Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
Tiga hari kemudian, sekelompok kuda berlari menuruni perbukitan menuju arah selatan. Di tengah barisan itu, dua penunggang berpakaian sederhana menonjol—bukan karena kemewahan, melainkan karena ketegasan dalam sikap mereka.
Mo Yichen, mengenakan jubah abu-abu tanpa lambang kekaisaran, tampak tenang namun awas. Di sampingnya, Wei Lian mengenakan jubah pendek berwarna biru kelam, rambutnya diikat tinggi dengan hiasan sederhana dari bambu Hanbei.
Mereka tak membawa tanda kekaisaran, tak membawa spanduk, hanya satu burung elang penanda dan beberapa pengawal pribadi: Yan’er, Zhao Jin, dan tentu saja Ah Rui, yang bersikeras membawa wajan besi besar di punggungnya sebagai "senjata utama".
“Aku masih tak paham kenapa kita harus pergi lagi ke Luoyang,” gerutu Ah Rui sambil menahan wajan yang terpantul-pantul di punggung kudanya. “Baru saja suasana tenang, sudah ada surat darurat lagi!”
Wei Lian hanya tersenyum tipis. “Karena dunia tak menunggu kita selesai menyembuhkan luka sebelum memberikan luka baru.”
Mo Yichen menambahkan, “Dan karena jika kita tidak ke sana, darah akan lebih dulu tumpah dari tinta.”
—
Di Luoyang
Kondisi istana dalam genting.
Putra Mahkota Ren Yao telah menghilang sejak menyerang markas militer di wilayah selatan. Satu regu pengawal kerajaan terbunuh, dan lebih dari setengah lumbung senjata terbakar.
Kaisar Liang jatuh sakit karena tekanan batin dan usia. Permaisuri mulai mengambil alih keputusan-keputusan penting bersama Dewan Istana, namun tanpa otoritas penuh, kekuasaan mereka hanya tinggal nama.
Desas-desus mulai merebak. Sebagian percaya Ren Yao tengah mempersiapkan kudeta penuh, sebagian lagi curiga ada kekuatan asing di belakangnya.
—
Sementara itu, di kediaman keluarga Wei di Hanbei, Jenderal Wei memandang anak dan menantunya yang baru berpamitan.
“Kalian yakin ingin terlibat lagi?” tanyanya pada Wei Lian.
Putrinya mengangguk tenang. “Aku tidak kembali untuk kekuasaan, Ayah. Tapi jika ada darah rakyat yang akan ditumpahkan karena kelalaian istana… aku tak bisa tinggal diam.”
Nyonya Zhang menahan tangan suaminya. “Biarkan mereka pergi, tapi kita doakan mereka kembali dengan selamat.”
Jenderal Wei akhirnya mengangguk berat.
“Jika istana kembali mengkhianati kalian… aku sendiri yang akan datang dan merobohkan gerbangnya.”
—
Empat hari kemudian
Mo Yichen dan Wei Lian tiba diam-diam di Luoyang. Mereka menyamar seperti sebelumnya, masuk lewat jalur perdagangan belakang yang hanya diketahui oleh para pejabat tinggi dan utusan rahasia.
Di sebuah rumah penginapan tua yang sudah lama menjadi titik pertemuan jaringan bawah tanah kekaisaran, mereka bertemu dengan salah satu informan penting istana: Kasim Bai.
“Keadaan lebih buruk dari yang digambarkan dalam surat,” bisiknya saat menyajikan teh. “Pasukan loyalis Putra Mahkota mulai menyusup ke lumbung logistik dan pengawal istana. Beberapa menteri mulai goyah. Ada yang bahkan menyuarakan agar takhta diserahkan saja agar menghindari perang saudara.”
“Penyerahan takhta?” Wei Lian menyipitkan mata.
Kasim Bai mengangguk. “Bukan pada Ren Yao. Tapi… pada pihak netral. Dan salah satu nama yang mulai digosipkan…”
Mereka semua menoleh saat Bai menunjuk ke arah Mo Yichen.
