Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran yang Meremukkan
“Langit… Langit itu bukan anak biologisku, Arlan.”
Suara Raya bergetar hebat, lebih rapuh dari yang pernah Arlan dengar. Kata-kata itu melayang di udara, memecah kesunyian malam yang pekat, seperti pecahan kaca yang menghujam jantung. Arlan menatap Raya, sorot matanya yang hangat kini digantikan oleh kabut kebingungan, kemudian ketidakpercayaan yang membeku.
“Apa maksudmu, Raya?” Nada suara Arlan datar, terlalu datar. “Jangan bercanda. Ini bukan lelucon yang lucu.”
“Aku tidak bercanda,” Raya menggelengkan kepala, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. “Aku sungguh berharap ini hanya lelucon. Tapi ini… ini kenyataan, Arlan.”
“Kenyataan apa?” Arlan bangkit dari sofa, mendekat ke Raya. Tangannya meraih bahu wanita itu, mencengkeramnya erat, seolah ingin mengguncang kebenaran itu keluar dari Raya atau memaksanya menjadi sebuah kebohongan.
“Langit anak kita. Putraku. Bagaimana kau bisa mengatakan hal seperti itu?”
“Kita melakukan tes DNA,” Raya berbisik, memejamkan mata sesaat, seperti menanggung beban seluruh dunia. “Untuk mencari tahu penyakitnya. Tapi hasilnya… hasilnya menunjukkan bahwa… bahwa aku bukan ibu biologisnya.”
Cengkeraman Arlan mengendur. Wajahnya memucat, darah seolah lenyap dari setiap pembuluh. “Tes DNA? Kapan? Kenapa kau tidak memberitahuku? Kenapa kau melakukannya sendirian?”
Raya membuka matanya, menatap Arlan dengan tatapan memohon. “Aku takut, Arlan. Aku sangat takut. Langit sakit parah. Aku hanya ingin tahu apa yang bisa kita lakukan untuknya. Ketika hasilnya keluar… aku tidak tahu harus berpikir apa. Aku tidak tahu harus bicara apa padamu. Bagaimana aku bisa mengatakan hal yang sangat mengerikan seperti ini?”
“Mengerikan?” Arlan tertawa sinis, tawa tanpa kebahagiaan, hanya kepedihan dan kemarahan yang membuncah. “Mengerikan, kau bilang? Lebih mengerikan dari ini, Raya? Mengetahui bahwa istriku telah menyembunyikan kebenaran sebesar ini, sendirian, dariku? Sejak kapan?”
“Sejak tiga bulan lalu,” Raya mengaku, menundukkan kepala. Rasa bersalah menghimpit dadanya. “Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku mencintai Langit dengan seluruh jiwaku. Dia putraku, Arlan, tidak peduli apa pun hasil tesnya. Tapi aku harus mencari tahu. Aku harus mengerti bagaimana ini bisa terjadi.”
“Mengerti bagaimana ini bisa terjadi?” Arlan menarik tangannya, menjauh dari Raya seolah wanita itu adalah racun. Jarak yang tercipta di antara mereka terasa seperti jurang yang menganga, tak berdasar. “Apa yang kau maksud? Apakah kau… apakah kau selingkuh, Raya?”
Kata-kata itu menghantam Raya seperti tamparan keras. “Tidak! Arlan, bagaimana kau bisa berpikir seperti itu? Aku tidak pernah mengkhianatimu! Aku mencintaimu!” Raya menatap Arlan, matanya dipenuhi air mata. “Aku tidak pernah tidur dengan pria lain selain dirimu dan… dan Damar. Lagipula, Langit lahir di tengah pernikahan kita. Kita tidak pernah terpisah selama itu.”
Arlan memejamkan mata, mencoba memahami. “Kalau begitu, bagaimana bisa? Bagaimana bisa anak yang selama ini kita besarkan, kita cintai, kita anggap sebagai darah daging kita… bukan anak kandungmu?” Suara Arlan putus-putus. “Apakah ada kesalahan di rumah sakit? Pertukaran bayi?”
Raya menggigit bibir bawahnya, ragu. Ini adalah bagian tersulitnya. Bagian yang akan menghancurkan Arlan sepenuhnya.
