Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 17~ Menatap rembulan bersama
Amar
Ia sudah memakai jaket bomber miliknya sesaat setelah bunda bertanya, "mau kemana den bagus? Ini sudah malam? Keluyuurrrannn terus kerjaannya."
"Maaf ibunda, ada tugas yang lupa kuambil. Harus diambil hari ini, sebab sudah harus diketik."
"Tidak bisa besok saja memangnya?" tanya ayahanda. Kemilau sorot neon diantara celah kap lampu hias berukir di tengah ruangan kaputren begitu syahdu dan hangat untuk keluarga yang terlihat rukun-rukun saja di mata masyarakat meski memiliki selir.
Amar menggeleng, "kebetulan besok, orangnya ngga ngampus. Sekalian ketemu sama BEM yang tadi siang belum sempat ikut kumpul."
"Jangan pulang terlalu malam, den." Pesan amih Anarawati.
Amar mengangguk sementara Bahureksa masih dipusingkan dengan pekerjaan bersama Somantri membantunya. Wardana berkutat dengan tugas-tugas dan kisi-kisi ujian. Sementara Andayani, tengah berada disana, bermanja ria pada Mahiswar.
"Kakang, pulangnya bawa kue tapel ya..." Itu Andayani yang kemudian diokei Amar.
Ia menyusuri jalanan menuju rumah temannya di kampung Sirnagalih, kalau tidak salah itu namanya.
Membelah jalanan malam kota udang dimana area perkampungan akan nampak lebih sepi dibanding perkotaan.
Malam telah menjadi gelap, hanya diterangi cahaya bohlam yang berpendar dari rumah-rumah yang dilewatinya. Namun belum sampai di alamat tujuan, Amar melihat seseorang berlari dan terjatuh. Tepatnya seorang perempuan.
Masih ia perhatikan sembari mencari nomor rumah Fadli. Suara knalpot dan mesinnya yang cukup berisik, membuat Amar terpaksa mematikannya sejenak, demi melihat gadis itu kini menangis.
Iya, memang tak asing. Itu Sekar...gadis judes dan galak yang tak pernah tersenyum padanya sejak pertama bertemu. Alis Amar tertarik sempurna, apa ini? Ia menemukannya sedang menangis, sisi lain seorang Sekar yang semakin membuatnya penasaran. Bukan menyalakannya lagi, Amar justru mem-boseh (mengayuh) di jalanan berbatu dan tanah itu dengan kakinya mendekati tempat Sekar berada.
"Sekar?"
"Kamu, menangis di pinggir jalan?"
Gadis itu mendongak dengan wajah basahnya, sejenak Sekar menunduk menghabiskan isakan terakhir, untuk kemudian ia segera menyeka bekas air matanya itu. Tidak terbiasa menangis di depan orang lain dan Sekar tidak akan memulainya dengan menak ini.
Entahlah, apa ini bisa dibilang suatu kebetulan atau bukan, sebab setiap ia sedang dile cehkan begini, anak sultan ini yang selalu ada dan hadir di sisinya. Seperti---semesta sedang mendukung hal itu.
"Rumah kamu di sekitar sini?" tanya Amar mengedarkan pandangan dimana tak ada siapapun disana selain mereka, "waw. Cukup jauh dari sanggar Mayang yang ada di kampung Cikahuripan, ya.." angguk Amar mengoceh sendiri, ia sangat ingat betul dengan apa yang dikatakan amih Mayang waktu itu.
Sekar menggeleng, "saya bukan orang kampung sini," membuat Amar mengangguk sekali, ia turun dari motornya, menarik standar lalu duduk di samping Sekar.
"Terus, apa yang membuat kamu nangis di kampung orang, malam-malam?" tanya nya praktis membuat Sekar menoleh dengan sorot getir sekarang, menatap Amar seperti bersiap untuk menangis lagi.
"Maksudnya, siapa tau saya bisa bantu. Bukan mau merayu atau bertindak seperti lelaki playboy tapi, setidaknya jika urusan diplomat, mungkin saya bisa bantu, biar kasepuhan ada gunanya di mata kamu." Alibinya panjang sekali, matanya bahkan mengerjap memberikan kesan jika ia sungguh-sungguh tak sengaja berbicara seperti tadi.