“Aku?” Mo Yichen menegakkan punggung.
“Ya. anda dianggap cukup netral, punya kekuatan dari Hanbei, dan yang paling menakutkan bagi mereka anda pernah mengalahkan Ren Yao dalam strategi dan politik. Anda … adalah ancaman dan harapan.”
—
Malam harinya
Wei Lian berdiri di balkon kamar penginapan, memandangi lampu-lampu kota Luoyang yang tampak seperti bintang-bintang jatuh.
Mo Yichen menghampirinya.
“Apa yang kau pikirkan?” tanyanya pelan.
“Dulu, aku ingin menghancurkan kota ini,” jawab Wei Lian tanpa menoleh. “Tapi sekarang… aku hanya ingin menyelamatkan mereka yang belum sempat memilih jalannya sendiri.”
Mo Yichen diam, lalu berkata lembut, “Dan jika kota ini memintamu untuk memimpin?”
Wei Lian menatapnya sekarang. Lama. Dalam.
“Aku tidak ingin menjadi penguasa, Yichen. Tapi aku juga tidak akan membiarkan musuh menjadi penguasa yang lebih kejam.”
Mereka berdiri lama di bawah cahaya remang itu.
Dan Mo Yichen akhirnya berkata pelan, “Kalau begitu, mari kita ciptakan jalan di antara kehancuran ini. Jalan yang bisa ditempuh bersama.”
Wei Lian menatapnya.
“Bersamamu… aku percaya jalan itu bisa ada.”
—
Di tempat lain, di reruntuhan markas selatan, bayangan seseorang berdiri menghadap api unggun. Wajahnya tak terlihat jelas, namun suara gelapnya memecah udara malam.
“Jika mereka berani kembali… maka dunia ini akan kembali berdarah.”
Putra Mahkota Ren Yao belum selesai.
—
Di balik gerbang utama istana yang menjulang, pertemuan darurat Dewan Istana kembali digelar. Para menteri bersuara saling tumpang tindih, saling menyalahkan dan bertahan. Di tengah ruangan, Permaisuri Liang duduk tegar meski terlihat kelelahan. Ia mewakili Kaisar yang masih belum pulih, dan tak sedikit pun menunjukkan kelemahan.
Namun yang membuat suasana berubah hening tiba-tiba, adalah ketika seorang pria bersorban putih dan berjubah sederhana melangkah masuk. Di sisinya, seorang wanita muda berbusana gelap, membawa gulungan dokumen bersigel emas Hanbei.
“Siapa mereka?!” tanya Menteri Dalam Negeri.
“Bagaimana bisa orang luar masuk ke ruang suci ini?” Menteri Urusan Militer bangkit dari duduknya.
Namun suara Permaisuri memotong:
“Duduk semua.”
Ia menatap Mo Yichen dan Wei Lian dengan mata tajam yang menyorot kehati-hatian.
“Katakan siapa kalian… dan kenapa datang.”
Mo Yichen berdiri di tengah, tak memperkenalkan diri sebagai Kaisar. Tapi ia mengangkat surat dari Menteri Agung sebelumnya.
“Kami datang bukan membawa pedang, melainkan peringatan. Ada gerakan besar yang tidak hanya mengancam takhta… tetapi juga rakyat Luoyang sendiri.”
Wei Lian melanjutkan, “Putra Mahkota bukan sekadar menghilang. Ia membentuk kekuatan baru di selatan, menyusup ke gudang pangan, menghasut prajurit muda, dan… mencoba menggulingkan sistem dari dalam. Jika tidak dihentikan, kekaisaran akan terpecah.”
Beberapa menteri saling berpandangan. Tak sedikit dari mereka yang sebelumnya bersimpati pada Ren Yao. Tapi kini, dengan kehadiran dua orang asing dan satu di antaranya dikenal sebagai anak dari Jenderal yang dulu difitnah keraguan kembali mengisi udara.
