“Jangan dulu makan! Cuci piring dan sapu halaman belakang, baru makan!” Bentak Bunda.
Bentakan, hardikan dan cacian sudah kenyang aku terima setiap hari. Perlakuan tak adil dari dua saudara tiri ku pun sering aku dapatkan. Aku hanya bisa pasrah, hanya ada satu kekuatan untuk ku masih bertahan tinggal dengan ibu tiri ku, semua karena demi ibu ku!
Ya, ibu yang mengalami Gangguan Jiwa sehingga harus di rawat dirumah. Maka aku hanya bisa bersabar menerima semua kondisi ini. Kemana akan berlari sedangkan ibu ku butuh di rawat, namun setiap hari perlakuan ibu tiri pada ibu membuat aku tak dapat menerimanya. Puncaknya saat aku mengutarakan pada ayah ku jika aku ingin kuliah.
“Tidak! Anak perempuan untuk apa kuliah! Kamu hanya akan di dapur! Buang-buang biaya!” Tolak ibu tiri ku dengan keras. Ayah pun hanya mengikuti keinginan istri mudanya.
‘Aku harus menjadi perempuan kuat dan aku harus bisa merubah takdir ku!’ Tekad ku sudah bulat, aku akan merubah takdirku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sebutir Debu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Flashback
Flashback On.
Hari itu hari pertama ibu diantar oleh salah satu sanak saudara dari kampung, nenek ku meninggal dunia. Maka ibu pun diantar ke kediaman ayah. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan ibu, ibu tidak bisa diajak bicara. Ibu hanya diam membisu. Suatu sore, ibu duduk di teras bersama aku karena menunggu bunda dan ayah sedang pergi ke pasar membeli kebutuhan. Tiba-tiba aku kebelet pipis, saat aku kembali dari pintu samping, tiba di teras rumah aku tak menemukan ibu. Aku melongo di luar pagar. Ibu ternyata telah berada di ujung gang. Aku berlari mengikuti ibu,
“Bu… ibu… ibu mau kemana?” panggil ku.Dengan langkah cukup tergesa-gesa aku berlari mengejar ibu. Tubuh ku yang kurus cukup mudah menyusul langkah ibu. Saat aku tiba di sisi ibu, ku pegang tangannya. Ia menoleh sesaat lalu kembali berjalan. Aku masih ingat betul saat-saat ini. Saat dimana aku yang masih berusia 9 tahun harus berjalan hingga hampir 10 jam.
Aku menggenggam tangan ibu erat. Aku bertanya hendak kemana namun tak ada jawaban dari ibu. Ibu hanya menatap ke arah jalan. Dan sesekali berhenti ketika melihat satu benda yang baginya menarik, entah itu plastik, entah itu botol atau bahkan tali rapiah. Aku hanya mengikuti langkah ibu tanpa ada komunikasi. Aku hanya ingat pesan ayah, untuk menjaga ibu dan jangan biarkan ibu kemana-mana sendiri. Aku takut ibu pergi dan tak kembali lagi. Entah kemana ibu mengajak ku, hari sudah sangat malam. Karena saat kami pergi dari rumah adzan ashar baru terdengar, sedangkan kini sudah adzan isya. Aku lapar sekali, aku ingin berhenti ku tarik tangan ibu agar ibu mau berhenti.
“Bu.. Gendhis lapar bu..” Ucap ku. Namun ibu tak memperdulikan aku, ibu terus saja berjalan, bahkan saat menemukan potongan roti yang telah di kerumun semut, ibu memungut dan memakannya, aku bahkan tak diberi seiris pun, aku merasa gemetar dengan perut yang lapar terpaan angin cukup kencang, sesekali aku menghapus air mata, ingin marah atau merengek tak ada gunanya, ingin melepaskan genggaman tangan ibu, nanti jika ibu menghilang aku sama siapa, maka satu-satunya cara aku menyeret langkah kaki ku dengan menggenggam tangan ibu. Kami sudah jauh sekali berjalan. Entah kenapa ibu tak lelah, ibu juga tak mengantuk. PAdahal kaki ku tak mampu lagi rasanya untuk melangkah. Tiba-tiba ibu menghentikan langkahnya saat melihat di pinggi jalan ada satu galon air yang di tulis satu kata ‘halal’.Ibu minum dari galon tanpa cangkir di sisi galon. Aku mun minum air itu. Setelah sedikit senang karena terisi air, ibu kembali berjalan. Aku mengejar ibu kembali.
