Nayla mendapatkan kabar dari Tante Ida agar pulang ke Indonesia dimana ia harus menghadiri pernikahan Anita.
Tepat sebelum acara pernikahan berlangsung ia mendapatkan kabar kalau Anita meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah kepergian Anita, orang tua Anita meminta Nayla untuk menikah dengan calon suami Anita yang bernama Rangga.
Apakah pernikahan Rangga dan Nayla akan langgeng atau mereka memutuskan untuk berpisah?
Dan masih banyak lagi kejutan yang disembunyikan oleh Anita dan keluarganya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Di tengah malam yang sunyi, Rangga terbangun karena mendengar suara lirih dari sisi tempat tidur.
“Nggak… jangan tinggalin aku, Mas Jati… Mas Jati…”
Nayla mengigau, tubuhnya gelisah dan keningnya mulai berkeringat meski sudah dikompres.
Rangga menoleh, dadanya terasa sesak saat mendengar nama itu lagi dari bibir istrinya.
Ia tahu luka Nayla belum pulih, dan kini bayang-bayang Jati kembali hadir dalam tidurnya.
Perlahan, Rangga menggenggam tangan Nayla yang dingin, menatap wajah istrinya yang masih tampak letih meski terlelap.
“Sayang… kamu nggak sendiri. Aku di sini,” bisiknya pelan, seolah mencoba menenangkan mimpi buruk yang menyelimuti pikiran Nayla.
Namun dalam hatinya, Rangga menyadari jika cinta Nayla untuk Jati begitu dalam. Dan ia harus lebih sabar, lebih kuat… jika ingin menyembuhkan hati istrinya yang patah.
Malam itu, Rangga duduk di sisi tempat tidur, memandangi wajah Nayla yang masih terlihat pucat.
Ia tidak berniat memejamkan mata sedikit pun. Hatinya terlalu gelisah untuk beristirahat.
Tangannya menggenggam tangan Nayla erat, seolah mencoba mentransfer ketenangan dan kekuatan.
Lampu tidur yang temaram menyinari wajahnya yang mulai tampak lelah, tapi pandangannya tetap tak lepas dari istrinya.
Sesekali ia mengelus rambut Nayla dengan lembut, dan membenarkan selimut yang tersingkap karena tubuh Nayla gelisah dalam tidurnya.
Meski belum pulih sepenuhnya, Nayla adalah seluruh hidupnya sekarang.
"Maafkan aku... Aku nggak bermaksud melukai kamu," gumam Rangga lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam suara detik jam dinding.
Ia menarik napas dalam-dalam, bertekad untuk menebus kesalahan dan membuktikan bahwa ia bisa menjadi tempat pulang Nayla bukan bayangan siapa pun, tapi nyata dan sepenuhnya untuknya.
Hingga fajar mulai menyingsing, Rangga masih setia di sisi Nayla. Menemani, menjaga, dan mencintai dalam diam.
Pagi itu, sinar matahari lembut menyusup melalui celah tirai jendela.
Nayla perlahan membuka matanya, pandangannya masih buram oleh sisa lelah dan pening di kepalanya.
Ia mengerjap beberapa kali, lalu matanya tertuju pada sosok di sampingnya.
Rangga tertidur dengan kepala sedikit tertunduk, satu tangannya masih menggenggam erat tangan Nayla.
Wajahnya tampak lelah, tapi ada ketenangan yang aneh di sana seolah seluruh beban semalam masih menggantung, namun hatinya tetap memilih untuk bertahan di sisi Nayla.
Air mata menggenang di pelupuk mata Nayla. Hatinya remuk oleh rasa bersalah, bingung, dan sesak yang belum sepenuhnya pergi.
Ia tahu semalam ia kehilangan kendali, namun melihat suaminya tetap setia di sisinya... itu membuat dadanya semakin sesak.
Pelan, ia menggerakkan jari-jarinya, menggenggam balik tangan Rangga.
Rangga terbangun perlahan, matanya langsung menatap Nayla yang kini sudah sadar.
“Kamu bangun…” ucap Rangga dengan suara serak.
Nayla menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata lirih, “Mas tetap di sini semalaman?”
Rangga hanya mengangguk, menggenggam tangan Nayla lebih erat.
“Aku nggak akan ke mana-mana. Aku di sini... untuk kamu.”
Dan pagi itu, untuk pertama kalinya setelah sekian waktu, Nayla merasa sedikit hangat di hatinya.
Masih ada luka, masih ada bayang-bayang masa lalu tapi tangan yang menggenggamnya saat ini... nyata.
