Para tamu undangan telah memenuhi ruangan, dan Hari H berada di depan mata. Hanya tinggal menanti sepasang calon mempelai mengucap janji suci, pernikahan pun sah di mata publik dan agama.
Namun, apa jadinya jika kedua calon mempelai tak kunjung memasuki acara? Pesan singkat yang dikirim hampir bersamaan dari kedua mempelai dengan maksud; berpisah tepat di hari pernikahan mereka, membuat dua keluarga dilanda panik dan berujung histeris.
Demi menutupi kekacauan, dua keluarga itu memojokkan masing-masing anak bungsu mereka yang kebetulan usianya hampir seumuran.
Sharon dan Alaska. Dua orang yang tak pernah terduga itu mau tidak mau harus menuruti perintah keluarga.
Fine! Hanya menikah!
Tahukah jika Alaska sudah punya pacar? Setelah hari ini menikah bersama Sharon, besok Alaska akan langsung membubarkan pernikahan gila ini!
Namun, keinginan itu seolah pupus saat mereka berdua malah menghabiskan malam pertama mereka, selayaknya pasutri sungguhan.
Sial.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Calon Mama Papa
Sedari keduanya meninggalkan klinik untuk membeli roti, Sharon tak henti-hentinya terus tersenyum manis. Kepalanya sesekali melirik pada Alaska yang dengan telaten dan lembut mendorong kursi roda yang didudukinya.
"Sayang!" Panggil Sharon. Satu tangannya yang tidak ditusuk selang infus mengelus permukaan perutnya yang masih rata.
"Tumben manggil 'sayang'? Biasanya juga 'Alaska'," kekeh Alaska, lalu berhenti mendorong kursi roda ketika keduanya sampai di sebuah taman.
Walau saat ini suasana tergolong gelap dan dingin sebab telah masuk waktu malam, Alaska memutuskan untuk singgah sejenak bersama Sharon. Beruntungnya Sharon tengah memakai pakaian hangat, jadi tidak akan ada lagi drama jika perempuan itu tiba-tiba masuk angin.
"Ya udah kalau nggak mau dipanggil gitu," gumam Sharon. Kepalanya menunduk dan bibirnya cemberut.
"Siapa bilang nggak mau?" Diluar dugaan, Alaska berjongkok tepat di depan Sharon.
"Hm, rotinya mau dibukain nggak?" Alaska bertanya halus seraya meraup wajah Sharon agar perhatiannya hanya terfokus pada Alaska.
Sharon sempat terdiam sejenak. "Buka." Ujarnya. Lagi-lagi Alaska terkekeh pelan menanggapi.
Tak selang berapa detik, Alaska lalu mengecup singkat kedua pipi Sharon secara bergantian, kemudian dilanjut pada kening, lalu terakhir pada bibir yang lumayan cukup lama.
"Bumil mikirin apa, sih? Harusnya saat-saat kayak gini tuh kamu happy. Kita 'kan bentar lagi mau jadi Mama Papa." Kedipan genit dari Alaska seketika membuat Sharon tertawa ringan.
"Apaan sih, geli!"
"Gitu dong, ketawa. Jangan murung terus, nggak baik. Hm, mau aku suapin?" Sebungkus roti telah dibuka segelnya. Tanpa ragu, Sharon pun mengangguk cepat.
"Pegel, Yang. Ke sana, yuk!" Alaska menunjuk sebuah bangku yang baru dia sadari keberadaannya.
Sharon ikut menoleh ke arah tunjukkan Alaska. "Boleh."
Setibanya di bangku, Alaska langsung menggendong tubuh Sharon agar dapat ikut serta duduk di sana. Refleks Sharon melingkarkan satu lengannya di leher Alaska.
"Dingin, nggak?" Alaska lagi-lagi bertanya halus, seraya melepaskan jaket yang melekat di tubuhnya.
"Enggak." Jawab Sharon. Fokusnya sendiri tertuju pada roti sobek yang tengah ia nikmati diam-diam.
"Bohong. Sini, biar nggak dingin." Sharon membelalak saat jaket Alaska menyelimuti area perut sampai pahanya. Kepalanya spontan mendongak dengan ekspresi penuh tanya.