“Aku… aku menyelidiki,” Raya mulai, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku mencari tahu. Aku menemukan beberapa hal. Petunjuk-petunjuk kecil yang awalnya terasa tidak berarti, tapi kemudian… kemudian membentuk sebuah gambaran yang sangat mengerikan.”
“Gambaran apa?” Arlan menuntut, kesabaran tipisnya sudah di ambang batas. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas tebing curam, dan Raya perlahan mendorongnya.
“Aku mencari tahu tentang klinik kesuburan tempat kita menjalani program IVF dulu,” Raya melanjutkan, suaranya naik satu oktaf, seolah dorongan adrenalin membantunya bicara. “Ada kasus di sana. Beberapa kasus yang tidak dipublikasikan. Kesalahan prosedur. Penyalahgunaan. Dan… dan aku menemukan nama yang terhubung dengan salah satu kasus itu. Nama yang familiar.”
Raya menarik napas dalam, mengumpulkan seluruh keberaniannya. Ia menatap mata Arlan yang kini sudah memerah, penuh dengan campuran emosi yang tak terbaca: amarah, ketakutan, kesedihan, dan penghianatan.
“Arlan, Langit… Langit kemungkinan besar… adalah anak biologis Damar.”
Hening.
Dunia seolah berhenti berputar. Udara di ruangan itu terasa begitu berat, menyesakkan. Arlan menatap Raya, tatapannya kosong, seperti jiwanya baru saja dicabut paksa dari raganya. Kemudian, seolah listrik tegangan tinggi mengalir melalui tubuhnya, seluruh tubuhnya menegang.
“DAMAR?!” Arlan meraung, suaranya menggema di seluruh ruangan, memecah kesunyian. Ia melangkah maju, mendekat ke Raya, wajahnya memerah padam. “Mantan suamimu itu? Bagaimana bisa? Ini tidak mungkin! Kau pasti salah! Kau berbohong!”
“Aku tidak berbohong!” Raya mundur selangkah, terkejut dengan ledakan amarah Arlan. “Aku punya buktinya, Arlan! Aku menemukan catatan. Damar juga pernah menjalani program IVF di klinik yang sama, pada waktu yang hampir bersamaan! Ada indikasi… indikasi bahwa spermanya mungkin… entah sengaja atau tidak sengaja… digunakan dalam program IVF kita!”
“Sperma Damar?” Arlan memuntahkan kata-kata itu dengan jijik, seolah itu adalah racun paling mematikan. “Langit… Langit adalah anak Damar? Bagaimana bisa kau tahu ini dan menyembunyikannya dariku selama ini, Raya?”
“Aku baru tahu pasti beberapa minggu ini!” Raya membela diri, air mata mengalir deras di pipinya. “Aku mengumpulkan potongan-potongan teka-teki itu sendirian! Aku takut, Arlan! Aku takut kalau aku memberitahumu, kau akan meninggalkanku! Kau akan membenciku! Kau akan… kau akan membenci Langit!”
“Membenci Langit?” Arlan menggelengkan kepalanya, matanya dipenuhi air mata yang sama pedihnya dengan Raya. “Bagaimana mungkin aku bisa membenci Langit? Dia adalah putraku! Putra yang kubesarkan! Putra yang kucintai lebih dari hidupku sendiri!” Ia menunjuk dadanya sendiri. “Tapi bagaimana dengan ini, Raya? Bagaimana dengan kebohongan ini? Bagaimana dengan Damar? Bagaimana bisa dia melakukan ini? Apakah dia tahu? Apakah ini semua adalah rencana busuknya?”
“Aku tidak tahu, Arlan,” Raya berbisik, hatinya hancur melihat Arlan seperti ini. “Aku tidak tahu apa motifnya. Aku bahkan tidak tahu apakah dia sadar atau tidak. Tapi aku punya koneksi yang menyelidiki ini. Mereka bilang… ini bisa jadi kecurangan yang disengaja. Untuk mengklaim keturunan.”
Arlan terhuyung mundur, menjauh dari Raya, lalu ambruk di sofa. Kepalanya dipegang erat dengan kedua tangan, rambutnya dijambak kasar. Isakannya tertahan, namun bahunya bergetar hebat.
