Viona mendapati sang mama yang tiba-tiba menikah lagi tanpa persetujuan darinya, membuat gadis itu menolak tegas dan menentang pernikahan itu. Ia yang awalnya sangat membenci ayah barunya karena usia sang ayah tiri jauh lebih muda dari ibunya, kini justru kepincut ayah tiri nya sendiri. Yuk kepoin bagaimana ceritanya!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arish_girl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menemukan Viona
"Marco! segera kerahkan anak buahmu untuk mencari Fiona." Titah Steven pada asistennya.
"siap, bos." sahut mark. "ngomong-ngomong, nona Fiona ke mana Bos?" tanya Marco.
"Kalau aku tahu di mana anak itu, ngapain aku nyuruh kamu untuk mencarinya. Dasar bodoh!" gerutu Steven kesal. Marco menanggapi kekesalan bosnya dengan terkekeh serta menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Untuk Apa Lagi kamu masih di sini? Cepat pergi!" usir Steven begitu melihat merco masih berdiam diri di sana.
"hehehe... siap bos!" kata Marco, kemudian segera meninggalkan Steven. Steven tidak hanya menghubungi Sisil, semua teman-teman Fiona Ia cari dan diperiksa langsung ke rumahnya, namun usahanya tidak membuahkan hasil. Steven benar-benar cemas karena dia benar-benar kehilangan jejak Fiona, hingga malam hari larut, Viona belum juga ditemukan. "Fiona Kamu ke mana?" Steven gelisah.
Steven menuju Kantor, ia mendapatkan telepon dari ayahnya.
"ada apa, pa?" tanya Steven begitu sampai di Golden Group.
"kamu kenapa seperti ini? sudah lama kamu tidak aktif di kantor. Kamu berikan semua tanggung jawab kantor pada Marco. Ada apa? apa ada masalah?" tanya Jonathan.
Steven mendengus, mengeluarkan nafas dengan berat.
"apa ini karena Viona?" tebak Jonathan.
"iya, pa." sahut Steven.
"wanita lagi? kemarin kau bersemangat saat bekerja bersama Rosa, sampai kau harus menikah tanpa meminta restu orangtua mu. lalu, datang lagi Viona? Kenapa hidupmu ribet amat sih?"
"entahlah, pa. aku sendiri juga tidak tahu. Dan aku juga tidak mau seperti ini." sahut Steven.
"lalu, siapa lagi Viona ini? kalau memang kamu suka, segera nikahi dia. Jangan menggantungkan harapan pada Monica. Dia sangat berharap banyak padamu." kata Jonathan.
"itu dia, pa. Dia masih sekolah. Dia masih belum lulus." sahut Steven.
"apa? masih sekolah? apa maksudmu?" Jonathan terkekeh merasa lucu dengan ucapan putranya.
"jadi kamu menyukai anak kecil?"Jonathan tertawa lebar.
"pa, Apanya yang lucu, pa?" Steven menautkan alis.
"Steven, umurmu sudah dewasa. Kamu sudah kepala tiga, bisa-bisanya kamu menyukai anak kecil." kata Jonathan tertawa.
"Viona itu anak tiri aku, pa. Anaknya Rossa. Sebelum kepergiannya, Rossa meminta aku agar selalu menjaganya." kata Steven.
Jonathan kembali tertawa. "jadi hanya karena mendiang istrimu memintamu untuk menjaganya, Apakah kau harus menyukainya?" kata Jonathan dengan nada mengejek.
"bukan seperti itu, pa. Tapi, Viona mencintaiku, pa. demikian pula denganku. Gak ada yang salah, kan pa?"
Jonathan tertawa lebar. "entahlah, Stev. Kau pikir saja sendiri. Atau kau bawa dia ke rumah dan ajak kenalan sama papa dan mama. Baru papa akan bisa menyimpulkan seperti apa selanjutnya."
"itu dia masalahnya, pa. Saat ini anak itu menghilang. Dia ngambek, dia cemburu sama Monica. Aku gak tau dia kemana. Aku telepon gak aktif." kata Steven dengan nada frustasi.
