Semua berawal dari rasa percayaku yang begitu besar terhadap temanku sendiri. Ia dengan teganya menjadikanku tumbal untuk naik jabatan, mendorongku keseorang pria yang merupakan bosnya. Yang jelas, saat bertemu pria itu, hidupku berubah drastis. Dia mengklaim diriku, hanya miliknya seorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusi Fitria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 2
Dahiku mengernyit bingung, apa yang dibicarakan Riki dengan orang itu? Mengapa amat serius sekali?
Kini aku sudah berada di dalam mobil milik Riki, setelah pria tersebut memintaku untuk masuk ke mobilnya lebih dulu. Sesekali kulihat Riki dan pria itu melirik ke arahku.
Tak berselang lama, seorang pria menghampiriku lalu mengetuk pintu kaca mobil. Aku membuka jendelanya untuk melihat langsung pria tersebut.
"Nona, bisa ikut aku?" ujarnya.
Pandanganku beralih pada Riki, ia menunduk seolah enggan menatapku. Ada apa ini?
Tanpa kusadari, pria itu sudah membuka pintu mobil, kemudian mempersilahkanku untuk keluar. Mau tak mau, aku pun keluar untuk mengikuti langkahnya.
Dengan jarak sedekat ini, aku bisa melihat dengan jelas wajah tampan pria yang sedari tadi berbicara dengan Riki. Wajahnya benar-benar sempurna. Dengan bola mata berwarna almond, dan tatapan setajam elang.
"Maafkan aku, Si..." Riki berucap pelan.
Aku tidak mengerti, mengapa dia mengatakan itu. Sampai akhirnya, aku menyadari ada yang tidak beres. Di detik berikutnya, tubuhku terasa melayang. Aku digendong di pundak pria yang berwajah tampan itu.
"RIKIIII.." Aku menjerit sekuat tenaga, sambil memukul punggung pria tersebut.
Pria yang kupanggil hanya diam tanpa berusaha menjelaskan sesuatu kepadaku. Aku bingung, aku sedih, aku menangis, tapi sekeras apapun aku berteriak, tidak ada yang menolongku. Termasuk Mia, ia pun hanya menatapku iba.
BRAKK
Aku terlempar diatas kasur berukuran sangat besar. Pria yang tidak kuketahui namanya itu, menatapku dingin.
"Bangun!" titahnya.
"Aku mohon, lepaskan aku!" Air mataku sudah membasahi pipi dengan begitu derasnya.
"Aku bilang bangun!!" ulanginya lagi.
Bergegas aku bangkit, lalu berdiri di depannya yang duduk di sofa. Aku menunduk takut sambil menggigit kuat bibirku untuk meredamkan suara isak tangis.
"Kemarilah!!" Kembali dia memerintah, kali ini lebih lembut. Pria itu bahkan mengulurkan tangannya kepadaku.
Sejenak mata kami bertemu, sedetik kemudian aku kembali menunduk. Kugapai uluran tangan itu, selanjutnya ia menarik tanganku hingga tubuhku pun ikut tertarik dan berakhir dipangkuannya.
Terdengar erangan dari pria itu, bahkan aku merasakan ada sesuatu yang mengganjal di bawah sana. Aku ingin bangkit, tapi buru-buru pinggangku di tahan olehnya.
"Aku menemukanmu..." lirihnya sambil menatapku dalam dalam.
"Apa.. apa maksudmu?"
Dia tersenyum, senyum yang begitu tulus. "Aku sudah mencarimu, dan akhirnya aku menemukanmu."
Aku masih mencerna kalimatnya. Hingga, terdengar suara seseorang dari luar kamar, suara pria yang kukenal, Riki.
"Tuan, aku akan mencari wanita lagi. Aku mohon, lepaskan Sisi dan biarkan dia pergi!"
"Oh, namamu Sisi rupanya," Pria itu tak mengindahkan kata-kata Riki yang diluar, ia sibuk merapihkan beberapa helai rambutku yang berantakan.
"Tuan, aku mohon! Biarkan kami pergi. Aku berjanji, setelah ini aku akan mencari wanita lebih banyak lagi."
"Ckk," Pria itu berdecak kesal, "Enyahlah. Aku menginginkannya."
Mataku membulat, siapa yang dia inginkan? Apakah aku? Tidak. Ini tidak benar. Aku harus pergi dari sini.
"Tuan..." Suara Riki memelan.
"Aku harus pergi!" ucapku gusar.
"Pergi kemana, Sayang?"
Apa aku tidak salah dengar? Dia memanggilku dengan panggilan 'sayang'?
"Aku harus pulang, Riki menungguku."
Dalam hitungan detik, ekspresinya langsung berubah menjadi datar. "Ada hubungan apa diantaramu dan Riki Fernando?"
Aku menggeleng, "Kami hanya berteman."
"Benarkah?"
Aku mengangguk yakin, "Jadi kumohon, lepaskan aku yaa.."