“Bu… ibu.. tunggu Gendhis Bu.” Panggil ku, aku kembali meraih tangan kanan ibu. Ku genggam erat. Lalu ibu terlihat berjalan ke arah trotoar. Kemudian mendekat ke satu teras toko. Ibu berbaring di lantai tanpa alas. Aku berdiri dengan menggaruk-garuk pipi, kaki dan tangan yang di gigit nyamuk. Aku merasa sangat mengantuk, namun melihat ibu seperti itu, aku segera mencari kardus atau karung. Saat menemukan kardus, ku tutupi tubuh ibu dengan kardus agar tak kedinginan. Setelah itu aku pun berbaring di sisi buk dengan menutup tubuh dengan kardus, ku peluk ibu erat sekali. Aku takut jika ibu meninggalkan aku, perut ku berkali-kali berbunyi karena lapar,hanya air mata sebagai ungkapan lapar ku, aku tak berani lagi merengek seperti dulu, saat ibu masih sehat. Karena jika aku merengek ibu akan berteriak dan meninggalkan ku. Dan keesokan pagi aku justru di marah ayah karena pulang diantar POLPP. Itu adalah hal yang tak pernah aku lupakan dalam hidup ku, awal aku menerima takdir dan mengerti jika ibu ku mengalami gangguan jiwa. Awal aku mengerti bahwa aku tak boleh merengek manja seperti dulu saat ibu sehat.
Flashback off
Suasana riuh di pelataran panti rehabilitas milik Ibu Agustina. Aku bergegas mencari keberadaan ibu, ku lihat ibu sedang duduk di bawah sebuah pohon beringin dengan satu buah tampah dan terdapat sayur kangkung didalamnya, ia bersama satu mantan pasien disini. Aku berdiri, terpaku menatap ibu tersipu malu mungkin di goda oleh temannya yang sedang sama-sama memetik sayur. 11 hari tak bertemu ibu, ada sesuatu yang aku rasakan berbeda. Seketika saat ibu mengangkat kepalanya karena malu, ibu menatap aku. Kami bertemu tatap, entah kenapa kali ini tatapan ibu berbeda. Jauh berbeda dari ibu sebelumnya.
“Ibu..” Gumam mu.
Aku melangkah mendekati ibu, aku duduk dihadapan ibu dan memegang lututnya.
“Bu,…” panggil ku seraya memegang pipi ibu. Tak ada jawaban dari ibu. Ia menatap ku dan menepuk-nepuk kepala ku beberapa kali.
“Ini Gendhis Bu… Gendhis kangen ibu…” tangis ku tak terbendung karena ini kali pertama ibu mengusap rambut ku seraya menyebut nama ku dengan nada bingung. Aku memeluk paha ibu dan ku tumpahkan air mata ku di pangkuannya. Aku nikmati usapan demi usapan pada kepala ku. Ada kedamaian, ketenangan yang aku rindukan.Satu belaian yang selalu aku harapkan sebagai anak, sedari kecil tak aku dapatkan kini aku merasakannya.
“Gen-Dhis…Gen-Dhis….” UCap ibu berkali-kali melafazkan nama ku. Ia seolah-olah sedang mencari memori nya tentang nama ku. Aku menengadahkan kepala ku ke arah ibu. Dengan linangan air mata di kedua pipi.
“Iya bu… iya, ini Gendhis.. Gendhis anak ibu… Gendhis yang akan menangis kalau ibu kepang rambut gendhis… Gendhis yang akan menangis setiap kali tukang es krim lewat tapi ibu tidak belikan. Hiks… hikss..” tangis ku terdengar lirih. Satu usapan pada punggung ku membuat aku menoleh.
“Pulang umroh kok malah mewek..” goda bu Agustina.
Aku berdiri dan menyalami beliau.
“MAaf bu, aku rindu sekali dengan ibu.” Ucap ku malu.
“Alhamdulilah ibu mu sudah mulai bisa mengerjakan sesuatu walau belum bisa untuk diajak komunikasi, baru tiga hari ini, ibu mu ikut di bagian untuk bersih-bersih sayur.” UCap Bu Agustina.
Aku pun mengikuti Bu Agustina, aku memberikan oleh-oleh pada Bu Agustina. Sebuah tasbih dan satu kotak kecil yang berisi oleh-oleh khas orang pulang haji atau umroh.
“Repot-repot…. Terimakasih, bagaimana perjalanannya?” Tanya Bu Agustina.
“Masyaallah ingin kesana kembali rasanya bu…” UCap ku penuh semangat.
“Kamu pasti berdoa untuk ibu mu ya selama disana?” tanya bu Agustina.
Aku mengangguk, aku memang khususkan doa ku selama disana untuk ibu.
“Alhamdulilah perlahan tapi pasti, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Ibu mu ibarat benang kusut, maka harus pelan-pelan mengurainya. Kalau ibu pelajari, ibu mu memendam beban hidup sendiri tanpa berbagi dan saat ia tak mampu, ia justru menjadi seperti ini.” UCap Bu Agustina.
Aku menatap ibu yang masih fokus pada kangkung yang ia bersihkan. Ibu masih belum mengingat aku, tapi ketika bibir ibu menyebut nama ku itu sudah luar biasa bahagia rasanya.
“Gendhis?!” Panggil seseorang dengan suara khasnya.