dengan seksama, memberikan dukungan moral kepada sahabatnya. Di tengah percakapan, lonceng kampus berbunyi, mengingatkan mereka bahwa waktu untuk memulai pelajaran telah tiba.
Mereka berdua, dengan semangat yang masih membara, beranjak dari taman dan melangkah menuju gedung kuliah. Langkah mereka serempak, simbol solidaritas dan kekuatan persahabatan, siap menghadapi apa pun yang akan datang dalam perjalanan mereka sebagai mahasiswa.
Dilain tempat Arkan sedang duduk di meja kerjanya, terbenam dalam tumpukan dokumen yang harus dia selesaikan hari itu. Tiba-tiba, suara ketukan di pintu ruang kerjanya membuyarkan konsentrasinya. "Masuk!" teriaknya tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer.
Pintu terbuka dan Fajar, sekretarisnya, masuk dengan langkah tergesa-gesa. Di tangannya, tergenggam sebuah berkas tebal yang sepertinya sangat penting. "Pak, ini berkas yang baru saja datang dari Indonesia. Tentang Rina," kata Fajar dengan nada serius.
Arkan menghela napas, menarik berkas tersebut dari tangan Fajar dan mulai membuka lembar demi lembar. Matanya memindai setiap kata dengan cepat, dan semakin dalam dia membaca, semakin keras jantungnya berdegup. Berita tentang kepulangan Rina ke Indonesia dan niatnya yang tersembunyi mulai terkuak.
Wajah Arkan berubah menjadi merah padam, urat-urat di lehernya menegang, tanda kemarahan yang memuncak. "Pantas saja dia berani mengatakan hal itu pada istriku," geram Arkan sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Pokoknya, aku tidak akan membiarkan perempuan itu kembali dan merusak rumah tanggaku!"
Fajar hanya bisa menatap bosnya dengan rasa khawatir, berdiri di sana dengan berkas masih tergenggam di tangan. Dia tahu betul, ketika Arkan marah seperti ini, badai besar pasti akan menyusul.