Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.
“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”
Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 > Dibalik Kekuasaan Ada Cinta
Malam hari...
Hujan turun pelan di luar jendela mansion Varendra. Bukan hujan deras yang menggelegar, melainkan rintik halus yang jatuh perlahan, seolah langit sengaja meredam suaranya agar tidak mengganggu ketenangan di dalam rumah. Serene berdiri di depan jendela besar kamar utama. Ia mengenakan gaun rumah berwarna lembut yang jatuh longgar mengikuti tubuhnya yang kini semakin jelas mengandung. Tangannya bertumpu di kaca, matanya menerawang ke arah taman yang disinari lampu-lampu kecil.
Ia masih sering merasa seolah hidupnya bukan miliknya sendiri. Mahasiswi sederhana dengan beasiswa penuh. Hidup dari kerja paruh waktu. Tak pernah membayangkan dunia yang penuh kekuasaan, intrik, dan darah dingin. Namun kini... ia adalah istri dari Raiden Varendra.
Pria yang namanya cukup untuk membuat para pemimpin dunia berpikir dua kali sebelum mengambil keputusan. “Kau berdiri terlalu lama,” suara rendah itu terdengar dari belakang.
Serene menoleh. Raiden baru saja masuk kamar. Ia tidak mengenakan jas mahal atau setelan formal. Ia hanya mengenakan kemeja hitam sederhana dengan lengan tergulung, rambutnya sedikit basah karena baru selesai mandi. Namun, dalam kesederhanaan itu pun, auranya tetap kuat.
“Maaf,” ucap Serene pelan. “Aku hanya… memikirkan banyak hal.”
Raiden mendekat, berdiri tepat di belakangnya. Tangannya terangkat, tapi berhenti di udara. Sebuah kebiasaan kecil yang selalu membuat Serene sadar bahwa Raiden selalu berhati-hati padanya. “Boleh aku?” tanyanya lirih.
Serene mengangguk. Barulah Raiden meletakkan tangannya di bahu Serene, lalu perlahan melingkar ke depan, memeluknya dari belakang. Pelukan itu tidak menekan. Tidak menuntut. Hanya ada di sana, seperti dinding kokoh yang berdiri tanpa diminta.
“Kau selalu terlihat seperti sedang membawa beban sendirian,” kata Raiden.
Serene tersenyum pahit. “Mungkin karena aku terbiasa begitu.”
Raiden menggeleng pelan. “Tidak lagi.”
Ia menunduk, dagunya bertumpu ringan di bahu Serene.
“Aku ada di sini.” Kalimat sederhana itu membuat dada Serene menghangat.
***
Beberapa minggu terakhir, Raiden berubah. Bukan dalam hal kekuasaan atau ketegasan, tetapi dalam hal-hal kecil yang tak pernah ia perkirakan sebelumnya. Ia mengatur jadwal rapat agar tidak melewati waktu makan malam. Ia memastikan Serene selalu ditemani, namun tidak pernah merasa dikekang. Ia menghafal jadwal kontrol kehamilan dan bahkan lebih hafal dari Serene sendiri.
Pagi ini, mereka duduk di ruang makan yang luas. Meja panjang yang dulu terasa dingin kini diisi dengan kehangatan sederhana. Serene mengaduk supnya perlahan. “Raiden,” panggilnya ragu.
“Hmm?”
“Apa kau pernah… menyesal?”
Raiden berhenti makan. “Menyesal apa?”
“Menikah denganku,” jawab Serene jujur. “Hidupmu akan jauh lebih mudah tanpa semua ini.”
Raiden menatapnya lama. Lalu ia berdiri, berjalan mengitari meja, dan berlutut di samping kursi Serene. Gerakan itu yang membuat para pelayan yang kebetulan lewat menahan napas. “Serene,” katanya pelan namun tegas, “dunia mungkin menganggap hidupku luar biasa.”
Ia mengangkat wajah Serene dengan dua jarinya. “Tapi kau adalah satu-satunya hal yang membuat hidupku terasa nyata.”
