NovelToon NovelToon
CINTA DARI MASA LALU

CINTA DARI MASA LALU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Kehidupan di Kantor / Fantasi Wanita
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: ASEP SURYANA 1993

Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.

Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?

Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.

Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 4 — Bos, Magang, dan Makan Siang yang Rumit

Jam menunjukkan pukul 12.31.

Ruang redaksi Vibe Media dipenuhi aroma pasta instan, tawa kecil, dan suara keyboard yang tak berhenti. Tapi di meja Emma, suasananya sedikit berbeda — lebih sunyi, lebih... fokus.

Ryan bersandar di kursi seberang sambil menatap Emma yang sibuk mengetik. “Kau sadar nggak, kamu belum makan dari jam sembilan pagi?”

Emma tak mengalihkan pandangan dari layar. “Aku lagi nulis draf laporan proyek. Kalau berhenti sekarang, mood-nya bisa hilang.”

Ryan mendesah dramatis. “Mood, atau perutmu yang hilang?”

Ia berdiri, meraih ponselnya. “Oke, aku pesankan makanan. Pilih: salad sehat atau burger dosa?”

Emma menatap sekilas. “Aku pilih kerja.”

“Jawaban yang salah,” kata Ryan cepat, lalu menekan layar. “Burger ganda dengan keju dan kentang goreng. Done.”

“Ryan!” seru Emma, tapi cowok itu hanya tertawa kecil. “Kau pikir aku tidak bisa makan sendiri?”

“Bisa. Tapi kau nggak akan ingat,” jawab Ryan ringan. “Jadi aku pastikan kamu tetap hidup sampai proyek ini selesai.”

Emma menatapnya beberapa detik — dan akhirnya tertawa. “Kau tahu, kau sangat menjengkelkan.”

Ryan tersenyum, “Dan kau baru sadar sekarang?”

---

Beberapa menit kemudian, makanan datang. Mereka makan berdua di meja kerja, sementara orang lain sibuk di pantry.

Ryan mengunyah sambil menatap Emma yang masih membuka laptop.

“Jadi, gimana rasanya kerja satu kantor sama mantan?” tanyanya tiba-tiba.

Emma hampir tersedak. “Aku—apa?”

Ryan pura-pura polos. “Bos kita, Liam. Aku nggak buta, Em. Cara dia ngelihat kamu beda.”

Emma menatapnya tajam. “Ryan, jangan bahas itu di kantor.”

“Oke, tapi aku cuma mau tahu,” katanya sambil mencondongkan badan sedikit. “Apa kamu masih punya perasaan sama dia?”

Pertanyaan itu menggantung di udara.

Emma diam beberapa detik, menatap jendela, lalu berkata pelan, “Yang aku punya... cuma kenangan. Dan itu sudah cukup bikin ribet.”

Ryan menatapnya, ada sedikit senyum pahit di wajahnya. “Kalau begitu, aku punya kabar buruk.”

“Apa?”

“Kenangan kadang lebih keras kepala daripada cinta itu sendiri.”

Emma terdiam. Ia menatap Ryan — cowok muda yang mungkin terlalu jujur untuk kebaikan dirinya sendiri.

Sebelum ia sempat membalas, suara berat memecah suasana.

“Carter.”

Mereka berdua menoleh. Liam berdiri di depan meja, membawa map tebal.

Senyumnya tipis, tapi matanya... dingin.

“Bisa ke ruanganku sebentar?” katanya singkat.

Emma menegakkan tubuh. “Tentu, Pak.”

Ryan memandang keduanya bergantian. “Kalau butuh saksi, aku siap,” katanya pelan, setengah bercanda.

Emma hanya menghela napas dan berdiri, mengikuti Liam ke ruangannya.

---

Ruangan Liam tampak lebih sunyi daripada biasanya. Lampu putih di langit-langit menyoroti rak buku minimalis, meja kayu gelap, dan aroma parfum yang terlalu familiar bagi Emma.

Liam berdiri di belakang meja, membuka map, tanpa menatapnya dulu.

“Duduk,” katanya datar.

Emma duduk. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

“Aku melihat progres proyek interactive series kalian,” katanya pelan. “Cukup bagus untuk minggu pertama.”

Emma menatapnya, menunggu. Nada pujian itu terasa… mencurigakan.

Liam menutup map dan akhirnya menatapnya langsung. “Tapi aku ingin tahu satu hal.”

“Ya?”

“Apakah kau menganggap kantor ini tempat untuk... makan siang romantis?”

Emma membeku. “Maaf?”

Liam menautkan alis. “Aku melihat kau dan intern itu makan berdua di meja kerja. Dengan tawa keras. Itu bukan tampilan profesional yang ingin kulihat dari stafku.”

“Ryan hanya memesan makanan karena aku lupa makan!” kata Emma spontan. “Itu bukan—”

“—bukan urusan personal?” potong Liam. “Tapi kau lupa, Carter, orang di lantai ini senang sekali membuat gosip.”

Emma terdiam, menatapnya dengan ekspresi tak percaya. “Jadi sekarang aku diawasi?”

Liam menatapnya tanpa ekspresi. “Aku cuma memperingatkanmu.”

Emma berdiri. “Lucu. Dulu kau bahkan nggak peduli kalau aku makan atau enggak. Sekarang tiba-tiba jadi peduli banget, ya?”

Suasana menegang. Tatapan mereka saling bertemu — tajam, tapi penuh sesuatu yang belum sempat diucapkan.

Liam menundukkan wajah, menghela napas. “Aku hanya tidak mau reputasimu jadi bahan omongan.”

“Reputasiku, atau reputasimu?” balas Emma pelan.

Liam tidak menjawab. Hanya tatapannya yang berubah — lebih lembut, tapi juga lebih rumit.

Emma akhirnya berkata dengan suara datar, “Kalau tidak ada yang lain, saya kembali bekerja.”

Ia melangkah keluar. Tapi sebelum menutup pintu, Liam berkata pelan, hampir tak terdengar,

“Masih sama keras kepalanya seperti dulu.”

---

Di luar, Ryan sedang menunggu dengan dua cup kopi di tangan.

“Wow,” katanya saat Emma keluar dengan wajah datar. “Itu cepat. Kamu dipecat?”

“Belum,” jawab Emma ketus. “Tapi mungkin sebentar lagi.”

Ryan menyodorkan kopi. “Kau butuh ini. Latte penenang.”

Emma menerimanya, akhirnya tersenyum kecil. “Terima kasih. Dan tolong jangan pesan burger besok.”

Ryan mengangkat alis. “Baik, berarti aku pesankan pizza?”

Emma tertawa pendek. “Ryan, kau benar-benar—”

“—menyenangkan?” potong Ryan sambil berkedip nakal.

Emma menggeleng sambil berjalan ke mejanya. “Menjengkelkan.”

Tapi kali ini, senyum di wajahnya tak bisa disembunyikan.

---

Sementara itu, di ruangannya, Liam menatap keluar jendela dengan ekspresi yang tak terbaca.

Tangannya mengetuk meja perlahan, dan di layar komputernya — tab email masih terbuka, menampilkan folder lama bertuliskan:

📁 Emma Carter – 2020 Internship Files

Ia menatap nama itu lama.

Lalu menutup layar perlahan, menyandarkan diri ke kursi, dan berbisik pelan,

> “Aku seharusnya tidak membiarkanmu pergi waktu itu.”

---

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!