Shinta Bagaskara terbangun kembali di masa lalu. Kali ini, ia tak lagi takut. Ia kembali untuk menuntut keadilan dan merebut semua yang pernah dirampas darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Udang dan Air Mata Buaya
Setelah urusan kartu bank beres, mereka berdua memutuskan untuk mengisi perut yang mulai keroncongan di sebuah restoran yang cukup terkenal di pusat kota.
Mereka memilih tempat duduk di sisi dekat tembok, di sebuah sofa beludru berwarna merah anggur yang nyaman. Dari balik kaca besar yang memisahkan ruang makan yang hangat dan trotoar yang ramai, orang-orang yang lalu lalang di luar bisa dengan mudah melihat suasana di dalam restoran yang elegan.
Saat Dira Bagaskara melintas di depan restoran itu, matanya tanpa sengaja tertumbuk pada sosok yang sangat familiar, namun tak mungkin ada di tempat seperti ini, Shinta Bagaskara.
Dia sempat tertegun, langkahnya terhenti sejenak. "Kenapa Shinta bisa ada di sini? Bagaimana gadis kampung itu bisa makan di restoran mewah begini?" pikirnya sinis.
Lalu pandangannya beralih ke pria di hadapan Shinta. Dari tempatnya berdiri, Dira hanya bisa melihat sisi wajahnya, tapi itu saja sudah cukup untuk membuat dadanya berdebar kencang. Hidungnya tinggi, rahangnya tegas dan maskulin, bibirnya tampak berbahaya sekaligus memikat, seperti buah terlarang yang menggoda.
Jantung Dira seolah berhenti berdetak sesaat, lalu berpacu cepat, memompa darah ke seluruh tubuhnya. Seumur hidupnya yang dimanja, belum pernah ia melihat pria semempesona dan berkelas itu. Aura kekayaan dan kekuasaan terpancar kuat dari dirinya.
Tanpa sempat menahan diri, langkahnya terayun masuk ke dalam restoran, meninggalkan teman-temannya yang sedang asyik bergosip di belakangnya. Ia harus tahu siapa pria itu dan apa hubungannya dengan Shinta.
Begitu masuk, yang pertama kali ia lihat adalah tangan panjang Fajar yang sedang dengan tenang mengupas udang berukuran besar, lalu meletakkannya dengan hati-hati ke piring Shinta. Gerakannya anggun dan penuh perhatian, membuat Dira semakin penasaran.
Dan Shinta, dengan santainya, langsung menyuap udang itu tanpa berkata apa-apa, seolah itu adalah hal yang biasa. Ekspresinya tenang dan menikmati, tanpa sedikit pun rasa canggung.
Jari-jari Dira mengepal hingga buku jarinya memutih, menahan amarah yang mulai membara. Bagaimana bisa Shinta bertemu pria seperti ini? Dia bahkan membantunya mengupas udang! Apa Shinta sudah menyihirnya?
Tapi Dira bukan tipe yang mudah menampakkan cemburu atau emosi negatif lainnya di depan umum. Ia cepat menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan mendekat dengan langkah yang dibuat selembut dan seanggun mungkin, berusaha menarik perhatian Fajar.
"E… Kak Shinta," panggilnya dengan nada manja yang dibuat-buat, berusaha terdengar semanis mungkin.
Shinta menurunkan sendok dan garpunya, menatap Dira datar, tanpa ekspresi.
"Ada apa?" tanyanya singkat, namun terdengar dingin.
"Kak, aku tadi mau ngajak Kak Shinta jalan-jalan ke mal, tapi ternyata Kakak sudah keluar duluan," ucap Dira pura-pura kesal sambil tersenyum lembut, lalu tanpa diminta duduk di sebelah Shinta, seolah mereka berdua adalah saudara dekat yang saling menyayangi.
Meja itu hanya cukup untuk dua orang. Tubuh Shinta yang ramping membuat mereka masih bisa duduk, tapi jelas terasa sempit dan tidak nyaman. Pandangan Fajar pun menyipit tajam, memperhatikan gadis yang baru datang itu dengan tatapan dingin dan menyelidik.
