Galih adalah seorang lelaki Penghibur yang menjadi simpanan para Tante-tante kaya. Dia tidak pernah percaya Cinta hingga akhir dia bertemu Lauren yang perlahan mulai membangkitkan gairah cinta dalam hatinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAAB 29
Malam telah larut saat Lauren berdiri di depan pintu apartemen ibunya. Tangannya sempat ragu untuk mengetuk. Wajahnya kusut, matanya sembab, dan tubuhnya sedikit gemetar karena dingin serta luka batin yang belum sempat reda.
Dengan satu tarikan napas panjang, Lauren akhirnya mengetuk pintu itu. Tak lama, pintu terbuka… dan di baliknya berdiri Tante Liana.
Wajahnya sempat terkejut melihat anaknya berdiri di sana dalam keadaan kacau. Namun naluri seorang ibu lebih kuat dari rasa kaget atau kecewa apa pun.
“Lauren…” bisik Tante Liana.
“Maaah…” suara Lauren pecah. Air matanya mengalir deras begitu melihat wajah ibunya. “Aldo… dia ternyata… selama ini selingkuh, Mah…”
Tanpa berkata apa-apa, Tante Liana langsung menarik putrinya ke dalam pelukannya. Ia memeluk Lauren erat, seolah ingin memeluk semua rasa sakit yang ada dalam hati anaknya. Lauren menangis dalam pelukan itu, seakan tak mampu lagi menahan semua beban yang menyesakkan dadanya selama ini.
Setelah beberapa saat dalam pelukan hangat itu, Tante Liana membimbing Lauren ke dalam dan mempersilahkannya duduk di sofa. Ia berjalan ke dapur sebentar dan kembali dengan segelas air putih.
Lauren meminumnya perlahan, mencoba menenangkan diri.
“Aku… aku salah, Mah…” ucapnya dengan suara serak. “Maaf… aku nggak percaya sama Mama… Aku bodoh, aku butain mata aku sendiri…”
Tante Liana duduk di sampingnya dan kembali memeluknya, kali ini lebih tenang, namun sama dalamnya. “Nak… semua orang bisa salah… Mama juga pernah salah dalam hidup Mama. Tapi sekarang kamu udah tahu kebenarannya. Itu yang penting…”
Lauren menyandarkan kepalanya di bahu ibunya. Tangisnya tak lagi sekeras tadi, tapi masih mengalir perlahan seperti hujan gerimis.
“Kamu tinggal di sini dulu ya, Nak… sampai kamu benar-benar pulih. Mama ada di sini… selalu ada buat kamu.”
Lauren mengangguk pelan. “Iya, Mah… aku capek. Aku cuma mau dekat Mama…”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lauren merasa aman. Di tempat yang benar. Dalam pelukan seorang ibu yang mencintainya tanpa syarat.
6Berikut versi naratif dari adegan haru dan hangat antara Lauren dan ibunya:
---
Cahaya matahari pagi mengintip malu-malu melalui sela tirai jendela. Burung-burung berkicau di kejauhan, namun suasana apartemen terasa hening… hingga suara muntah-muntah dari kamar mandi memecah keheningan itu.
Lauren yang terbangun karena suara tersebut segera bergegas keluar dari kamar. Dengan panik, ia mengetuk pintu kamar mandi.
“Maaah… Mama kenapa?” tanyanya cemas.
Tak lama, pintu terbuka sedikit. Terlihat Tante Liana berdiri sambil memegang perutnya, wajahnya pucat. “Nggak papa, Nak… cuma masuk angin, mungkin. Mama mual sedikit aja…”
Lauren langsung menyanggah tubuh ibunya dengan hati-hati. “Mama istirahat dulu deh, aku ambilin air hangat, ya?”
Namun Tante Liana tersenyum kecil. “Nggak usah heboh gitu. Mama udah mendingan kok… Sebentar lagi juga hilang rasa mualnya.”
Setelah beberapa saat, rasa mual itu perlahan reda. Untuk mengalihkan suasana, Tante Liana mengajak Lauren ke dapur.
“Ayo, kita masak bareng. Udah lama ya kita nggak masak berdua…” ucapnya sambil mengambil apron dan memberikannya ke Lauren.