—
Salah satu menteri tua tiba-tiba angkat suara.
“Apa jaminan kami bisa percaya pada orang Hanbei? Siapa yang bisa memastikan kalian bukan sekutu dari musuh yang baru?”
Wei Lian menyipitkan mata. Tapi Mo Yichen hanya berkata tenang, “Kalau aku ingin menguasai Luoyang, aku tidak akan datang diam-diam dengan dua orang pengawal dan satu juru masak.”
Ah Rui yang berdiri di pintu langsung melambai riang. “Aku bukan juru masak. Aku pemilik senjata bulat besi paling berbahaya alias… wajan!”
Semua sempat terdiam melihat ekspresi polos Ah Rui, sebelum beberapa menteri yang sudah lelah dengan ketegangan politik tak sengaja tertawa kecil.
Bibir Permaisuri melengkung halus. Namun ia tak tertawa.
Ia menatap Wei Lian.
“Kau yang dulu menuduh putraku. Sekarang kau ingin kami memercayaimu lagi?”
Wei Lian menatap balik, tanpa gentar.
“Karena aku tidak datang untuk dipercaya. Aku datang untuk mencegah pertumpahan darah.”
—
Setelah sidang selesai, malam hari
Mo Yichen dan Wei Lian kembali ke penginapan mereka, namun suasana sudah berubah. Yan’er menyambut mereka dengan ekspresi serius.
“Barusan… ada orang mencurigakan di sekitar halaman belakang.”
Zhao Jin menambahkan, “Aku rasa mereka memata-matai kita. Dan surat-suratmu dari Hanbei dibuka sebagian.”
Mo Yichen mengangguk. “Mulai sekarang, jangan percaya siapa pun kecuali yang ada di ruangan ini.”
Wei Lian menghela napas. “Kita harus bergerak lebih cepat. Sebelum Ren Yao menyerang lagi.”
Namun tepat saat itu…
Sebuah ledakan kecil terdengar dari dapur.
“Waduh!!” suara Ah Rui memecah malam, “aku cuma mau menggoreng bakpao Hanbei!! Tapi kenapa dapurnya meledak?!”
Wei Lian mendekat cepat. “Kau apakan dapurnya?!”
Ah Rui mengangkat satu kantong tepung dan satu botol bubuk mesiu istana.
“…kupikir ini garam…”
Semua yang mendengar langsung terduduk lemas.
“Mulai sekarang… kau dilarang masak!” teriak Yan’er.
—
Keesokan harinya
Kabar munculnya "utusan netral dari Hanbei" menyebar ke seluruh Luoyang. Namun bersamaan dengan itu, penyusupan mulai meningkat.
Zhao Jin membawa laporan baru:
"Ada beberapa nama menteri yang dulunya menyokong Ren Yao mulai bergerak lagi. Satu di antaranya sudah mengalihkan logistik pasukan ke luar kota. Tapi... ada satu nama yang mencurigakan: Menteri Gao. Dia... dulu pernah menyelamatkan Jenderal Wei, tapi sekarang... justru menghilang dari daftar hadir sidang istana."
Wei Lian langsung tegang.
“Jika benar dia berpihak pada Ren Yao… maka serangan berikutnya akan terjadi dari dalam, bukan dari luar.”
—
Di tempat lain, di kamp selatan
Ren Yao berdiri di depan meja peta besar. Di belakangnya, Menteri Gao berdiri diam.
“Luoyang sedang terbagi. Dan para tua bangka itu sedang bingung.”
Ren Yao menggenggam hiasan naga emas kecil—lambang tahta.
“Biar mereka percaya bahwa aku hilang.”
Ia memandang Menteri Gao.
“Dan saat mereka percaya orang Hanbei datang sebagai penyelamat… kita akan tunjukkan, siapa sebenarnya pemilik sah dari negeri ini.”
Bersambung