Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
04
Tubuhku membeku. Nafasku tercekat, dan dunia seakan berhenti berputar. Aku tidak tahu berapa lama semua itu terjadi. Yang aku tahu, tubuhku terasa hampa, jiwaku seperti ditarik keluar perlahan-lahan. Saat semuanya berakhir, Leo hanya berdiri, menatapku tanpa rasa bersalah, seolah yang baru saja terjadi hanyalah hal sepele.
Dia membetulkan celananya dengan santai, lalu melemparkan kain ke arahku.
“Bersihkan dirimu. Dan jangan coba-coba buka mulut, Ray. Kamu tahu apa yang akan terjadi kalau kamu melawan.”
Aku tak menjawab. Tak bisa.
Begitu dia keluar dan suara kunci berputar dari luar, aku terbaring diam. Tanganku meraih selimut terdekat, menutup tubuhku yang terasa begitu kotor, terhina, hancur. Aku menangis. bukan hanya karena sakit, tapi karena perasaan tidak berdaya, karena kenyataan bahwa tidak ada seorang pun yang akan menyelamatkanku di rumah ini.
“Kenapa aku masih hidup…” bisikku pelan di antara isak tangis yang pecah.
Satu-satunya hal yang terlintas di pikiranku saat itu adalah, aku harus keluar dari neraka ini. Apa pun risikonya. Aku harus pergi. Atau aku akan benar-benar mati, entah secara fisik, atau perlahan dari dalam.
Tanganku gemetar saat meraih pakaian baru dari lemari. Tubuhku sakit, tapi lebih sakit lagi hatiku. terinjak, robek, dan dibiarkan membusuk dalam diam. Aku mengganti bajuku dengan perlahan, bahkan sentuhan kain pun terasa seperti pisau yang menggores kulit.
Setelahnya, aku duduk di sudut kamar, memeluk lutut dan menatap kosong ke arah dinding. Waktu terasa seperti lumpur, berat dan lengket, membuatku sulit bergerak. Tapi satu suara kecil di dalam kepalaku terus berbisik:
“Pergi, Raya… pergi sebelum mereka hancurkan semua yang tersisa darimu.”
Kupaksakan diriku berdiri. Kupandangi jendela untuk kedua kalinya malam ini. Aku tahu, jika aku menunda lebih lama, aku tidak akan punya keberanian lagi.
Aku mengambil tas kecil yang telah kupersiapkan, isi seadanya, tapi cukup. Beberapa lembar uang yang kusisihkan dari uang jajan yang jarang sekali diberikan, kartu identitas dan… foto kecil aku bersama mama, satu-satunya yang belum dirusak Linda.
Langit malam gelap dan sunyi. Bahkan bintang pun seolah enggan menyaksikan penderitaanku. Aku panjat jendela, berpegangan erat pada tepian kusen, lalu melompat perlahan ke tanah di bawahnya. Rasanya seperti melompat dari masa lalu ke masa depan yang belum tahu akan jadi apa.
Kakiku mendarat dengan bunyi lembut di rumput. Udara dingin menusuk, tapi aku merasa lebih hidup daripada sebelumnya. Langkahku kecil, hati-hati. Tapi setiap langkah menjauh dari rumah itu terasa seperti satu potong rantai yang terlepas dari tubuhku.
Aku tidak tahu akan ke mana. Tapi aku tahu kepada siapa aku ingin pergi. Dava.
Temanku satu-satunya. Orang yang selalu melihatku sebagai manusia, bukan beban. Bukan pelampiasan. Bukan bayangan dari kesalahan masa lalu orang tuaku.
Aku berjalan sejauh mungkin, menelusuri jalan setapak di antara pohon-pohon besar yang membatasi perumahan elite tempat keluargaku tinggal. Jalanan lengang, hanya suara serangga malam yang menemani langkahku. Aku menggigil, bukan hanya karena dingin, tapi karena rasa takut yang terus menggantung di udara. Setiap suara kecil membuatku menoleh panik, khawatir Leo menyadari aku tak ada di kamarku dan mengejarku.
Tapi aku terus berjalan.
Setelah hampir satu jam, aku tiba di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan mulai terlihat. Kaki dan punggungku terasa nyeri, tapi hatiku sedikit lebih lega. Aku tahu rumah Dava tak jauh dari sini. Aku pernah diam-diam mencatat alamatnya di buku catatanku dulu.
