Menjadi penghalang bagi hubungan saudarinya sendiri bukanlah pilihan yang mudah. Mau tidak mau Ran relakan dirinya demi keutuhan keluarga. Cacian, hinaan, tak dianggap, itu bukanlah hal yang baru. Ran memasang wajah palsu yang ia pertontonkan pada siapa pun.
“Di sini aku Ran. Apa kalian melihatku? Aku ada dan hidup di planet yang sama dengan kalian, tolong jangan abaikan aku ... aku sendiri.”
Setelah menikah apa hidup Ran akan berubah? Atau malah sama saja? Menjadi sosok yang dibenci banyak orang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rinnaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Dia sadar apa yang telah terjadi tadi malam, Ran tak berani bangun bertatap muka dengan Guren. Malu, kapan Guren akan pergi? Sejak tadi pria itu berhadapan dengan komputer hingga Ran pura-pura tidur seperti ini.
Jadi, apa dia mendengar obrolan Guren dengan Miztard? Tidak, Ran baru setengah jam yang lalu bangun sedangkan Guren sudah berhadapan dengan komputer selama dua jam.
Mau sampai kapan Ran berpura-pura seperti ini? Tidak tahu, mungkin sampai Guren pergi atau mandi ... pas! Ran bisa mendengar Guren beranjak dari duduknya, menuju kamar mandi.
Ran membuka mata untuk memastikan, ternyata benar. Langsung dia ingin turun dari kasur, tapi....
“Aw!” Ran tak sengaja memekik ketika dia ingin menggerakkan kaki.
Guren refleks menghadap ke belakang. “Ran.” Dia menghampiri Ran.
Mau tak mau Ran berhadapan dengan Guren, merutuki kebodohannya yang memekik dikala dia memiliki peluang untuk kabur tanpa ketahuan. Mau bagaimana lagi? Itunya sakit.
“Kau tidak apa-apa?” Guren menaikkan kembali kaki Ran yang telah berjuntai di lantai ke ranjang.
Sambil mempertahankan selimut yang meliliti tubuh, Ran mengangguk tidak berani mengangkat kepala.
“Kau mau mandi, ya?” Dia bertanya, tapi tak menunggu jawaban Ran, Guren mengangkat tubuh Ran, dibawa masuk ke kamar mandi.
“A-aku mau kembali ke kamarku saja,” pinta Ran namun tidak digubris oleh Guren.
Dia menghidupkan keran mengisi bathub juga meletakkan Ran di dalamnya. Ran belum melepaskan selimutnya, saat Guren hendak menariknya namun Ran bersikeras mempertahankan selimut.
“Lepas, Ran.”
“Engga! A-aku malu,” tutur Ran memberontak. Selimut itu sudah basah dengan air yang mulai tinggi, tak peduli dengan itu Ran hanya ingin menutupi ***********.
Namun bukan Guren namanya kalau menyerah, pria itu terus menarik selimut Ran hingga terlepas. Sontak Ran menenggelamkan diri ke dalam air, menyisakan bagian mata dan juga hidungnya untuk bernapas.
“Aku sudah melihat semuanya, untuk apa kau malu?” Selanjutnya Guren melepas handuk yang melilit di pinggangnya. Melihat itu Ran memalingkan wajah yang bersemu merah.
Kecipak air melimpah ketika Guren juga masuk ke dalam bathub, berhadapan dengan Ran terus melihat gadis yang tidak berani menaikkan pandangannya.
Astaga, kenapa Guren bersikap santai seperti itu? Padahal di sini Ran mati-matian menahan malu. Tiba-tiba tangan Guren bergerak menarik Ran agar mendekat, Ran sangat kaget ketika sadar dia duduk di pangkuan Guren.
“Kamu—hmps”
Bibir Ran disambar Guren, berusaha Ran melepaskan diri tapi Guren tidak membiarkan itu. Sampai Ran merasakan sesuatu yang keras di bawahnya, sesuatu yang membuat milik Ran sakit itu.
“Kau harus bertanggung jawab, Ran,” ucap Guren. Kemudian tangan Guren menangkap dada Ran, menatapnya lekat menambah rasa malu Ran.
“Tidak mau! Aku—ah!” Ran terjerit, tangan Guren mencubit biji apel di bawahnya. Rangsangan itu muncul seketika membuat Ran mendadak ingin lebih.
“Yakin tidak mau?” Guren terus memancing hasrat Ran. Dan dia berhasil, Ran tidak memberontak lagi, membiarkan apa yang ingin Guren lakukan.
Memang dasarnya buaya, tahu caranya memancing wanita.
Penyatuan di kamar mandi menciptakan gema suara mereka yang nyaring. Untuk saat ini Ran melupakan rasa malunya, tapi entak dengan nanti.
***
Ya, setelah satu jam lebih bermain di kamar mandi, semu di wajah Ran belum padam. Guren memesan makanan tadi, Ran memakannya seorang diri sebab Guren pergi berkata ada urusan penting.
