Hail Abizar, laki-laki mapan berusia 31 tahun. Belum menikah dan belum punya pacar. Tapi tiba-tiba saja ada anak yang memanggilnya Papa?
"Papa... papa...!" rengek gadis itu sambil mendongak dengan senyum lebar.
Binar penuh rindu dan bahagia menyeruak dari sorot mata kecilnya. Pria itu menatap ke bawah, terpaku.
Siapa gadis ini? pikirnya panik.
Kenapa dia memanggilku, Papa? Aku bahkan belum menikah... kenapa ada anak kecil manggil aku papa?! apa jangan- jangan dia anak dari wanita itu ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih
Evelyn terduduk di lantai kamar, punggungnya bersandar pada dinding. Pintu masih terkunci, tapi hatinya terasa terbuka lebar untuk rasa takut, yang berebut masuk menguasai dirinya.
Ruby masih ada di luar sana, hanya beberapa meter darinya. Dan Cala... Cala terlalu berharga untuk menjadi korban dari ego seseorang yang bahkan tidak tahu namanya. Tidak, tidak boleh. Evelyn akan melakukan apapun untuk melindungi Cala.
Jemari wanita itu menggigil. Lambungnya belum terisi apapun, dia bahkan tak ingat untuk makan. Bahkan tas yang ia bawa dari rumah sakit, masih tergeletak di lantai ruang tamu. Dada Evelyn terasa sesak. Penuh. Membuatnya kesulitan bernafas, ingin rasanya menghubungi seseorang. Tapi siapa?
Hail?
Evelyn menggigit bibir. Ia takut.
“Kalau Hail tahu… dia bukan ayah Cala… apa dia masih mau dengannya? Apa masih sesayang itu dengan Cala?
Pikirannya berputar. Berbagai pertanyaan memenuhi otaknya. Rasa takut dan gelisah mencengkram kuat, menyesakkan. Ia tahu betul siapa Ruby. Kakaknya itu bukan hanya sekadar wanita yang bermasalah. Dia berbahaya. Selalu mendapat apa yang dia mau, melakukan apapun untuk mendapatkannya. Termasuk sekarang.
Cala.
Evelyn menunduk, menekan wajahnya ke lutut. Napasnya tersendat. Hening kamar itu mencekiknya perlahan. Udara di sekitarnya begitu sesak. Aroma tipis alkohol semakin membuat Evelyn tidak nyaman. Tiba-tiba ponselnya berdering.
Evelyn mengangkat wajahnya, melirik sekilas pada benda pipih yang tergeletak di sampingnya. Nama Hail muncul di layar. Tangannya gemetar saat mengangkat. Dengan harap yang berselimut. ragu, ia menggeser logo hijau di layar.
“Hail…”
Suaranya pelan, memanggil nama pria itu bahkan sebelum Hail bicara. Hail, tertegun. Suara lirih itu terdengar penuh pilu.
Hail…” Bergetar lebih hebat.
“Hail…”
Seolah hanya bisa menyebut nama itu—nama yang menjadi satu-satunya tempat berlindungnya saat ini. Dari seberang, Hail terdiam beberapa detik.
Suaranya terdengar pelan, tapi tegas.
“Aku ke sana sekarang.”
“Jangan…” bisik Evelyn cepat, meski air matanya tak bisa berhenti jatuh.
“Kau tidak bisa melarangku.”
"Tapi-"
“Evelyn,” potong Hail. “Aku nggak tahu kenapa kamu nangis kayak gitu. Tapi aku tahu satu hal—aku nggak akan tenang sebelum lihat kamu lagi.”
“Tapi aku—”
“Nggak ada tapi."
Suaranya dalam, ada tekanan kuat di balik nada tenangnya.
“Aku nggak peduli kamu bilang jangan, nggak peduli kamu usir aku sekalipun. Aku akan tetap datang.Tunggu aku.”
Telepon terputus.
Evelyn menggenggam ponsel itu erat-erat, seolah suara Hail tadi jadi jangkar satu-satunya yang menahannya agar tak karam. Tapi jauh di lubuk hatinya, rasa takut masih merajam tajam.