“Semua ini bohong,” Arlan bergumam, suaranya serak dan putus asa. “Selama ini, seluruh hidupku… kebahagiaanku dengan Langit… semuanya palsu? Dia bukan darah dagingku? Aku bukan ayah biologisnya? Dan dia… dia adalah anak dari Damar, pria yang pernah menyakitimu, yang pernah menjadi bayangan di antara kita?”
“Dia putra kita, Arlan,” Raya berlutut di hadapan Arlan, meraih tangan suaminya. “Tidak peduli apa pun hasil DNA-nya. Dia putra yang kita besarkan, yang kita cintai. Yang memanggilmu Ayah. Dia butuh kita. Dia butuh kesembuhan. Dan dia butuh keluarga ini.”
Arlan menarik tangannya, menolak sentuhan Raya. Matanya merah, bengkak, dan dipenuhi kemarahan yang membakar. “Bagaimana bisa kau mengharapkan aku untuk menerima ini, Raya? Bagaimana bisa kau mengharapkanku untuk terus berpura-pura semuanya baik-baik saja, setelah semua ini? Setelah kau menyembunyikan kebenaran sebesar ini dariku?”
“Aku tidak memintamu untuk berpura-pura!” Raya balas berteriak, suaranya pecah. “Aku memintamu untuk memahamiku! Aku memintamu untuk melihat hatiku! Aku tidak pernah ingin menyembunyikannya darimu, tapi aku tidak punya pilihan! Aku harus memastikan! Aku harus tahu apa yang terjadi! Dan aku takut, Arlan! Aku takut kehilanganmu!”
“Dan sekarang, apa yang akan terjadi?” Arlan mendongak, menatap Raya dengan tatapan hampa. “Apa yang akan terjadi pada kita? Pada Langit? Apakah Damar akan muncul dan mengklaimnya? Apakah dia akan datang dan merobek keluarga kita menjadi berkeping-keping?”
Raya gemetar. Pertanyaan itu, pertanyaan itulah yang menghantuinya setiap malam. “Aku tidak tahu, Arlan. Aku tidak tahu. Tapi aku akan melindunginya. Aku akan melindungimu. Aku akan melindungi keluarga kita.”
“Melindungiku?” Arlan tertawa pahit. “Kau sudah melukaiku lebih dalam dari yang bisa kaubayangkan, Raya. Kepercayaan kita… sudah hancur. Fondasi keluarga ini… sudah retak. Bagaimana kita bisa membangunnya kembali?”
“Kita bisa, Arlan,” Raya memohon, air mata membanjiri wajahnya. “Kita harus bisa. Demi Langit. Dia butuh kita berdua.”
Arlan bangkit berdiri. Ekspresinya mengeras, dingin, dan asing bagi Raya. “Aku perlu waktu, Raya. Aku tidak bisa… Aku tidak bisa memproses semua ini sekarang.”
“Arlan, jangan pergi,” Raya mencoba meraih lengannya, tapi Arlan menghindar.
“Aku perlu sendirian,” Arlan berkata, suaranya tanpa emosi. “Aku perlu memikirkan semuanya. Siapa aku? Siapa Langit? Siapa kau? Semua yang selama ini kupercayai… ternyata hanyalah kebohongan besar.”
Ia berjalan menuju pintu, setiap langkahnya terasa seperti palu yang menghantam hati Raya.
“Arlan!” Raya memanggil, suaranya pecah, “Jangan biarkan ini menghancurkan kita!”
Arlan berhenti di ambang pintu, punggungnya menghadap Raya. Ia tidak berbalik.
“Hancur?” Arlan bergumam, suaranya hampir tidak terdengar, tapi kata-katanya mengoyak jiwa Raya. “Aku tidak yakin ada yang tersisa untuk dihancurkan, Raya.”
Pintu terbuka, dan Arlan melangkah keluar, menutupnya perlahan di belakangnya. Suara “klik” dari kunci itu bergema di keheningan, mengunci Raya sendirian dalam kehancuran yang baru saja ia ciptakan. Raya jatuh terhuyung, air matanya tak terbendung, meraung dalam kepedihan yang luar biasa. Suaminya pergi. Rumah tangganya di ambang kehancuran. Dan kebenaran itu… kebenaran itu baru saja merobek hati mereka berdua. Ia hanya bisa meringkuk di lantai, memeluk dirinya sendiri, sementara bayangan Damar dan masa depan Langit yang tidak pasti mengelilinginya, mencekiknya.