"Kok, dilepas? Kamu nggak dingin? Kamu cuma kaos, lho. Mending kamu pake-"
"Buat kamu aja. Yang lagi sakit 'kan kamu. Sini, mana rotinya, katanya mau disuapin, tapi kok udah dimakan duluan."
Sharon menghela napas panjang. Bibirnya tampak sedikit dimajukan. Saat hendak menyerahkan jaket Alaska, laki-laki itu langsung menahannya.
"Mau ngapain, hayo?"
"Nanti kamu masuk angin." Kata Sharon.
"Aku nggak pa-pa, udah buat kamu aja. Bumil harus jaga kesehatan. Udah lupa ya, sama omongan Bu Dokter tadi. Bisa dibilang kandungan kamu saat ini lemah. Kamu kebanyakan capek sama ..." Alaska menjeda ucapannya. Seketika dirinya lupa akan beberapa hal yang sempat dia bicarakan berdua saja dengan dokter. Hal yang sepertinya tidak seharusnya Alaska beritahukan pada Sharon.
"Sama apa lagi? Dokter tadi bilang apa aja?" Rasa penasaran mulai menguasai diri Sharon. Jujur saja, setelah Alaska menyelesaikan obrolan berdua dengan dokter tadi, ekspresi Alaska yang berbinar perlahan sedikit murung.
Alaska berdeham pelan. Perhatiannya sengaja beralih dari Sharon. Tak berapa lama, senyuman tipis menghiasi wajahnya.
"Sama-"
"Tolong jangan sembunyiin apa pun dari aku! Di sini aku yang hamil, berarti aku berhak tahu. Pasti ada masalah 'kan?" Tebakan Sharon yang tepat sasaran membuat Alaska terdiam. Susah payah dirinya mencoba menelan ludah.
Sharon mendengus. Kepalanya mengangguk-angguk paham. "Apa jangan-jangan, calon anak kita nggak bisa dipertahanin lama karena kandungannya lemah?"
"Bukan gitu."
"Terus apa? Cerita sama aku, jangan bikin aku kepikiran. Aku punya penyakit parah, gitu 'kan maksudnya?" Rasa frustasi menguasai diri Sharon. Hal paling menyakitkan jika benar kondisinya seburuk itu sampai membuat Alaska menyembunyikan kenyataan itu dari Sharon.
"Bukan. Cuma tadi kata dokter, timbangan berat badan kamu kecil dan tensi kamu juga rendah. Aku juga baru tahu kalau ternyata hamil dibawah usia dua puluh tahun itu beresiko. Aku bener-bener nggak bisa bayangin kalau hal itu bener-bener terjadi sama kamu, Shar. Aku minta maaf!" Tanpa diduga, setitik air mata terjun dari pelupuk mata Alaska.
Laki-laki yang tak pernah sekalipun memperlihatkan kesedihannya itu nyatanya saat ini benar-benar dibuat frustasi sampai menitikkan air mata.
Sharon membisu. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Karena jujur saja, timbangannya tak sampai menunjuk angka lima puluh, padahal tinggi badannya mencapai 160 cm.
Dan untuk usianya sendiri, Sharon masih butuh sekitar lima bulanan lagi agar bisa genap berusia dua puluh tahun.
"Jadi, semua itu mempengaruhi, ya." Sharon menggigiti bibir bawahnya spontan. Tangannya tiba-tiba memeluk erat perutnya saat tak sengaja membayangkan suatu hal buruk.
Dengan menarik napas sedalam-dalamnya, kekehan kecil yang berakhir menjadi tawa sumbang lantas menghiasi wajah Sharon. Alaska yang sempat menunduk beberapa saat pun dibuat mendongak.
"Cuma itu 'kan?" Tanya Sharon. Mati-matian dia mencoba tersenyum walau hatinya tergores.
"Aku janji mulai saat ini, aku akan jaga pola makan aku supaya aku bisa naikin berat badan. Dan aku juga janji, aku akan jagain calon anak kita tanpa terluka. Ya? Kamu percaya 'kan sama aku?"