Bagaimana kalau Hail tahu kebenaran?
Bagaimana kalau… dia meninggalkan mereka?
Sementara itu, Ruby masih duduk santai di sofa, kaki menyilang, sebatang rokok menyala di tangannya yang berlapis cat kuku merah menyala. Di tangan satunya, ponsel terangkat di telinga.
“Tidak secepat itu? Dia pulang. Aku sedang menunggunya. Aku yakin—”
Ucapannya terhenti saat melihat seorang pria berambut blonde, bertubuh tegap dan kekar, membuka pintu yang memang tidak di kunci. Pria melangkah masuk, tapi langkahnya terhenti kala melihat Ruby yang menatapnya
Mata Ruby yang tadinya dingin berubah liar.
Seolah sedang menatap mangsa yang lezat.
"Kita lanjutkan nanti." Ia segera mematikan teleponnya.
Ponselnya dilempar begitu saja ke meja.
“Apa kau teman Eve? Hm … biar aku tebak, kau laki-laki baik hati yang mengantarkan adik manisku pulang tadi siang kan?"
Ruby berdiri perlahan. Senyum simpul menghias bibirnya yang dipoles merah marun.
Ia berjalan mendekat dengan langkah menggoda, aroma parfum tajam menguar seiring gerak tubuhnya.
“Ternyata memang semenarik yang kuperkirakan. Bahkan lebih.”
Tangannya terulur, menyentuh lengan Hail dengan lembut.
“Sayang sekali kau cuma dipakai Evelyn. Dia tidak sepolos yang kau kira, apa kau tahu?”
Hail tak menjawab.
Matanya menatap Ruby, datar. Tanpa emosi.
Begitu tangan Ruby hendak menyusuri dada Hail, pria itu mengangkat tangannya… dan mendorong tubuh Ruby menjauh. Tidak keras, tapi cukup untuk membuat wanita itu terhuyung kecil.
Ruby membeku.
“Jangan sentuh aku.”
Suara Hail rendah, dingin. Tatapan matanya tajam seperti pisau yang siap menghunus.
“Jangan pernah samakan dirimu dengan Evelyn.”
Ruby terdiam. Wajahnya memerah, tapi bukan karena malu. Tangannya meremas kuat tepian gaun yang ia pakai.
Marah. Egonya yang selama ini selalu ia junjung tinggi, ternoda.
“Aku Ruby! Semua pria selalu—”
“Aku pengecualian dari semua pria.” Hail memotong.
“Kau bukan siapa-siapa.”
Ruby menahan napas, rahangnya mengeras, menatap Hail penuh amarah. Detik berikutnya, ia menyambar tasnya dan berjalan cepat keluar, tubuhnya hampir menabrak pintu saat hendak membuka.
Hail hanya melirik sekilas, dia tidak perduli wanita gatal itu mau kemana. Begitu pintu tertutup, suasana rumah menjadi hening. Hail berjalan tergesa ke arah kamar. Tangan besar Hail memutar handle pintu tapi sayangnya, pintu terkunci dari dalam.
"Eve, buka pintunya. Ini aku." Hail mengetuk pintu pelan penuh harap.
Ia merasa lega saat mendengar suara kunci yang diputar. Hail mencoba membuka pintu lagi, kali ini berhasil.
"Eve!" Hail mendorong pintu cepat, berlari menghampiri Evelyn duduk di lantai, memeluk lututnya dengan tubuh sedikit gemetar.
Evelyn menoleh. Pandangan mereka langsung bertemu. Mata wanita itu merah, napasnya pendek. Ada kelegaan yang luar biasa saat Evelyn melihat Hail, namun ada rasa takut yang turut terselip didalamnya. Takut kehilangan. Takut dijauhi.
Tanpa berkata apa-apa, Hail menghampirinya… lalu menarik tubuh wanita itu ke pelukannya.
Pelukan yang hangat.
Pelukan yang tak bertanya, tak menyalahkan, tak menuntut penjelasan.
Hanya tempat pulang.
Tubuh wanita itu gemetar, tangisnya seketika pecah. Bukan karena takut… tapi karena tahu, Hail belum pergi. Hail masih di sini bersamanya.