Selina harus menerima kenyataan bahwa dirinya ternyata menjadi istri kedua. Tristan suaminya ternyata telah menikah siri sebelum ia mempersuntingnya.
Namun, Selina harus berjuang untuk mendapatkan cinta sang suami, hingga ia tersadar bahwa cinta Tristan sudah habis untuk istri pertamanya.
Selina memilih menyerah dan mencoba kembali menata hidupnya. Perubahan Selina membuat Tristan perlahan justru tertarik padanya. Namun, Selina yang sudah lama patah hati memutuskan untuk meminta berpisah.
Di tengah perjuangannya mencari kebebasan, Sellina menemukan cinta yang berani dan menggairahkan. Namun, kebahagiaan itu terasa rapuh, terancam oleh trauma masa lalu dan bayangan mantan suami yang tak rela melepaskannya.
Akankah Sellina mampu meraih kebahagiaannya sendiri, atau takdir telah menyiapkan jalan yang berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
04. Melepas beban di hati
Tristan seakan kehilangan keberaniannya. Ia hanya diam membisu saat Selina mengutarakan isi hatinya.
''Aku gak akan merasa bersalah atas apa yang udah aku lakukan ini, karena aku gak salah. Kalau Mas gak percaya dan masih saja menuduhku, silahkan cek CCTV di kafe ini. Kan, gak mungkin di sini gak ada CCTV?'' ujar Selina. ''Dengan begitu Mas Tristan pasti akan tau semua kebenarannya. Jangan bisanya menuduh tanpa bukti.''
Seketika Reykha berkeringat dingin, ia segera memutar otak berusaha mengalihkan pembicaraan. ''Aakh ... Mas. Wajahku perih, kayaknya melepuh kena saus tadi. Kita pulang yuk, Mas.''
Tristan segera mengalihkan fokusnya ke Reykha seakan tak memperdulikan penjelasan Sellina. Semua ucapannya bagai angin lalu.
''Aku gak bisa pulang sekarang, Sayang. Aku masih ada rapat, mereka sudah menungguku.'' ucap Tristan mencoba memberi Reykha pengertian. ''Kau pulanglah dulu, ya. Aku akan segera menyusul.''
Dengan terpaksa Reykha mengiyakan. Dengan wajah kusut ia hendak melangkah pergi.
''Tunggu!'' sergah Selina.
Dia memberikan Paper bag yang berisi belanjaan Reykha. ''Jangan lupa di bawa. Soalnya aku gak mau bawa apa pun yang bukan milikku.''
Reykha menautkan alisnya merasa kesal dengan sikap Selina yang semakin berani.
''Selina, cukup! Apa perlu kau sampai bersikap seperti itu?''
Selina menyunggingkan bibirnya sambil mengangkat kedua bahunya acuh. Ia bangkit, mengeluarkan beberapa lembar uang, di letakkannya di atas meja lalu pergi begitu saja.
Kedua lelaki yang sedari tadi memperhatikan mereka tak bisa tak merasa takjub. Ia mengira Selina akan menangis saat mendapatkan perlakukan intimidasi seperti itu, tapi ini sebaliknya. Hal itu lantas membuat mereka berdua tersenyum puas.
Sesampainya di rumah, Selina langsung masuk ke dalam kamar. Ia berbaring sambil memainkan ponselnya.
Di perhatikannya alamat Hotel yang baru saja dikirim Dania. ''Rasanya aku pernah mendengar nama hotel ini.''
Tangan Selina dengan lincah mengetikkan ''Matthew Boutique Hotel'' di kolom pencarian. Layar ponselnya menampilkan sederetan hasil, mulai dari situs web resmi hotel, ulasan-ulasan dari para pengunjung, hingga foto-foto yang memanjakan mata.
''wow ... ini kan hotel yang paling terkenal itu. Apa bu Dania gak salah nyuruh aku kerja di sana. Jangankan melamar kerja, mungkin baru aja nginjakin kaki di lobinya aku udah diusir,'' gumamnya, pesimis.
Ia merubah posisinya dengan terlentang, mengangkat ponselnya, menatapnya dengan lekat. ''Tapi setidaknya aku harus mencoba kan? Bu Dania pasti udah susah payah dapatin informasi ini.''
Selina bangkit. Melepas jilbabnya bersiap untuk mandi. Namun, belum saja sempat masuk kamar mandi, Reykha mendorong pintu kamarnya dengan kuat.
''Selina!'' teriak Reykha. Ia menerobos masuk membuat Selina terkejut.
''Apa tidak ada yang mau kau katakan, Selina?'' pekik Reykha, nafasnya tersengal-sengal. ''Kau udah buat aku malu di depan banyak orang, tau!''
Selina menghela nafas kasar. ''Apa lagi sih, Mbak. Aku udah biarin loh, masalah tadi. Mbak udah ngefitnah aku di depan mas Tristan, sekarang maunya Mbak apa?''