Tangis Alaska pecah seiring dengan ucapan demi ucapan Sharon yang terlontar dari bibirnya yang bergetar. Detik itu juga, Alaska lantas meraih tubuh Sharon dan memeluknya dengan begitu erat. Tak membiarkan sedikit celah pun memisahkan keduanya.
"Janji, kamu nggak akan kenapa-kenapa! Kamu tahu, aku nggak bisa bayangin kalau sampai hal buruk itu benar-benar terjadi sama kamu. Pokoknya, mulai sekarang aku akan jagain kamu dan nggak akan biarin kamu nyentuh apa pun. Kamu cukup istirahat dan fokus jaga pola makan aja. Selain itu nggak boleh. Ngerti 'kan?"
Air mata yang sedari tadi ditahan mati-matian pun pada akhirnya meleleh. "Hm. Ngerti!" Ujar Sharon, seraya balas memeluk tubuh Alaska.
...****...
Paginya, Sharon sudah dibolehkan pulang atas izin dokter. Sesampainya di apartemen, Sharon langsung disuruh istirahat oleh Alaska. Sementara itu, Alaska tengah sibuk membuat beberapa makanan sehat di dapur.
Walaupun Alaska adalah laki-laki, hal itu tidak menutup kemungkinan jika dirinya pandai soal mengolah bakan makanan.
Berbeda halnya dengan Sharon yang walaupun perempuan, sekalipun dia tidak pernah memasak di dapur. Paling hanya memasak nasi yang bahkan hal itu dapat begitu mudah sebab ada penanak nasi. Selebihnya untuk lauk pauk, Sharon selalu membelinya lewat pesan antar.
Terlalu lama berdiam di tempat tidur membuat Sharon sedikit pegal. Dengan langkah tertatih, kakinya pun melangkah menuju dapur, tempat di mana Alaska tengah berada saat ini.
Kedatangan Sharon yang tak terduga tentu saja mengundang perhatian Alaska. Kedua alisnya sontak bertaut saat tangan mungil Sharon menarik kursi makan kosong di depannya.
"Kok, malah ke sini?"
"Hm, pengen aja lihatin kamu," kata Sharon. Senyuman halus menghiasi cantik wajahnya yang bersinar.
"Kamu baru sampe, harusnya langsung istirahat." Alaska yang sebelumnya sibuk memotong sayuran pun menjeda beberapa saat aktivitasnya.
Tampak raut wajah Sharon yang sedikit menunduk lesu sampai menghilangkan senyumannya. Kedua tangannya yang sempat menganggur mulai menggosok pelan permukaan perutnya yang rata.
"Kalau dedenya bilang pengen lihat Papa, gimana?" Perlahan, Sharon mendongak dengan ekspresi memelas. Kedua matanya berkedip beberapa kali sampai membuat Alaska kehilangan kata-kata.
"Ekhem. Ya udah, kamu boleh di sini sampai waktunya makan." Kata Alaska. Wajahnya sedikit bersemu sebab panggilan tak biasa dari Sharon yang berhasil membuat dadanya bergemuruh.
"Yeey! Makasih, Papa!" Gerutu Sharon, menirukan suara anak kecil. Tangannya sendiri semakin aktif mengusap perutnya. Ada rasa menggelikan bercampur manis yang cukup sulit untuk diterangkan.
Intinya, Sharon menikmati hari menjadi calon ibu muda. Tidak peduli dengan seluruh kekhawatiran kemarin, asalkan semuanya dijalani dengan penuh keyakinan dan kepercayaan, dia dan calon anaknya pasti akan baik-baik saja.
"Oh, ya. Kamu belum ngasih tahu Mama sama Papa, ya?" Teringat akan satu hal, Sharon lalu bertanya.
"Hm, belum sempet. Nanti habis sarapan aja gimana?" Tanya Alaska. Senyuman manis yang menenangkan hati tersungging indah di wajahnya.
Sharon sempat terdiam sejenak untuk berpikir. Selang beberapa saat, ia pun mengangguk. "Boleh."
...****...