Nayla menarik napas dalam-dalam, matanya berkaca-kaca menatap wajah Rangga yang penuh penyesalan.
Suasana di kamar itu terasa begitu hening, hanya terdengar suara napas mereka yang saling beradu dalam keheningan.
“Mas, kita pisah saja ya,” suara Nayla bergetar, penuh kepedihan.
“Aku lelah, Mas. Selama ini aku merasa Mas tidak pernah benar-benar mencintai aku. Semua yang aku harapkan... semuanya hanya bayangan yang tak pernah nyata.”
Rangga terdiam, dada terasa sesak mendengar kata-kata itu.
Ia tahu selama ini banyak kesalahpahaman dan luka yang belum sembuh. Namun ia tak mau menyerah begitu saja.
“Nay,” suaranya lirih tapi penuh harap. “Maafkan aku. Aku semalam tidak sengaja. Aku tidak pernah bermaksud menyakiti kamu. Semua yang aku lakukan, semua yang aku pikirkan, hanya demi kamu. Aku sayang kamu, Nay. Aku ingin kita jalani ini bersama.”
Nayla menunduk, air mata mulai menetes perlahan di pipinya.
“Kalau memang begitu, buktikan, Mas. Jangan hanya kata-kata. Aku sudah terlalu lama hidup di dalam bayang-bayang, di antara keraguan dan kesedihan. Aku ingin kita benar-benar mulai dari awal, tanpa ada lagi masa lalu yang membebani.”
Rangga menggenggam tangan Nayla erat, mencoba menguatkan hatinya yang juga terluka.
“Aku berjanji, Nay. Aku akan berjuang untuk kita. Aku ingin melihat kamu bahagia, bukan hanya sekadar bayangan. Kita akan lalui semuanya bersama, satu langkah demi satu langkah.”
Nayla menatap mata Rangga dalam-dalam, merasakan ketulusan yang tak bisa dipungkiri. Meski hatinya masih penuh luka, ada secercah harapan yang mulai tumbuh.
“Baiklah, Mas. Aku ingin mencoba lagi. Tapi tolong, jangan pernah buat aku merasa sendirian lagi,” bisiknya pelan.
Rangga mengangguk, sebuah senyum kecil terukir di wajahnya.
“Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu, Nay. Kita mulai hidup baru... bersama.”
Mereka saling menggenggam, menghapus rasa sakit masa lalu dan membuka lembaran baru yang penuh harapan dan cinta yang nyata.
Rangga menutup pintu kamar dengan lembut, memastikan suasana hanya milik mereka berdua.
Matanya menatap Nayla penuh tekad, suara di dalam dadanya menggelegak, ingin membuktikan cinta yang selama ini tersembunyi di balik keraguan.
“Akan aku buktikan sekarang, Nay,” ucapnya lirih tapi penuh makna.
Dengan hati-hati, Rangga melepaskan pakaiannya satu per satu, tanpa tergesa, seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya sudah benar-benar terbuka dan siap memberikan yang terbaik untuk istrinya.
Tatapannya tak pernah lepas dari Nayla, penuh cinta dan harapan.
Nayla, yang masih terasa lelah namun sedikit terkejut, membiarkan Rangga mendekat.
Ada kehangatan yang perlahan merayapi ruangan itu, menggantikan keraguan dengan rasa percaya yang mulai tumbuh kembali.
Rangga mendekap Nayla dengan lembut, memastikan setiap sentuhan dan gerakannya adalah janji yang tak hanya terucap, tapi nyata.
Ia memberikan kewajibannya sebagai seorang suami bukan hanya secara fisik, tapi juga hati dan jiwanya.
Dalam pelukan itu, mereka mulai membangun kembali kepercayaan dan cinta yang pernah hampir hilang, melewati pagi dengan penuh harapan dan komitmen untuk saling menjaga, saling mencintai, dan memulai lembaran baru bersama.
Rangga menatap dalam mata Nayla, suaranya bergetar penuh perasaan saat ia mengucapkan kata-kata yang selama ini tersembunyi di hatinya.
“Aku mencintaimu, Nayla Pramesti.”
Kata-kata itu seperti mantra yang menghangatkan ruang hati mereka, menembus semua keraguan dan luka.
Nayla menatap balik, matanya mulai berkaca-kaca, merasakan ketulusan dan kekuatan cinta yang hadir di depan matanya.
Di pagi itu, di balik segala kesulitan dan cobaan, cinta mereka menemukan jalan untuk hidup kembali.