Kesabaran Selina seakan benar-benar diuji. Reykha semakin melampaui batas. Dulu saat dirinya mengikuti apa yang dia katakan, Reykha selalu bersikap manis dan lembut. Namun, sekarang benar-benar berbeda.
''Aku gak peduli! Sekarang aku mau kau minta maaf padaku.''
''Jangan mimpi, Mbak. Atas dasar apa aku harus minta maaf?'' ujar Selina, ia lantas mendorong tubuh Reykha keluar. ''Lebih baik, Mbak keluar sekarang juga karena aku mau mandi dan sholat.''
Bruak!
Selina membanting pintu tepat di depan Reykha.
''Selina!'' teriakan Reykha menggema ke seluruh ruangan, namun Selina tak peduli.
Reykha yang kesal memukul pintu itu lalu pergi dari sana. Namun, di sisi lain Selina terduduk di depan pintu. Kepalanya terbenam di antara kedua lututnya.
Sesekali ia memukul kakinya meluapkan kekesalan hatinya. ''Apa aku berdosa jika memiliki pikiran ingin cerai? Aku udah gak kuat lagi menahan semua ini. Mungkin aku terlihat kuat, tapi ... aku juga menderita, hiks ... hiks''
Dunia terasa begitu sunyi bagi Selina. Tak ada bahu tempat bersandar, tak ada telinga yang sudi mendengar keluh kesahnya.
Bahkan ibunya sendiri, tempat ia mencari kekuatan, kini menjadi alasan untuk menyimpan rapat-rapat luka di hatinya. Perceraian? Kata itu bisa saja menjadi hal yang bisa membuat ibunya kembali kambuh. Penyakit jantung sang ibu, satu-satunya alasannya menahan semua penderitaan ini.
Hanya pasrah dan doa yang kini menjadi teman setia, menemaninya menapaki jalan takdir yang entah ke mana akan membawanya.
Selina menyeret langkahnya yang terasa berat menuju kamar mandi. Di bawah pancuran, air dingin mengguyur tubuhnya, seolah ikut meluruhkan beban yang selama ini menghimpit pundaknya. Perlahan, ia bisa bernafas sedikit lebih lega.
****
Fajar belum sempurna menyingsing ketika Selina sudah merampungkan tugasnya. Rumah itu yang menyimpan kenangan pahit, telah ia bersihkan hingga setiap sudutnya. Sengaja ia bangun dan beraktivitas sepagi ini, hanya untuk menghindari pertemuan dengan Tristan dan Reykha.
Ia tak ingin melihat mereka, tak ingin berinteraksi barang sepatah kata pun. Kini dengan pakaian rapi dan hati yang tegar ia siap melangkah keluar.
''Bismillah ...''ucapnya lirih, namun penuh keyakinan, saat melewati ambang pintu.
Ia segera menaiki taksi yang sudah menunggunya.
Tak lama Tristan turun ke bawah. Dari semalam ia tak melihat Selina keluar dari kamarnya. Matanya sempat melirik ke kamar Selina sebelum ia turun ke lantai satu.
Namun, matanya mulai menyadari jika seisi rumah sudah kembali rapi dan bersih. Bahkan sisa makanan dan piring di wastafel sudah rapi semua.
Tristan menuangkan air ke dalam gelas. ''Apa Selina yang membersihkan semua? Kalau Reykha gak mungkin, bahkan dia belum bangun.''
Tiba-tiba keraguan menyergap. Selama ini Reykha selalu bangun terlebih dahulu dan mengatakan ia sudah membereskan semua seisi rumah. Dan Selina bertugas membuat sarapan pagi.
Namun, kadang ada saat ia ragu. Saat Reykha memberikan susu hangat semalam, dan makan malam yang ia masak, rasanya jelas berbeda dari biasanya.
Susu yang biasanya akan beraroma vanila yang membuatnya merasa tenang saat bekerja, namun beberapa hari ini susu itu terasa biasa saja. Tristan segera menepis pikirannya, tak ingin meragukan sang istri.
Sementara Selina berdiri terpaku di hadapan Matthew Boutique Hotel, sebuah mahakarya arsitektur yang menjulang tinggi seolah menyentuh langit.
Tulisan ''Matthew Boutique Hotel'' terukir megah di bagian atas, adalah simbol kemegahan hotel.
''Apa aku pantas kerja di hotel ini, bahkan jadi pelayan aja aku pesimis. Apalagi seorang sekretaris,'' gumamnya.
Keraguan mencengkeram hati Selina saat matanya menelisik keramaian di lobi. Gemerlap lampu kristal dan alunan musik klasik seolah mempertegas jurang perbedaan antara dirinya dan para pengunjung yang lalu lalang.
Di tengah kebimbangan yang menyesakkan, tiba-tiba seorang pelayan wanita, dengan seragam rapi dan senyum tulus menghampirinya. ''Kak Selina, ya?''
ditunggu kelanjutannya❤❤