Tiba-tiba Ran teringat dengan Pasya, wanita yang tega hendak mencelakai Ran. Selama ini Ran diam saja saat wanita itu menyebar fitnah tentangnya, tapi kali ini sepertinya tidak bisa dibiarkan lagi.
Jam segini Adit pasti sudah pulang sekolah, Ran menghubungi Adit menanyakan sedang apa Pasya sekarang.
“Kak Pasya? Oh, bersama Bang Guren tadi. Engga tahu mereka ke mana.”
Ran diam. Jadi itu yang dimaksud Guren urusan penting? Ran merutuki kebodohannya sendiri karena berpikir Guren sudah berubah. Eh, memang berubah, hanya sikapnya pada Ran tidak dengan hubungan Guren dengan Pasya.
“Kak?” panggil Adit karena tak mendengar suara Ran lagi.
Ran sadar dia harus bersikap bodoh amat akan hubungan mereka, seperti dulu. Ran tersenyum tipis, dia berhasil meyakinkan diri sendiri untuk meninggalkan Guren suatu saat nanti, ketika urusan dengan Arif selesai.
“Beri tahu aku jika dia sudah pulang.” Setelah itu Ran mematikan sambungan sepihak, Adit belum menjawab dia sudah mengakhirinya.
Selanjutnya Ran melihat pesan yang baru saja masuk dari Risti.
[Ran kau baik-baik saja? Kau dan Guren menjadi topik panas di kampus. Apa yang terjadi denganmu? Katanya kau menangis.]
[Aku baik-baik saja Ris. Oh ya, malam ini aku bisa menginap di rumah kamu enggak? Sekalian kerjakan tugas bareng.]
Membaca pesan Ran, Risti semeringah senang. Sebelumnya dia tidak pernah membawa teman menginap di rumahnya, dia juga tidak pernah menginap di rumah siapa pun termasuk rumah Miztard. Langsung saja dia menjawab ‘boleh' serta menawarkan akan menjemput Ran sehabis pulang dari kampus.
“Yes!”
“Kenapa kau senang begitu?” tanya Miztard heran. Dia menaruh curiga sebab Risti senyum-senyum tidak jelas dengan fokus di ponsel.
“Ade deh.”
“Kau chatingan sama cowok lain, ya?!” tuduh Miztard, mengintimidasi Risti.
“Ini Ran! ... Dia bilang mau menginap di rumahku.”
Miztard merebut ponsel Risti, setelah dia baca ternyata memang Ran. Dia mengembalikan ponsel Risti sembari mengusap-ucap kepala Risti agar Risti tidak marah karena Miztard tidak mempercayainya.
“A-aku cuman mau lihat jamnya saja kok Sayang, jangan salah paham,” alibinya.
“Terus yang di tanganmu apa gunanya?” Risti melirik sinis, ingin sekali dia menjambak rambut Miztard.
“Ini jamnya terlalu cepat, ehehe.”
Sedangkan di tempat lain, Arif berada di kursi taman kampus seorang diri, hubungannya dengan Miztard dan Guren renggang karena masalah yang sudah jelas kalian tahu. Dia sering sendiri, tidak mencoba dekat dengan teman laki-laki lainnya.
Di sini, terbayang olehnya tentang Ran yang berlari mengadu pada Guren dengan ekspresi yang belum pernah Arif lihat dari Ran.
“Kak Guren!” teriak Ran semalam.
Saat itu Arif sangat terkejut akan kehadiran Ran di tengah-tengah jam pelajaran. Satu yang Arif sadari, bahwa dia terpesona pada Ran detik itu.
Bagaimana cara gadis berlari meminta perlindungan, bagaimana cara gadis itu menunjukkan sisi lemahnya, dan bagaimana ekspresi khawatir Guren yang membawa Ran pergi meninggalkan kelas.
Ah sial, sekarang Arif menyesal telah melempar Ran ke kehidupan Guren. Dia iri, sebuah perasaan untuk Ran tiba-tiba hadir mengacaukan pikirannya.
“Aku harus apa?” gumamnya frustrasi.
Miztard benar, Arif bukan memberikan hukuman pada Guren, melainkan hadiah yang banyak diinginkan oleh para cowok di kampus, sekarang dia menjadi salah satu dari para cowok itu.
Bersambung....
akhir yang manis.
semangat💪🏻💪🏻💪🏻 selalu untuk karya2 mu yg lain.
perbaiki masa lalu kamu.
terbuka lah dg ran.
semangat up kak author
guren cinta sama kamu ran jadi tidak akan menyakiti kamu, semoga arif dapet balesan nya.
dan guren mau mendengarkan alasan dn penjelasan dr ran kenapa ran sampai pergi.
kasih pelajaran buat arif mak othor.
kuranga ajar si arif mau misahin ran sama guren kan kasian bayinya.
mak othor semoga sehat selalu😘😘😘.
syemangat💪🏻💪🏻💪🏻💪🏻
jangan lama2 yah thor buat ran perginya