Sekar masih menatap wajah lelaki berda rah biru ini, ia masih punya malu untuk mengatakan jika dirinya hampir saja dile cehkan orang sebab kebodohannya sendiri, dan disana Imas...Mungkin kesialannya ini akan menjadi lelucon untuknya, oh tidak.
"Saya lagi nunggu teman." Jawab Sekar sekenanya sambil mengembalikan tatapnya ke arah jalanan tadi.
Tak tau, setiap Sekar menyebutkan kata teman...Amar selalu penasaran, temannya lelaki atau perempuan? Alis Amar terangkat penasaran.
Amar melirik arloji di pergelangan tangan kanannya, "sudah malam. Apa bapak dan ibumu tidak mencari? Anak gadis keluyuran malam-malam, mungkin jika ngibing pengecualian..."
Benar, Sekar menunduk melihat batuan kerikil yang berada di sekitar kakinya sekarang, ia telah berbohong pada mak. Apa ini karmanya dan Imas karena telah berbohong?
"Jam berapa memangnya sekarang?" tanya Sekar, lihatlah hidungnya yang memerah itu, sungguh menggemaskan bersama mata yang sembab.
"Sudah pukul setengah sembilan malam."
Mulut Sekar terbuka, cukup terkejut. Ia jarang bahkan tak pernah keluar semalam ini jika bukan acara muludan atau acara keagamaan, itupun bersama mak.
"Temanmu orang sini? Kalau begitu saya temani, kebetulan teman saya juga orang sini. Saya tak sampai hati meninggalkan perempuan sendirian..."
Ia mencondongkan badannya ke arah Sekar, "disini rawan kejahatan." Ucapnya usil yang justru membuat Sekar menjauh memberikan jarak.
Tapi Amar justru terkekeh, "saya mah baik, yayi. Tenang saja...mana mungkin..."
Sekar mendengus, mungkin...kemungkinannya bahkan jauh lebih besar malah! Raut wajah Sekar jelas begitu kontras menunjukan isi hatinya itu. Dan Amar sadar tentang itu, "oke. Kakang Bahureksa memang begitu, tapi tidak seperti kelihatannya, kok. Apalagi saya, saya mah baik anaknya..." kikiknya narsis tak serta merta membuat gadis judes ini ikut tertawa.
Justru yang ada, wajah muak Sekar kembali terlihat ketika Amar mengoceh begitu.
Namun untuk sekarang...Sekar tidak mengusir atau mencoba pergi, kedatangan Amar setidaknya bisa menemaninya menunggu Imas. Dan perasaan merasa aman itu hadir kembali kala lelaki ini ada di dekatnya.
*See*, tangis Sekar berhenti, meskipun alasannya adalah ia yang tak mau menangis di depan orang lain, terlebih Amar.
Sekar merapatkan lututnya, menyelimuti itu dengan rapi menggunakan dress yang ia pakai, namun tak sekali pun ia melirik Amar yang ada di sampingnya, meski hanya untuk sekedar mengucapkan kata terimakasih.
Udara malam semakin menusuk, tapi tak sedikitpun Sekar menunjukan rasa menggigil meskipun kulitnya terkadang meremang menahan sapuan angin dan suhu dingin.
Sesekali Sekar menatap ke arah jalanan kosong, dimana tak seorang pun yang muncul atau melintas dengan harapan Imas segera muncul.
"Seandainya kalau saya ngga datang, apa kamu ngga takut sendirian disini?" Amar menatap Sekar yang tengah melihat rembulan, dimana malam itu begitu besar memendarkan cahayanya, tak ada sepatah katapun yang Sekar lirihkan sebagai pengharapan namun jelas matanya kini sudah bercengkrama pada sinar yang lembut itu.
"Gelap? Setan, orang jahat maksudnya? Atau binatang buas?" Lirikan mata sayunya seakan membius suasana menjadi syahdu, "saya takut. Tapi dunia tak pernah memberikan saya kesempatan untuk merasa takut." Ucapan lirihnya menyiratkan arti lelah tersendiri, tanpa ia sadari. Dan Amar tengah menyerap memahami itu.
Amar mendengus geli seraya mengangguk, ada makna dari senyumnya saat melihat Sekar, yang semakin membuat dirinya merasa haus akan rasa penasaran terhadap gadis disampingnya.
