Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 4.
Tiyem hampir tersandung di ambang pintu, napas nya tersengal, wajah nya pucat seperti baru dikejar bayangan.
“Mak... ati ati!” teriak Sumilir yang sudah duduk di halaman bersama Warastri, bermain dengan anak kucing.
Tangan Tiyem gemetar, memegang ujung kebaya lurik nya yang basah oleh keringat.
“Nyi... tolong... tolong saya, Nyi Kodasih...” suara nya serak, di antara ketakutan dan keputusasaan.
Kodasih menoleh dari jendela.
“Ada apa, Tiyem?” tanya nya pelan, tapi nadanya tajam, seperti mengiris udara pagi.
Tiyem terisak, lutut nya masih gemetaran hampir lemas.
“Perempuan itu... tetangga saya, Nyi... sejak malam tadi kesakitan. Perut nya seperti diremas sesuatu. Darahnya keluar banyak sekali tetapi bayi di dalam perut nya tidak bisa keluar...”
Ia berhenti sejenak, menatap Kodasih dengan mata ketakutan.
“ Saya tahu Nyi Kodasih masih lelah dan berduka karena meninggalkan loji. Tapi perempuan itu sangat kesakitan hampir mati. Sedang suami nya pergi sejak kemarin sore, belum juga pulang pagi ini...”
Suasana di rumah mendadak hening. Suara api di tungku seperti menahan diri. Warastri dan Sumilir berhenti bermain, menatap mereka tanpa berani bicara.
Kodasih menatap Tiyem lekat lekat.
“Ke mana suami nya? Mencari dukun bayi?”
Tiyem menggeleng cepat. “Tidak tahu, Nyi. Katanya mau cari uang. Tapi... semalam dia bilang ada bayangan laki laki tinggi besar berjubah dan memakai topi lebar, berdiri di jendela rumahnya. Setelah itu, dia mulai merasa kesakitan.”
Kodasih diam lama. Matanya melirik ke kendi kecil di dekat jendela, air di dalam nya beriak pelan, padahal udara pagi begitu tenang.
“Warastri,” panggilnya lembut.
“Iya, Nyi...” suara imut Warastri mendongak dan menatap Nyi Kodasih.
“Temani Sumilir di sini, ya. Jangan keluar rumah.”
Kodasih mengambil tas kain dan kendi berisi air, daun kelor, bercampur bunga kantil.
“Tiyem, antar aku ke sana. Sumilir biar di sini dulu.”
Sesaat terdengar suara Mbok Piyah dari dapur. “Nyi, biar saya ikut.”
Kodasih menoleh sebentar, lalu menggeleng. “Tidak perlu. Mbok. Ini bukan kelahiran biasa.”
Nada suaranya membuat semua diam.
🍀🍀🍀
Jalan menuju rumah Tiyem terasa lebih sunyi dari biasa nya. Sisa kabut pagi menggantung di antara batang kopi, dan setiap langkah kaki seolah menggema terlalu keras. Di kejauhan, burung burung gagak berputar di langit, menandai sesuatu yang tak beres.
Tak lama, mereka tiba di rumah berdinding anyaman bambu. Dari dalam terdengar erangan panjang, berat, seperti datang dari perut bumi.
Begitu pintu dibuka, bau amis darah langsung menyeruak. Di lantai tanah, seorang perempuan muda tergolek di atas tikar daun pandan . Wajah nya pucat, rambut nya lepek oleh keringat Mata terpejam berurai air mata, mulut meringis menahan rasa sakit yang terlalu hebat. Perutnya besar, menonjol ke satu sisi, seolah ada sesuatu yang bergerak di dalam nya.
Kodasih berjongkok di sampingnya.
“Sudah berapa lama begini?”
“Sejak tengah malam, Nyi. Dia bilang anak nya ingin keluar, tapi setiap kali mengejan, yang terasa justru panas, bukan sakit biasa,” jawab perempuan paruh baya yang menemani.
“Mbah Rebo sudah mencoba menolong, tapi semakin sakit..” ucapnya lagi sambil menghapus air matanya yang meleleh.
Perempuan di lantai itu membuka matanya perlahan. Suaranya parau, seperti keluar dari tenggorokan kering.
“Nyi... tolong aku... aku tak mau mati... Tolong Nyi.. maaf...”
Kodasih menatapnya lembut. “Siapa namamu?”
“Sarinah...”
Kodasih menyentuh perutnya perlahan.
Bahu Sarinah naik turun, napasnya nyaris putus. Tubuhnya gemetar di atas tanah. Kodasih tetap di sampingnya, menekan pelan perut yang kian keras seperti batu.
“Tahan... jangan lawan. Biarkan keluar dengan caranya,” bisik nya. Tangan nya sigap menyiapkan kain bersih dan air hangat.