Dari informasi yang ia ketahui, Shinta dan Dira dulu tertukar di rumah sakit. Sebuah kesalahan yang mengubah jalan hidup mereka berdua.
Dira sebenarnya anak dari pasangan sederhana di desa, tapi karena kesalahan itu, ia tumbuh besar sebagai putri keluarga Bagaskara, hidup dimanja dan disanjung, mendapatkan semua yang ia inginkan.
Sedangkan Shinta, putri kandung keluarga Bagaskara, justru tumbuh di rumah sederhana milik Keluarga Wulan, sejak kecil sudah terbiasa bekerja keras demi bisa bertahan hidup.
Kalau bukan karena peraturan wajib belajar dan tekanan dari kepala dusun yang peduli pada pendidikannya, mungkin Keluarga Wulan tak akan membiarkan Shinta sekolah. Biaya sekolah pun tak pernah mereka tanggung, warga desa yang peduli akhirnya bergotong-royong menanggung biaya pendidikannya.
Saat SMP, Keluarga Wulan menolak membiayainya lebih jauh, mereka baru setuju ketika Shinta berjanji memberi uang tiap bulan dari hasil kerja serabutannya.
Sementara itu, Dira tumbuh di rumah besar keluarga Bagaskara yang mewah dan nyaman. Catatan menunjukkan, sejak kecil ia berbakat melukis, menjadi murid kesayangan Raden Wijaya, seorang pelukis terkenal, dan selalu masuk sepuluh besar di sekolah. Penampilannya selalu lembut, sopan, dan sering membantu hewan terlantar, menciptakan citra sebagai gadis sempurna di mata semua orang.
Fajar mengalihkan pandangannya, dingin dan jijik. Ia benci melihat orang yang berpura-pura baik demi mendapatkan sesuatu.
Bagi pria seperti dia, kemanisan yang dibuat-buat justru menjijikkan dan merendahkan. Ia lebih menghargai kejujuran, meskipun pahit.
Dira menyadari pandangan Fajar padanya. Pipi halusnya memanas, jantungnya berdegup makin cepat, namun ia berusaha menyembunyikannya di balik senyum manisnya. Ia pura-pura peduli, bertanya lembut, berusaha menarik perhatian Fajar.
"Kak Shinta, ini teman Kakak ya? Kenalin dong, Kak."
Shinta tersenyum tipis, sinis, menanggapi kepura-puraan Dira.
"Apakah dia temanku atau bukan, memangnya urusanmu? Kita tidak sedekat itu, ya. Jangan terlalu percaya diri!" jawab Shinta dengan nada dingin yang menusuk.
Nada dingin Shinta membuat Dira kaku sejenak. Tapi ia segera mengganti ekspresinya, memoles air mata di matanya agar tampak berkilau, menciptakan kesan bahwa ia adalah korban dalam situasi ini. Suaranya bergetar lembut, penuh kesedihan yang dibuat-buat.
"Kak Shinta, aku tahu selama ini aku sudah mengambil kasih sayang Ayah dan Ibu. Aku tahu Kakak marah dan membenciku, tapi itu bukan salahku. Aku tidak pernah meminta untuk dibesarkan sebagai putri keluarga Bagaskara. Kalau Kakak mau, aku bisa pindah dari rumah. Aku cuma ingin Kakak memaafkan aku. Aku bersedia melakukan apa saja," ucapnya dengan nada memelas.
Itu jurus lamanya, berpura-pura lemah, tidak berdaya, dan tersakiti. Memainkan peran sebagai korban yang tak bersalah.
Manusia cenderung iba pada yang tampak rapuh dan membutuhkan perlindungan.
Selama ini, itu adalah senjata paling ampuh milik Dira untuk memanipulasi orang-orang di sekitarnya.
Dan biasanya, selalu berhasil.