Air mata Serene jatuh tanpa ia sadari. Raiden menyekanya dengan ibu jari. “Aku tidak pernah menyesal,” lanjutnya. “Aku hanya menyesal tidak menemukanmu lebih cepat.”
***
Siang hari...
Mereka mengunjungi dokter kandungan pribadi Varendra. Raiden duduk di samping ranjang pemeriksaan, tangannya menggenggam tangan Serene tanpa melepaskan sedetik pun. “Dua detak jantungnya sangat kuat,” ujar dokter sambil tersenyum. “Mereka berkembang dengan sangat baik.”
Serene tersenyum lega. Raiden menunduk, menyentuh perut Serene dengan hati-hati. “Kau dengar itu?” bisiknya. “Kalian membuat ibu kalian sangat kuat.”
Serene menatapnya, dadanya terasa penuh. “Kau akan menjadi ayah yang baik,” katanya lirih.
Raiden menoleh, terdiam sejenak. “Aku takut,” ucapnya jujur.
Serene terkejut. “Takut?”
“Aku takut gagal,” kata Raiden. “Aku tahu bagaimana menjadi raja. Aku tahu bagaimana menghancurkan musuh. Tapi… untuk menjadi ayah?”
Ia menghela napas pelan. “Aku tidak punya contoh.”
Serene menggenggam tangannya lebih erat. “Kau tidak perlu sempurna,” katanya lembut. “Cukup hadir. Seperti sekarang.”
Raiden menatapnya, matanya bergetar. Dan untuk pertama kalinya, Serene melihat ketakutan di balik kekuatan itu.
Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Kini malam datang membawa ketenangan lain. Serene duduk di sofa ruang keluarga, membaca buku kehamilan dengan alis berkerut. Raiden masuk, membawa secangkir susu hangat.
“Kau tidak minum ini,” katanya.
Serene mendesah. “Aku lupa.”
Raiden menyerahkan gelas itu, lalu duduk di lantai tepat di depan Serene. “Apa yang membuatmu terlihat seperti sedang menghadapi krisis dunia?” tanyanya.
Serene menunjukkan halaman buku. “Di sini tertulis bahwa emosi ibu memengaruhi perkembangan bayi.”
Raiden mengernyit. “Dan?”
“Dan hidup kita penuh emosi,” jawab Serene pelan.
Raiden tersenyum kecil. “Kalau begitu,” katanya, “aku akan memastikan emosi yang mereka rasakan adalah rasa aman.”
Ia meraih tangan Serene, menempelkannya ke dadanya. “Dengar,” katanya. “Detak jantungku hanya berlari untuk kalian.”
Serene tersenyum sambil menangis. “Kau terlalu romantis untuk pria yang ditakuti dunia.”
Raiden mendekat, menyentuh kening Serene dengan keningnya. “Karena dunia tidak perlu tahu bagaimana caraku mencintaimu.”
Namun malam tidak pernah benar-benar tenang bagi seorang Varendra. Di tempat yang berbeda. Kini ia berada di ruang kerjanya, Raiden berdiri di depan layar besar. “Ancaman baru?” tanyanya datar.
Arlo mengangguk. “Bayangan lama yang belum sepenuhnya mati.”
Raiden menatap layar, lalu menoleh ke arah pintu kamar tempat Serene tidur. “Aku akan menyelesaikannya,” katanya dingin. “Sebelum dunia ini kembali berani menyentuh keluargaku.”
Ia berjalan pergi, namun berhenti sejenak. “Pastikan penjagaan dilipatgandakan,” tambahnya. “Sehingga tidak ada celah.”
Arlo mengangguk. “Baik, Tuan. Dengan nyawa kami pun, kami akan pertaruhkan.”
Raiden kembali menatap layar. Karena meski hatinya kini hangat... mahkota kekuasaan tetap terasa berat. Dan Raiden Varendra tahu satu hal pasti: Ia akan menjadi pria paling kejam bagi musuhnya, dan pria paling lembut bagi wanita yang dicintainya. Namun jauh di balik bayang-bayang kekuasaan, sebuah rencana mulai bergerak perlahan. Dan cinta... akan kembali diuji.
***
Bersambung…