Keila mengernyit refleks saat handphone yang dia taruh di atas meja kantin berdering. Kepalanya lantas celingukan menatap sekitar. Mulutnya yang tengah mengunyah nasi goreng pun dengan cepat menyelesaikan kunyahannya.
"Halo, Shar? Tumben lo nggak ngajakin gue ke kantin. Lo lagi sama si Lea, ya?" Keila mengangkat panggilan suara tersebut tanpa berniat meraih handphone-nya. Gadis itu memilih menghidupkan loud speaker agar suara Sharon dapat terdengar jelas tanpa harus didekatkan pada daun telinga.
"Em, gue nggak ngampus."
"Kenapa?" Tanya Keila. Dahinya mengernyit saat Lea tiba-tiba duduk di kursi kosong di depannya.
"Lagi teleponan sama siapa?" Tanya Lea. Jelas saja ucapannya dapat didengar oleh Sharon di seberang telepon.
"Lagi sama Lea juga, ya?"
"Eh, i-iya. Baru sampe dia."
"Shar, kok hari ini lo nggak ngampus? Sedih gue sendirian nggak ada yang ngajak ngobrol, hm ..." Lea berucap manja. Terdengar kekehan pelan dari Sharon.
"Tumben banget lo nggak ngabarin kita kalau nggak ngampus. Pasti ada apa-apa." Tebak Keila, seraya lanjut menikmati makanannya dengan perasaan riang.
"Hm, gue ngambil cuty satu semester. Soalnya-"
"Hah?! Cuty?" Keila dan Lea berucap berbarengan. Ekspresi syok sama-sama keduanya perlihatkan.
"Ihh, lo lagi ada masalah? Kok, tiba-tiba cuty satu semester nggak bilang-bilang?" Lea memberengut, begitupun Keila yang tiba-tiba kehilangan nafsu makannya.
"Tahu lo, nggak bilang-bilang, apaan sih."
"Eeh, sorry! Soalnya gue lagi hamil, jadi gue mau fokus jaga diri sama-"
"Uhuk, uhuk, uhuk! Ap-apa?! Uhuk! Barusan lo bilang apa?" Secuil nasi tiba-tiba menyangkut di tenggorokan Keila. Gadis itu dibuat terbatuk beberapa kali.
"Di-dia bilang, dia hamil! HAMIL!" Lea mengguncang bahu Keila. Dia sama terkejutnya, namun lebih dari itu, Lea merasa ikut senang mendengar berita tersebut.
"Serius? Beneran?" Detik itu juga, Keila menghempas tangan Lea yang masih mengguncang bahunya. Tangannya dengan secepat kilat merogoh handphone dan mendekatkannya dengan wajah.
Lea yang turut kepo mengganti posisi duduknya menjadi di samping Keila. Telinganya sengaja mepet-mepet pada speaker handphone.
"Hm, beneran! Kemaren gue juga habis dari klinik sama Alaska. Dan katanya, gue positif hamil."
Beberapa detik sempat terdiam, teriakan heboh dari Keila dan juga Lea tiba-tiba memenuhi satu kantin.
"Emmm, gemessss! Selamet ya, Bestie! Ululuhhh, udah mau punya dedek aja nih,"
"Aseekkkk! Punya ponakan baruuu!"
Sharon tertawa menahan malu. "Aaak, makasiihhh! Btw, ini masih rahasia, ya. Jangan bilang siapa-siapa dulu! Cuman kalian berdua."
"Siappp, Komandan! Udah, pokoknya nanti kita mampir jenguk lo. Ya?" Ujar Lea, penuh semangat.
"Emm, hari ini gue mau pulang ke rumah sama Alaska. Kalau besok aja gimana? Di rumah gue tapi, bukan di apartemen." Terang Sharon. Keila dan juga Lea mengangguk-angguk paham.
"Eh, gitu aja kali. Alaska udah manggil-manggil, nih. Gue tutup dulu, ya. Bye!"
"Byeee! Jangan lupa jaga kesehatan, Bestie dan calon ponakankuuu!"
"Muach, muach! Besok gue sama Keila pasti temuin lo."
^^^To be continued...^^^
happy ending 👍