Waktu itu, ia penasaran dengan namanya, setelah tau namanya, Amar penasaran dimana rumahnya, setelah tau alamatnya, Amar penasaran ingin bertemu lagi, dan setelah kini bertemu lagi, Amar justru semakin penasaran dengan sosok kesehariannya...
Kini Amar menggosok kedua lututnya melirik kembali arlojinya, "mungkin teman yang kamu tunggu lupa atau ingkar. Mau saya antar pulang? Cikahuripan kan? Atau justru mau ke warung kopi dulu, buat menghangatkan badan?" jedanya memberikan penawaran.
"Disana, tadi saya lihat warung kopi. Kita bisa tunggu temanmu disana."
Sekar tetap menggeleng, "dia pasti datang, dia pulang ke tempat yang sama dengan saya." Entahlah, ucapan Amar tadi justru semakin membuat Sekar takut, takut jika Imas....
"Maksudnya, kalian datang kesini malam-malam, hanya berdua? Dia pacar kamu?" tanya Amar kini sedikit menginterogasi Sekar.
Sekar menatap Amar gamang, "bukan pacar, teman saya perempuan. Dan iya, kami hanya berdua..." Sungguh jawaban konyol yang tidak perlu ia kemukakan sebenarnya. Jatuhnya itu, seperti ia yang sedang kepergok jalan bersama selingkuhan.
"Astaga, Sekar....mau apa datang ke kampung sepi begini?" tanya nya lagi semakin mencecar. Ia seperti melihat diri Andayani saat melihat Sekar, bagaimana jika itu Anda, maka ia sangat marah.
"Saya ngga bisa ngomong." Jawabnya.
Lelaki itu menegakan badannya, "oke. Saya tidak tau ada urusan apa kamu dan temanmu disini, tapi ini terlalu konyol untuk kamu semalaman ada disini, mungkin di rumah...orangtua kamu, keluarga kamu sedang mengkhawatirkan kamu."
Tatapan judes itu lebih lunak sekarang ketika ia takut dan mungkin sedang berada dalam masalah. Tapi ya ampun....wajah memelasnya itu, bisakah Amar tangkup dan kecup?!
Diantara keputusasaan Sekar, dari kejauhan muncul benda kecil yang terlihat berjalan, ia seperti sedang memeluk dirinya sendiri.
"Imas!" seru Sekar membuat Imas mendongak melihat Sekar.
"Kar!"
Sekar beranjak dan berlari ke arah Imas, bergegas melihat keseluruhan inci tubuh temannya itu ya justru----
"Aku sudah pasang susuk, Kar. Aku sudah berhasil. Kelihatan bercahaya ngga?" tanya nya yang tak sengaja posisi mereka ada di bawah lampu jalan.
"Gilaa kamu!" umpat Sekar membentak, "aku disini khawatir sama kamu, tapi kamu?!" sembur Sekar langsung memeluk Imas.
Sekar melepaskan pelukannya, "kamu tau, aku sampe muter otak gimana caranya balik kesana buat bawa kamu pulang?! Kalo sampe kamu kenapa-napa aku harus apa?! Jangan pernah begitu lagi Imas!!" kembali Sekar membentak dan menjerit.
"Kamu mau jadi ronggeng terkenal?! Ambil posisiku Imas, tapi ngga begini lagi...jangan pernah begini lagi..."
Imas tersenyum getir dan memeluk Sekar lebih erat.
"Maaf, aku sudah bikin kamu repot. Kar...aku mau tanya, kamu baik-baik aja kan, ngga kenapa-kenapa?" tanya Imas digelengi Sekar.
"Kamu nungguin aku, Kar?" lantas Imas melirik seseorang dengan motornya di belakang sana, "Kar...Kar...kamu barusan sama siapa? Bukan dedemit kan?" Imas menyipitkan matanya.
Sekar menoleh ke belakang, dimana Amar masih ada disana.
.
.
.
.
q juga kalau jari sekar ogah hidup enak banyak duwit tapi tekanan batin, yang ada mati muda dih sayang amat🙈
Bukk jangan hina tikus ya, tikus di Ratatouille visa masak Lo.
ibuk liat Sekar itu tikus ya.. kasian aku sama ibuk ini , matanya sakit kah?? jangan² katarak ya makanya gk bisa bedain manusia sama tikus🤪