Lauren tersenyum—senyum yang sudah lama tidak muncul dengan tulus. “Iya, terakhir kali waktu aku masih SD, ya…”
Keduanya mulai sibuk di dapur. Lauren memotongi wortel dan kentang, sesekali mencuri bawang dan membuat wajahnya meringis karena pedas. Tante Liana dengan cekatan meracik bumbu, aroma tumisan mulai menguar mengisi udara apartemen dengan kehangatan yang nyaris terlupakan.
Suasana pagi itu terasa begitu damai. Tawa kecil mereka kembali terdengar saat Lauren tanpa sengaja menjatuhkan satu irisan tomat ke lantai dan menginjaknya.
“Dulu kamu juga begini, berantakan tapi semangat masaknya luar biasa,” kata Tante Liana sambil tertawa kecil.
Lauren ikut tertawa. “Dan Mama tetap makan masakan aku, walaupun gosong…”
“Mama makan karena masakan kamu yang gosong itu… punya rasa sayang,” balas ibunya pelan.
Mereka duduk berdua di meja makan. Menyantap masakan buatan mereka sendiri, sambil mengobrol tentang masa lalu—tentang boneka kesayangan Lauren, sepeda pertamanya, dan saat pertama ia belajar masak telur dadar.
Hari itu, untuk pertama kalinya sejak hatinya patah, Lauren tertawa tanpa rasa perih. Tangis dalam dirinya pelan-pelan mereda, digantikan oleh hangatnya pelukan masa lalu yang kini hadir kembali dalam bentuk ibunya.
Ia menatap wajah ibunya yang meski sedikit lelah, tapi selalu tampak kuat. Dalam hati, Lauren bersyukur… karena dari semua luka yang ia terima, ia masih memiliki satu tempat yang selalu bisa menyembuhkan: pelukan seorang ibu.
Sejak pagi itu, dunia Lauren perlahan mulai berubah. Bukan karena luka hatinya telah sembuh sepenuhnya, tapi karena ia menemukan pelukan yang mampu meredakan semua luka itu—pelukan ibunya sendiri.
Hari-hari berikutnya menjadi momen kebangkitan bagi Lauren.
Mereka mulai dari hal-hal kecil—belanja bahan makanan di pasar tradisional. Lauren tertawa saat ibunya menawar harga ikan dengan gaya yang khas dan galak, membuat para pedagang pun tersenyum kecut tapi pasrah. “Mama tuh bisa jadi marketing sekaligus preman pasar,” canda Lauren sambil membawa kantong belanjaan.
Setelah belanja, mereka mencicipi berbagai makanan di tempat makan yang sedang viral. Dari roti jepang isi matcha di sudut jalan kota, sampai kopi susu yang katanya bikin patah hati sembuh seketika.
“Nih, katanya bisa menyembuhkan luka hati,” kata Tante Liana sambil menyerahkan secangkir kopi pada Lauren.
“Kalau yang nyembuhin hatiku... Mama sendiri, sih,” jawab Lauren pelan dengan senyum penuh makna.
Hari berikutnya, mereka mengunjungi tempat-tempat wisata yang dulu pernah mereka datangi saat Lauren kecil. Seperti ke danau kecil di luar kota tempat mereka pernah piknik bertiga—dulu bersama Papa, yang kini tak lagi ada. Lauren memejamkan mata, membiarkan angin menyapu rambutnya. Tangannya menggenggam tangan ibunya.
“Aku kangen suasana kayak gini, Ma.”
Tante Liana memeluk Lauren dari samping. “Mama juga. Dan Mama janji, mulai sekarang… kita akan lebih banyak punya waktu seperti ini.”
Mereka juga berjalan-jalan ke galeri seni, tempat yang dulu selalu membuat Lauren terpesona. Di depan sebuah lukisan besar, Lauren menatap warna-warna cerah yang menyatu dalam harmoni.
“Lukisan ini kayak hidupku, ya… Awalnya kacau, nggak jelas arahnya… tapi ternyata tetap bisa jadi indah,” gumamnya.
Tante Liana menoleh ke arah Lauren, matanya berkaca-kaca. “Itulah hidup, Nak. Luka, kebodohan, marah, kecewa… semuanya bagian dari lukisan besar. Tapi warna paling penting, buat Mama, itu kamu.”
Hari-hari itu bukan hanya tentang tempat-tempat yang mereka kunjungi, tapi tentang hati yang mulai saling terbuka, luka yang mulai sembuh, dan ikatan ibu-anak yang kembali menyatu.
Lauren, untuk pertama kalinya setelah sekian lama… merasakan kasih sayang yang utuh dari ibunya.