Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 11
Tahukah kau, angin musim dingin entah kenapa sedikit terasa lebih hangat hari ini, meskipun salju belum mencair, dan jemariku masih ragu
menyentuh pagi tanpa lapisan sepi.
Langit masih kelabu, langkahku pun masih pelan di antara bayang dan kenangan yang belum juga selesai kutata.
Tapi entah kenapa. secangkir teh, tawa yang datang tanpa izin, dan seseorang yang tak pernah menyerah membuatku berpikir.
Mungkin, hanya mungkin, hatiku belum, tapi bukan berarti tak akan pernah.
****
Pintu kaca kafe terbuka dengan dentingan kecil. Angin musim dingin menyusup masuk sejenak sebelum ditutup kembali. Lara, yang sedang menyusun croissant di etalase, menoleh tanpa banyak harapan. Tapi wajah itu, seperti biasa, membawa energi yang berbeda.
“Mademoiselle Lara, aku datang lagi! Katakan padaku, apakah hatimu sudah sedikit lebih hangat hari ini?” seru pria itu sambil melepas beanie-nya dengan gaya yang, entah bagaimana, terlihat seperti pertunjukan panggung. ( Beanie itu adalah kupluk, yang di pakai saat musim dingin, kalau di Indonesia, yang kadang di pake orang buat ronda, atau di pake maling tapi ketutup semua satu muka😁)
Lara mengerjap, menahan senyum. “Kau benar-benar punya niat ya datang tiap hari cuma untuk mengganggu pekerjaanku.”
“Apa boleh buat. Aku terobsesi. Bukan pada kopi di sini, tapi pada baristanya,” katanya sambil menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi dramatis.
Bella, yang sedang mengisi teko di belakang, menoleh dengan senyum geli. “Tuan Adrian, jangan membuat Lara kabur ya.”
“Kalau dia kabur, aku juga ikut. Aku bisa jadi porter atau supir salju,” jawab pria itu cepat.
Catatan: (Porter adalah orang yang membantu membawakan barang milik orang)
Namanya Adrian, seorang ilustrator lepas asal Belgia yang sudah tinggal di Annecy empat tahun belakangan. Selalu memakai syal berwarna cerah dan jaket kebesaran, serta punya kebiasaan aneh menulis puisi dadakan di serbet kafe.
“Croissant satu, dan, mungkin senyuman dari Lara dua,” katanya sambil meletakkan dua euro dan sekeping perak kecil.
“Itu koin keberuntungan dari Aix-les-Bains. Barangkali bisa meluluhkanmu.”
Catatan: (Aix-les-Bains. Adalah nama kota resor spa yang berada di prancis tenggara.)
Lara mengambil koin itu, memandangnya lalu menggeleng sambil tersenyum tipis.
“Terlalu ringan untuk harga sebuah hati.”
Adrian mendekat, menyandarkan siku di meja. “Lalu aku harus bayar pakai apa? Aku punya... tawa, kesabaran, dan sedikit kemampuan menggambar kucing yang jelek.”
Bella tertawa keras kali ini.
“Kau benar-benar tidak menyerah ya, Adrian.”
“Non,” jawabnya mantap.
“Karena aku percaya, bahkan hati yang paling beku pun bisa mencair dengan cukup matahari dan teh melati.”
Lara tak menjawab, tapi pipinya sedikit memerah. Ia membalik badan, lalu sibuk dengan mesin espresso.
Adrian memperhatikan punggung Lara yang sibuk mengatur tuas mesin espresso. Ia menyipitkan mata, lalu mengambil serbet kosong dari meja dan mulai mencoret-coret dengan cepat.
Beberapa detik kemudian, ia melambai-lambaikan serbet itu ke arah Bella, seperti memperlihatkan lukisan masterpiece.
“Lihat ini, Bella! Aku baru saja menggambar potret Lara!”
Bella menghampiri dan menatap gambar itu, sebuah sketsa sederhana dengan bentuk wajah lonjong, dua titik mata, dan rambut yang menjuntai, mirip mie spaghetti.
“Adrian...” Bella mencoba menahan tawa. “Ini bukan potret. Ini, ini seperti alien yang lagi bingung di pasar ikan.”
Adrian mengangkat bahu, tidak tersinggung sedikit pun.
“Alien itu sedang jatuh cinta, makanya ekspresinya bingung. Cinta membuat semua makhluk terlihat aneh, bahkan alien.”
Lara yang mendengar itu menoleh sambil mengangkat alis. “Jadi sekarang aku alien?”
“Alien paling cantik dari Galaksi Croissant yang sedang menjalankan misi rahasia di Café de Lune,” jawab Adrian santai, lalu menaruh sketsa itu di samping cangkir kopinya.
“Kalau suatu hari kau pergi jauh, setidaknya aku punya potret wajahmu. meski cuma mirip tiga puluh persen.”
Lara terkekeh, akhirnya tak bisa menahan tawa. “Yakin itu mirip Lara tiga puluh persen?”
Adrian mendekat sedikit, dengan senyum penuh percaya diri. “Oke, dua puluh persen. Sisanya... biar aku gambar nanti, waktu kau mulai tersenyum padaku tanpa sibuk.”
Lara cepat-cepat memalingkan wajah, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.
"Adrian, itu bahkan lima satu persen pun tidak mirip Lara." Protes Bella.