Langkahku berakhir di depan sebuah rumah sederhana bercat abu-abu pucat. Pintu kayunya tampak usang, tapi ada kehangatan yang terpancar dari cahaya lampu dalamnya. Rumah ini mungkin tak besar, tapi bagi seseorang sepertiku, itu adalah surga.
Aku maju pelan, mengangkat tangan untuk mengetuk pintu. Tapi ragu menyergap. Bagaimana jika dia menolakku? Bagaimana jika dia takut? Bagaimana kalau dia... berubah pikiran?
Namun aku tahu, aku tak bisa kembali. Jadi aku mengetuk, pelan, lalu sedikit lebih keras.
Tak lama kemudian, pintu terbuka sedikit. Mata itu muncul dari celah pintu, mata yang selalu tampak lembut saat menatapku.
“Raya…?”
Suara itu membuat tubuhku ambruk seketika. Segala pertahanan yang kupasang sepanjang jalan runtuh.
“Dava…” isakku pelan. “Tolong aku…”
Dava membuka pintu lebar-lebar. Matanya terbelalak melihat kondisiku. Pakaian kusut, wajah penuh bekas air mata, dan luka kecil di pelipisku yang sempat tergores ranting saat kabur.
Tanpa banyak tanya, dia menarikku ke dalam dan memelukku erat.
“Kamu aman sekarang, Ray. Kamu di sini. Sama aku,” bisiknya.
Pelukan itu membuatku akhirnya menangis sejadi-jadinya. Tubuhku gemetar di dalam dekapannya, seperti anak kecil yang akhirnya pulang setelah tersesat terlalu lama.
“Aku... nggak tahu harus ke mana lagi,” lirihku.
“Kamu nggak perlu ke mana-mana. Mulai malam ini, kamu tinggal di sini.”
Aku menatap wajahnya, mencari tanda apakah itu hanya kata simpati sesaat. Tapi yang kutemukan hanyalah ketulusan. Ketulusan yang selama ini hampir kulupakan bisa benar-benar ada di dunia ini.
Dava membimbingku duduk di sofa ruang tamu yang sederhana, lalu bergegas ke dapur. Tak lama, dia kembali membawa segelas air hangat dan selimut tipis. Aku menerimanya dengan tangan gemetar. Suara denting gelas saat menyentuh meja bahkan membuatku tersentak, refleks dari ketakutan yang masih membekas.
Dia duduk di sampingku, menjaga jarak, tapi tatapannya penuh perhatian.
“Raya... kamu mau cerita sekarang, atau nanti? Aku nggak maksa,” katanya pelan.
Aku menggigit bibirku. Suara Dava seperti dorongan halus untuk membuka semua yang selama ini terkunci. Tapi bibirku sulit terbuka. Lidahku kelu.
Aku menunduk, menatap tangan yang kotor dan penuh goresan. Lalu aku menarik napas dalam-dalam.
“Leo… dia. dia masuk kamarku malam ini,” bisikku akhirnya.
Mata Dava menegang. Wajahnya berubah. Tapi dia tidak menyela.
“Dia maksaku. Dia—dia...” Suaraku patah. Aku tak sanggup melanjutkan. Air mataku kembali jatuh.
Dava menggenggam tanganku perlahan.
“Aku ngerti. Kamu nggak perlu bilang semua sekarang. Tapi aku percaya kamu. Sepenuhnya.”
Kata-kata itu seperti selimut hangat di tengah badai. Aku tidak pernah tahu rasanya dipercaya sampai malam itu.
Setelah beberapa saat hening, Dava berdiri.
“Kamu butuh istirahat. Kamar adikku kosong. Kamu bisa tidur di sana malam ini. Besok... kita pikirkan sama-sama harus gimana.”
“Maaf, aku jadi merepotkanmu.”
“Raya,” ucapnya sambil menatap lurus ke mataku.
“Kamu nggak pernah sendirian. Sekarang, kamu punya aku.”
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku hanya mengangguk, perlahan, sambil memeluk selimutku lebih erat.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, aku tertidur tanpa dihantui ketukan pintu. Tanpa teriakan. Tanpa rasa takut yang terus menggigit jiwaku.
Esok hari, aku tahu aku harus menghadapi dunia. Tapi malam ini, aku boleh merasa aman, meskipun hanya sejenak.