"Tidak. Aku tidak akan melepaskanmu. Kau milikku mulai detik ini."
Mulutku menganga lebar, apa dia gila? Kami baru pertama kali bertemu, dan dia sudah mengklaim diriku sebagai miliknya. Yang benar saja.
"Aku bukan milik siapapun, termasuk dirimu!" tegasku.
Kulihat rahangnya mengeras, tatapannya berubah tajam. Senyum licik terukir di bibirnya, yang semakin membuatku takut.
"Apa kau tidak peduli dengan temenmu diluar?"
Apalagi ini?
Pria tersebut mengeluarkan ponselnya, lalu menelpon seseorang. "Lucas, buka pintunya."
Dan benar saja, pintu kamar itupun terbuka. Jantungku seolah berhenti disaat itu juga. Riki ada disana, terduduk lemas dilantai dengan sebuah pistol yang menempel di pelipisnya.
"Bagaimana jika kupinta Lucas menarik pelatuknya, apakah temanmu itu masih bisa bernafas?" Ia tertawa, seolah nyawa seseorang merupakan sebuah mainan baginya.
Aku menggeleng kencang, "Jangan. Jangan sakiti dia!"
"Kau begitu mengkhawatirkannya, membuatku merasa cemburu."
Tanpa memperdulikan kata-katanya, aku segera bangun dari pangkuannya lalu berlari kearah Riki. Aku memeluk kuat lehernya sambil menangis disana.
"SISIII!!" Dia membentakku, tapi aku tak peduli.
"Tuan Elbarra, ini salahku. Kau bisa menghukumku, tapi jangan Sisi. Dia polos dan lembut, aku tidak ingin ada yang menyakitinya."
"Persetan denganmu! Aku sudah memilihnya, dan tidak ada yang bisa mengubah keputusanku!!"
Pria bernama Elbarra itu menarik tanganku untuk menjauh dari Riki. "Aku akan membunuhnya, jika kau masih berani menyentuhnya."
"Hiksss..." Tangisanku kian kencang, apalagi saat pintu kamar itu ditutup kembali dan hanya menyisakanku dan Elbarra.
"Berhenti menangisi pria itu!!" hardiknya.
"Kau benar-benar jahat!!" teriakku tak mau kalah.
Elbarra menyeringai, "Kau benar. Aku jahat, oleh sebab itu kau harus menurut kepadaku."
"Buang pikiranmu untuk kabur dari rumah ini, karena percuma. Kau tidak akan bisa kabur!" sambungnya.
Setelah mengatakan kalimat tersebut, Elbarra keluar dan meninggalkanku sendirian di kamar ini. Aku kembali menangis, namun kali ini lebih kencang. Aku memeluk tubuhku sendiri dengan begitu erat, rasanya sakit dan menyesakkan karena harus terkurung dirumah ini.
Dengan tubuh bergetar, aku mengecek ponselku di dalam tas. Untungnya masih ada. Buru-buru aku menelpon polisi, tapi saat panggilannya terhubung, aku segera mematikan panggilan itu.
Satu hal yang ku lupa, Riki masih ada diluar. Entah apa yang dilakukan Elbarra padanya, apakah dia masih baik-baik saja diluar?
Aku berlari menuju pintu untuk membukanya, namun sayang tidak bisa karena harus mengunakan sidik jari, atau pin. Tak patah semangat, aku memukul-mukul pintu kayu tersebut sambil berteriak.
"Rikiii, kau mendengarku?"
Tak butuh waktu lama, terdengar bunyi pintu otomatis terbuka. Kuharap ada Riki disana, sayangnya harapan tinggal harapan. Elbarra datang sendiri, tak lupa menutup pintunya kembali.
"Riki sudah pulang!" ujarnya yang tidak bisa kupercayai.
Dari arah luar jendela kamar, suara mobil terdengar. Dengan langkah cepat aku menuju balkon kamar itu, dan benar saja. Mobil Riki menjauhi pekarangan mansion ini, dia pergi tanpa membawaku. Mataku memanas melihat kepergiannya. Mulutku diam, tapi hatiku berisik.
"Benar 'kan? Aku tidak berbohong?" Elbarra tiba-tiba muncul sambil memelukku dari belakang.
"Kau menganggapnya sebagai temanmu, tapi dia malah menumbalkanmu!" tambahnya.
Kepalaku menoleh untuk menatapnya, apa maksud dari ucapannya?
"Aku menawarkan kepadanya untuk naik jabatan asalkan dia bersedia meninggalkanmu disini. Dan kau tahu? Dia menyetujuinya," Elbarra terkekeh, dan itu semakin membuatku kesal.
"Sudahlah, Sisi. Terima saja takdirmu untuk hidup bersamaku. Aku berjanji akan menjagamu, dan tidak akan menyakitimu selagi kau menurut padaku."
Apa aku akan menjawab 'iya'? Tentu saja, TIDAK. Kau memang tampan, sayangnya kau kasar. Benar-benar bukan tipeku.