Tapi kali ini, baik Shinta maupun Fajar bukan tipe orang yang mudah diperdaya oleh air mata buaya dan kepura-puraan.
Shinta menahan tawa dingin, hendak membalas ucapan Dira yang penuh kepalsuan, namun suara berat dan dingin Fajar mendahuluinya.
"Kalau kamu benar-benar peduli dengan perasaan Shinta, tinggalkan keluarga Bagaskara dan kembalilah ke keluarga kandungmu. Karena Shinta tidak suka melihatmu berada di dekatnya," katanya datar, menatap Dira dengan tatapan yang menusuk.
Wajah Dira seketika membeku, seperti patung es di tengah musim dingin. Dira tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak di depan umum.
Bukankah pria biasanya suka pada gadis yang lembut, lemah, dan membutuhkan perlindungan? Mengapa pria tampan ini justru membela Shinta yang dingin dan tidak ramah?
Fajar melirik jam tangannya yang mahal, lalu beralih menatap Shinta dengan tatapan lembut, nyaris tak disadari oleh orang lain, tapi penuh makna dan kasih sayang.
"Shinta, sudah malam. Aku antar kamu pulang," ucapnya lembut, seolah Dira tidak ada di sana.
Shinta tersenyum kecil, bangkit dari duduknya dengan anggun. Sebelum melangkah pergi, ia menatap Dira dengan sorot tajam namun tenang.
"Dira, hidup dengan topeng itu sangat melelahkan. Apa kamu tidak capek terus berpura-pura?" tanyanya dengan nada prihatin, namun terdengar seperti sindiran.
Dira menggenggam tangannya erat-erat di bawah meja, menahan amarah yang membara di dalam dirinya. Tapi karena ada pria itu di sana, ia tetap menampilkan wajah lembut dan polosnya.
"Kak Shinta, Kakak salah paham," ucapnya dengan nada memelas, berusaha meyakinkan Shinta.
Shinta menatapnya sejenak, kemudian menjawab pelan tapi tegas, kata-katanya menusuk seperti pisau,
"Aku sudah pernah bilang, yang bukan milikmu, selamanya tidak akan pernah jadi milikmu."
Ia pun berbalik pergi bersama Fajar, meninggalkan Dira yang masih duduk di kursinya dengan tatapan kosong namun menyimpan bara di dalam mata.
Siapa yang memberi Shinta hak untuk menatapku seperti itu? Beraninya dia meremehkanku di depan pria yang kusukai?
Dira mengepalkan tangan, menahan amarah yang membara di dadanya. Ia merasa dipermalukan dan direndahkan.
Baiklah. Kalau harus berpura-pura seumur hidup demi mendapatkan apa yang kuinginkan, aku rela melakukannya. Aku akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuanku.
Baginya, selama bisa mencapai tujuan akhir, segalanya layak diperjuangkan, tidak peduli seberapa kotor dan licik cara yang harus ia tempuh.
Dan kali ini, tujuannya sudah jelas terpampang di depan matanya. Ia harus mendapatkan pria itu, dengan cara apapun.
Tidak pernah ada pria yang membuat Dira terpesona dan terobsesi seperti ini.
Pakaian yang dikenakan pria itu, jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, seluruh penampilannya menunjukkan kelas, kekayaan, dan kemewahan yang tak tertandingi.
Sebagai putri keluarga Bagaskara, Dira merasa hanya dialah yang pantas berdiri di samping pria seperti itu. Dira merasa mereka berdua adalah pasangan yang sempurna dan ditakdirkan untuk bersama.
Shinta? Dia jelas bukan siapa-siapa. Hanya seorang gadis desa yang beruntung, Shinta tidak pantas bersanding dengan pria seperti itu.
Dengan tekad yang mulai mengeras di dadanya, Dira memejamkan mata, membayangkan pria tampan itu tersenyum lembut padanya, mengupas udang untuknya, menyuapkannya dengan penuh kasih sayang, memanggil namanya dengan penuh kelembutan…
Dira akan melakukan apapun untuk mewujudkan fantasinya itu.