"Kamu harus ingat ya, Maira, posisi kamu di rumah ini nggak lebih dari seorang pengasuh. Kamu nggak punya hak buat merubah apa pun di rumah ini!"
Sebuah kalimat yang membuat hati seorang Maira hancur berkeping-keping. Ucapan Arka seperti agar Maira tahu posisinya. Ia bukan istri yang diinginkan. Ia hanya istri yang dibutuhkan untuk merawat putrinya yang telah kehilangan ibu sejak lahir.
Tidak ada cinta untuknya di hati Arka untuk Maira. Semua hubungan ini hanya transaksional. Ia menikah karena ia butuh uang, dan Arka memberikan itu.
Akankah selamanya pernikahan transaksional ini bejalan sedingin ini, ataukah akan ada cinta seiring waktu berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon annin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 4 Ikut Saya
"Bu ... Ibu ...." Syafa meracau.
Maira yang tengah khusyuk berzikir langsung menoleh pada adiknya yang tidur di sofa. Gegas ia menghampiri Syafa yang masih meracau ketakutan. Keringat dingin bahkan bermunculan di dahi gadis itu.
"Dek, bangun, Dek." Maira menepuk-nepuk Syafa. Membangunkan adiknya yang mungkin tengah mimpi buruk.
"Syafa, bangun, Syafa," ulang Maira.
Syafa akhirnya bangun mendengar panggilan dari Maira. Ia menatap Maira bingung.
"Kamu, kenapa? mimpi buruk?" tanya Maira.
Syafa tak langsung menjawab. Ia menoleh pada ranjang perawatan ibunya.
"Kamu mimpiin Ibu?" tebak Maira.
Syafa hanya mengangguk. "Aku takut, Mbak."
Maira mengusap kepala Syafa. Menenangkan sang adik yang jelas-jelas sedang ketakutan. "Jangan takut, tidak akan terjadi apa pun pada Ibu. Kamu sudah dengar sendiri kan kata dokter, kalau kondisi Ibu sudah membaik."
"Tapi, Mbak ...."
"Sudah, kamu tidur lagi. Jangan mikir yang aneh-aneh biar nggak mimpi buruk."
Syafa mengangguk. Menuruti apa yang Maira katakan. Ia mulai merebahkan dirinya lagi. Sedang Maira kembali pada sajadahnya.
Maira mulai membuka mushaf Al quran, ia ingin mengaji sembari menunggu Subuh.
Dari atas sofa, Syafa melihat Maira yang begitu tenggelam dalam bacaannya. Syafa tak bisa tidur lagi. Ia putuskan untuk bangun dan mengambil wudhu. Ia pun melakukan salat malam, sembari menunggu Subuh.
Setelahnya Syafa hanya menyimak bacaan Al quran yang dilantunkan kakaknya. Sesekali ia menoleh ke ranjang perawatan sang ibu. Rasa takut dalam mimpi itu belum lagi hilang. Semua yang ia lihat dalam mimpi seperti nyata.
*
Keesokan pagi, Maira ijin pada Syafa untuk bekerja. Seminggu terakhir ia tinggal di rumah sakit. Berangkat dan pulang dari sana. Ia hanya pulang sesekali untuk mengambil baju ganti. Sedang Syafa, dari ibunya masuk sampai hari ini, gadis itu belum pulang ke rumah. Soal baju ganti, Maira yang urus.
Ia harus rela menunggui ibunya yang sakit, sebab hanya dia yang menganggur saat ini. Sementara Maira harus tetap bekerja untuk biaya hidup mereka.
"Mbak berangkat dulu, ya," pamit Maira pada Syafa.
"Hati-hati, Mbak."
Maira mengacungkan jempolnya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab Syafa.
Maira sudah memesan ojek melalui aplikasi di ponselnya. Hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai ke kantor.
"Pagi, Mai," sapa salah satu rekan Maira.
"Pagi, mbak."
Maira terus berjalan menuju ruangannya. Ia segera menaruh tas di atas meja di kubikel miliknya. Baru juga Maira akan duduk saat seorang rekannya memanggil.
"Mai, dipanggil bos, tuh!"
Maira menoleh ke ruangan bos yang disebut Sita. "Bu Rosmala udah datang?"
Sita hanya mengangguk. "Buruan!"
"Emang ada apa?"
Sita menggedikkan bahu. "Mana gue tahu. Udah buruan sana!"
"Ok." Tanpa banyak tanya lagi Maira beranjak ke ruangan Rosmala. Ia mengetuk pintu sebelum masuk.
"Selamat, pagi, Bu," sapanya.
"Selamat pagi, duduk Maira!"
Seperti perintah Rosmala, Maira duduk tepat di depan wanita yang sudah berusia lebih dari setengah abad tapi masih terlihat cantik tersebut.
"Jangan tegang gitu," goda Rosmala yang melihat raut tegang Maira.
Maira hanya tersenyum tipis menanggapi. Malu pada bosnya.
Rosmala merapikan berkas yang sempat ia buka sewaktu menunggu Maira. Ia memang jarang sekali datang pagi-pagi begini ke kantor, tapi hari ini ia seperti tak sabar bertemu dengan Maira.
"Bagaimana tanggapan kamu setelah bertemu dengan Arka kemarin?"
"Ehm ... itu, Pak Arka baik, Bu." Maira bingung bagaimana harus menggambarkan seorang Arka dengan sikap dinginnya kemarin.
Rosmala tersenyum puas. "Aku sudah mengatur semuanya, kita akan melakukan proses pernikahan kamu dan Arka secepatnya."
"Apa?" pekik Maira spontan.
"Kenapa, Maira, apa kamu berubah pikiran?"
Maira menggeleng tegas. "Tidak, bukan begitu, Bu. Hanya saja ...."
Tak mungkin Maira berubah pikiran. Ia mana berani, karena kalau ia berubah pikiran, ia harus mengganti semua uang yang sudah diberikan oleh bosnya ini.
"Hanya apa?"
"Ehm ... hanya saja, Ibu saya masih sakit, Bu. Apa boleh menunggu Ibu saya sehat dulu. Saya ingin meminta restu dari beliau kalau saya menikah nanti."
Rosmala nampak berpikir, lalu menyetujui apa yang menjadi keinginan Maira. Ia juga seorang Ibu, tentu ia pun tahu perasaan ibunya Maira. Pasti ingin menyaksikan pernikahan putrinya.
"Baiklah, kita tunggu Ibumu sembuh dulu. Nanti kamu beri tahu aku atau Arka kapan kami bisa datang menjenguk ibumu. Sekalian kami akan meminangmu secara langsung."
Maira semakin kaget. Padahal tadi itu hanya alasan untuk mengulur waktu pernikahan.
"Iya, nanti saya kabari."
"Sepulang kerja, kamu ikut saya, ya?"
"Ke mana, Bu?"
Rosmala hanya tersenyum. "Nanti juga akan tahu."
Maira menjadi penasaran ke mana bosnya akan mengajak dirinya, tapi Rosmala tak mau memberi tahu. Bosnya itu justru meminta Maira untuk melanjutkan pekerjaannya.