"Anggap saja mirip." Kata Adrian.
Adrian lalu menyelesaikan tegukan terakhir kopinya, lalu berdiri sambil merentangkan tangan seperti aktor teater yang baru selesai monolog.
“Karena aku merasa sudah membuat dua hati, setidaknya agak lebih hangat pagi ini, meskipun satu di antaranya tetap bersuhu minus lima,” katanya sambil melirik Lara yang tengah memeriksa stok kue dengan wajah datar khasnya.
Bella mendesah sambil menutup teko. “Adrian, jangan bilang kau mau baca puisi lagi.”
“Tidak, tidak.” Adrian mengangkat tangan, seolah membela diri. “Kali ini aku ingin mengajak kalian jalan-jalan. Ada pasar vintage akhir pekan ini di Talloires. Buku-buku tua, cokelat panas, dan konon ada peramal yang bisa menebak perasaanmu dari caramu menggenggam cangkir.”
Bella tertawa geli. “Itu terdengar sangat, benar-benar tidak masuk akal... Adrian.”
“Terima kasih. Aku anggap itu pujian,” sahutnya santai.
“Dan tenang saja, kita tak perlu bawa mobil. Aku tahu kita bertiga sama-sama mengandalkan sepatu dan keberuntungan.”
“Jadi?” tanya Lara tanpa mengalihkan pandangan dari nampan pastry. Suaranya datar seperti biasa, tapi tak ada penolakan di dalamnya.
“Kita naik bus,” jawab Adrian antusias. “Bus antarkota dari terminal jam sembilan pagi. Kursinya empuk, jendelanya besar — sangat cocok untuk menatap salju sambil berpura-pura menjadi tokoh utama dalam kisah cinta yang belum dimulai.”
Lara menatapnya sejenak, lalu kembali ke pekerjaannya.
“Selama kau tidak duduk di sebelahku dan membaca puisi sepanjang jalan, aku pertimbangkan.”
Bella menepuk meja sambil tertawa. “Dia pertimbangkan! Itu artinya kita punya harapan!”
Adrian mengangkat tangan ke dada seperti habis ditembak oleh panah harapan.
“Tertulis di langit musim dingin, Lara mempertimbangkan sesuatu. Ini hari bersejarah!”
Lara tetap dengan wajah serius, tapi kali ini, ujung bibirnya sedikit terangkat.
Adrian bersandar di meja dengan gaya santai yang dibuat-buat, lalu perlahan mencondongkan tubuhnya ke arah Lara, yang masih sibuk memoles gelas, meski ia tahu benar pria itu berdiri di sana dengan rencana aneh lainnya.
“Lara…” katanya pelan, menggantungkan nada suaranya seperti awal lagu lama.
“Bisakah kamu memberikan kepastian yang nyata, bukan hanya sekadar pertimbangan? Sabtu ini, izinkan aku menculikmu sebentar saja dari dunia croissant dan espresso. Hanya sehari. Ke Talloires. Demi cokelat panas, buku tua, peramal, dan mungkin, sedikit kebahagiaan tak terduga.”
Ia lalu menaruh tangan di dada, pura-pura tersiksa oleh perasaannya sendiri.
“Kalau kau tak ikut, hatiku akan membeku lebih cepat dari selokan Annecy.”
Lara menoleh pelan, menatapnya dengan wajah datar.
“Kau membandingkan hatimu dengan selokan?”
Adrian mengangkat telunjuk. “Tapi selokan di Annecy itu romantis, Lara. Airnya bening. Dan dingin, sangat dingin, seperti tatapanmu setiap kali aku mencoba berpuisi.”
Bella tertawa dari belakang. “Astaga, Adrian...”
Tapi Adrian belum selesai. Ia tiba-tiba mengangkat serbet dan meletakkannya di kepala seperti mahkota.
“Aku tidak datang sebagai pengunjung kafe hari ini,
aku datang sebagai pujangga patah hati,
yang hanya ingin satu hal:
teman perjalanan... yang bisa membuat pasar tua terasa seperti kastil di awan.”
Lara akhirnya menghela napas, mencoba menyembunyikan senyum kecil yang mulai mengancam bibirnya.
“Kau ini benar-benar…”
Adrian langsung memotong, “Jadi? Angguk saja. Atau kedip dua kali kalau itu caramu bilang ‘ya’.”
Lara mengangkat alis.
“Satu syarat.”
“Aku dengar, aku tahu, tak ada puisi di bus, kan?” Adrian mengangkat tangan seperti bersumpah. “Aku janji. Mulutku akan terkunci,
meski hatiku... tetap membaca soneta diam-diam.”
Lara tertawa kecil, akhirnya.
******
Untuk readers selamat datang di karya baru author, untuk yang sudah membaca. Terima kasih banyak, jangan lupa support author dengan like, komen dan vote cerita ini ya biar author semangat up-nya. Terima kasih😘😘😘
Aku udh mmpir.....
Dr awl udh nysek,kbyang bgt skitnya jd lara....d khianati orng2 trdkatnya,apa lg dia tau kl dia cm ank angkat.....btw,hkum krma udh mlai dtang kya'nya....mnimal tau rsanya khilangn dn smga mrsakn pnyesaln s'umr hdp.....
sekarang nikmati saja karma kalian