Tiyem berjongkok di dekat pintu, tak kuasa menatap. Cahaya matahari yang menembus celah dinding bambu tiba tiba bergetar aneh, warnanya berubah menjadi jingga lembut. Bukan merah darah seperti tadi.
Sarinah menjerit. Sekali... dua kali...
Lalu, di antara darah dan keringat yang keluar dari tubuhnya, terdengar suara kecil.. tangisan bayi.
OOOEEEEKKKKK
OOOOWWWEEEKKK...
Suara itu membelah kabut seperti doa.
Tiyem menutup mulutnya, terisak karena terharu. “Gusti... bayi... bayi laki laki, Nyi!”
Kodasih memotong tali pusar, mengangkat bayi itu perlahan, membersihkan tubuhnya dengan air dan kain. Kulitnya pucat, bibir biru ungu, tapi hangat. Jemarinya menggenggam kuat jari Kodasih.
“Anak ini lahir dari ketakutan, tapi juga dari ampunan,” ucap Kodasih lirih. Ia menatap wajah Sarinah yang kini tenang, seolah seluruh beban telah terangkat.
Sarinah tersenyum lemah. “Dia... dia hidup, Nyi?”
Kodasih mengangguk. “Iya. Dia hidup. Kau pun masih diberi kesempatan untuk hidup.”
Air mata Sarinah jatuh, bercampur dengan peluh di pipinya.
“Nyi... maaf.. maafkan Suami saya... dia jahat. Tapi aku... aku hanya ingin anakku lahir selamat...”
Suara tangis nya pecah,
“Hu... hu... suami saya ... bersama teman temannya... mereka akan merampok Nyi Kodasih...”
Sarinah terisak semakin keras, tubuhnya menggigil.
“Hu... hu... maafkan suamiku... hu... hu... hu... maafkan saya hu.. hu... ”
Kodasih diam. Ia menatap Sarinah lama, lalu menurunkan pandangan pada bayi di pelukannya.
“Tidak perlu takut,” ucapnya tenang. “Mereka sudah pergi dan tidak akan datang lagi.”
Sarinah menatap heran. “T-tidak akan... datang lagi?”
Kodasih menghela napas pelan.
“Pagi ini, sebelum aku tiba di sini , aku sudah melihat tanda tandanya. Burung gagak dan kendi di jendela beriak meski tak ada angin. Itu pertanda, arwah Tuan Menir keluar dari tempatnya.”
Tiyem menelan ludah, wajahnya memucat.
“Arwah... Tuan Menir, Nyi?”
Kodasih mengangguk perlahan. "Ya. Arwah itu tak pernah jauh dari tanah ini. Ia penjaga yang tidak kasat mata. Semalam, ketika niat buruk mulai berjalan, ia turun... dan menuntaskan.”
Sarinah terdiam. Air matanya terus jatuh tanpa suara.
“Jadi... suamiku...”
“Sudah menerima balasannya,” jawab Kodasih lirih.
Sunyi menggantung di dalam rumah.
Bayi di pelukan Kodasih menangis pelan, lalu tertidur. Di luar, sinar matahari menembus kabut, menghangatkan lantai tanah yang lembap.
Kodasih memandangi Sarinah dengan mata penuh iba., “Tak perlu menanggung dosanya. Dosa itu sudah kembali pada pemiliknya. Kau cukup rawat anakmu, dan jangan lagi biarkan ketakutan jadi tempat tinggal.”
Sarinah menggenggam ujung kain Kodasih, menciuminya sambil menangis.
“Terima kasih, Nyi... saya... saya tak pantas menerima ampunan ini...”
Kodasih tersenyum tipis.
“Tak ada yang pantas atau tidak, hanya ada yang mau belajar dari luka.”
Kodasih berdiri perlahan, menyerahkan bayi kecil itu ke pelukan ibunya.
Udara di ruangan terasa lebih ringan, seolah kabut yang tadi menggantung kini beranjak pergi bersama rasa bersalah yang lama.
Tiyem menatap keluar jendela. Cahaya matahari menimpa kendi di sana, airnya kini diam, jernih, tak lagi beriak.
Kodasih menatapnya sekilas dan berbisik, nyaris tak terdengar, "Sudah selesai, aku akan pulang ke rumah Mbok Piyah lagi..”
“Terima kasih Nyi.. Mari saya antar dan saya akan jemput Sumilir.” Ucap Tiyem sambil melangkah di belakang Nyi Kodasih..
Mereka berdua terus melangkah keluar dari rumah Sarinah menuju ke rumah Mbok Piyah....
Akan tetapi di saat mereka baru beberapa langkah melewati rumah Tiyem, terdengar suara seseorang memanggil dari arah belakang.
“Yem... Yem... Nyi!”
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