Jonathan terdiam, namun di balik diamnya, otaknya berpikir keras untuk membantu permasalahan putranya. "ya sudah, tunjukkan foto gadis itu. Biar aku bantu mencarinya. Papa akan kerahkan tim papa untuk mencari anak itu."
"oke, pa. Terima kasih. Aku pergi dulu." kata Steven berpamitan.
Jonathan memandangi foto Viona yang baru saja di kirimkan lewat ponsel. Gadis itu begitu cantik dan tersenyum lembut. "cantik." gumam Jonathan.
"siapa yang cantik, pa?" Jennie menatap tajam suaminya.
"calon mantu kita." sahut Jonathan.
jennie mengerutkan kening, ia mengambil ponsel suaminya untuk memastikan apa yang dikatakan suaminya. "siapa wanita ini, pa?" tanyanya dengan tatapan penuh curiga.
"namanya Viona. Steven menyukai gadis itu." sahut Jonathan dengan santai.
"lalu, Rossa?" tanya Jennie.
"wanita itu sudah mati, dan gadis itu anaknya. Steven menyukai anak tirinya."
Jennie terkejut dengan mulut terbuka, "hah...! apa gak salah, pa?"
"tentu saja tidak, biarkan Steven menentukan hidupnya sendiri. Dia sudah dewasa."
Jennie hanya menggeleng kepala, "anak dan suami sama saja." gerutunya.
Sudah hampir sehari Viona tak ada kabar, Steven benar-benar frustasi. Ia baru menyadari bahwa kekhawatiran yang ia rasakan bukanlah hanya sekedar rasa cemas seorang ayah pada putrinya, tapi, Steven merasa takut kehilangan yang luar biasa. Steven tak ingin agar Viona jauh darinya. Kerinduannya begitu dalam, sikap ceria, ngambek dan manja, menjadi momen yang tak bisa ia lewatkan begitu saja tanpa gadis itu. Steven benar-benar frustasi, entah kemana ia harus mencari Viona. Teman-teman Viona sudah ia hubungi, namun tak ada yang tahu dimana Viona.
Steven merentangkan tubuhnya di atas kasurnya, dalam hati dia berjanji, jika ia mendapatkan Viona kembali, Ia tak akan pernah membuatnya pergi lagi. "Vio, kembalilah!" desahnya. "apapun yang kau inginkan, aku janji akan selalu menuruti keinginanmu.".
Di tengah kegalauan hatinya, Tiba-tiba ponselnya berdering. Itu suara panggilan dari papanya. Steven lekas mengambil benda pipih itu " iya, halo... ada apa pa?" tanyanya.
"Steven, anak buah papa sudah menemukan Viona. Papa akan share lokasinya. Kau temui dia di sana." kata Jonathan di seberang telepon.
Steven terlonjak kegirangan. Hatinya begitu senang mendengar kabar tentang keberadaan Viona. "baik, pa. Aku akan jemput dia sekarang." katanya begitu antusias.
Steven langsung turun ke bawah, ia langsung tancap gas dan menuju tempat yang sudah di kirimkan papanya. "Vio, dedi akan jemput kamu sekarang juga. Pulanglah, sayang." desisnya.
"Bar? Vio di bar?" ucapnya tak percaya.
Tak mau membuang waktu, Steven berjalan masuk, langkahnya melebar dengan jantung berpacu cepat. Ia sangat khawatir anak itu kenapa napa.
Di dalam bar, Viona duduk di sofa dengan di kelilingi banyak pemuda seusianya. Mereka sama sama mabok. Bahkan ada salah satu di antara rekan Viona sampai merangkul Viona yang sudah hampir tak sadarkan diri. Dua di antara teman Viona sudah berniat akan membawa Viona pergi ke sebuah kamar. Namun Steven keburu datang.
"Vio, gimana kalau kita bersenang-senang di kamar hotel saja?" ajak pemuda itu.
"boleh. Kenapa tidak, aku ini jomblo. Jadi siapapun boleh bawa aku pergi. Tenang saja, tak akan ada yang marah." ucap Viona dengan nada tersendat-sendat karena mabuk.
Dua teman pria itupun memapah hendak membawa Viona pergi. Namun...
"tunggu..!!" pekik Steven