Nurma Zakiyah adalah seorang siswi Sekolah Menengah Umum (SMU) yang ceria, namun hidupnya seketika dilanda tragedi. Sang ayah terbaring sekarat di rumah sakit, dan permintaan terakhirnya sungguh mengejutkan yakni Nurma harus menikah dengan pria yang sudah dipilihnya. Pria itu tak lain adalah Satria galih prakoso , guru matematikanya yang kharismatik, dewasa, dan terpandang.
Demi menenangkan hati ayahnya di ujung hidup, Nurma yang masih belia dan lugu, dengan berat hati menyetujui pernikahan paksa tersebut. Ia mengorbankan masa remajanya, impian kuliahnya, dan kebebasannya demi memenuhi permintaan terakhir sang ayah.
Di sekolah, mereka harus berpura-pura menjadi guru dan murid biasa, menyembunyikan status pernikahan mereka dari teman-teman dan rekan sejawat.
Bagaimanakah kelanjutan rumah tangga Nurma dan Satria?
Mampukah mereka membangun ikatan batin dari sebuah pernikahan yang didasari keterpaksaan, di tengah perbedaan dunia, harapan, dan usia, bisakah benih-benih cinta tumbuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepergok Rea
Motor sport Satria berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Begitu Satria dan Nurma turun, mereka bergegas masuk. Suasana di dalam rumah begitu sepi dan terasa lengang.
Pagi tadi, Ibu Widia, ibunda Nurma, memang sudah berpesan bahwa ia akan menginap di rumah Bude Minah dan tidak pulang hari ini, sebab Pakde Yanto, suami Bude Minah telah kembali ke Kalimantan untuk melanjutkan pekerjaannya setelah masa cuti habis.
Keadaan rumah yang kosong ini secara tidak langsung memberikan ruang privasi bagi pasangan suami istri yang pernikahannya harus dirahasiakan ini.
Di dalam rumah, kecanggungan yang sempat meliputi mereka di awal-awal pernikahan kini telah hilang sepenuhnya. Satria dan Nurma terlihat sangat dekat dan akrab. Satria merasakan kenyamanan luar biasa saat berada di sisi Nurma, sebuah dorongan kuat yang membuatnya ingin selalu berada di dekat istrinya. Begitu pula dengan Nurma, ia seolah tidak ingin berjauhan dengan Satria. Meskipun keduanya belum pernah secara verbal menyatakan perasaan cinta mereka, bahasa tubuh dan tatapan mata mereka sudah cukup mewakili hadirnya benih-benih cinta yang mulai tumbuh subur.
Setelah menunaikan salat Magrib berjemaah, Satria memiliki ide untuk membuat suasana semakin spesial.
"Biar aku yang masak malam ini. Kita buat makanan spesial."
"Wah, ide bagus, Mas! Aku siapkan bahan-bahan dan alat masaknya ya."
Satria pun bergegas pergi ke minimarket terdekat, dan tak lama kemudian ia kembali membawa sekantong belanjaan berisi satu ekor ayam utuh dan beberapa jenis sayuran.
Mereka berdua mulai bekerja sama di dapur. Nurma membersihkan sayuran, sementara Satria sibuk memotong daging ayam. Sesekali, bahu mereka bergesekan, menciptakan sengatan listrik kecil yang terasa menyenangkan.
Saat Nurma mencoba meraih wadah bumbu di rak atas, kakinya terpeleset sedikit karena lantai dapur yang licin.
"Aduh!"
Dalam sekejap, Satria bereaksi cepat. Ia meletakkan pisaunya dan meraih tubuh Nurma. Tubuh mungil Nurma jatuh tepat ke dalam pelukan Satria, beruntung masakan mereka sudah matang di atas kompor. Keduanya saling berpandangan, Satria menahan Nurma agar tidak terjatuh.
Mereka pun tertawa lepas secara bersamaan, menertawakan keteledoran Nurma dan kecepatan reaksi Satria. Setelah tawa mereka mereda, suasana di dapur tiba-tiba menjadi hening. Mereka masih dalam posisi berpelukan erat. Jarak yang sangat dekat, detak jantung yang beradu, dan kehangatan yang berbagi membuat hasrat yang selama ini tertahan mencuat ke permukaan.
Di saat yang sama, di luaran sana, Rea baru saja tiba di depan rumah Nurma. Ia berniat mengembalikan buku catatan milik Nurma yang tadi sempat ia pinjam.
Rea melihat pintu rumah Nurma sedikit terbuka. Ia merasa senang karena bisa memberi kejutan kepada sahabatnya. Namun, sebelum masuk, pandangannya menangkap sepasang sepatu pantofel pria yang ia kenali di rak sepatu teras.
Rea terkejut dalam hati. "Itu kan sepatu Pak Satria?! Kenapa Pak Satria ada di rumah Nurma jam segini? Jangan-jangan mereka..."
Rasa penasaran mengalahkan rasa ragunya. Ia melangkah masuk perlahan-lahan.
Rea berteriak pelan."Nurma! Aku balikin buku lo..."
Langkah kaki Rea membawanya semakin dalam, mencari keberadaan Nurma dan Satria yang ternyata berada di dapur.
Mata Rea sontak membelalak, buku yang dibawanya hampir terjatuh. Ia terpaku di ambang pintu dapur. Pemandangan di hadapannya membuat dirinya syok berat.
Ia melihat Nurma dan Satria, saling berciuman mesra di tengah dapur. Itu bukanlah ciuman selayaknya paman dan keponakan, melainkan ciuman yang sarat akan cinta dan gairah suami istri.
Rea tidak sanggup menahan keterkejutannya. Ia menjerit dengan suara yang histeris.
"AAAAAAAHHHHHH!!!!"
Jeritan itu sontak membuat Nurma dan Satria terlonjak kaget. Mereka segera melepaskan ciuman, menoleh ke arah sumber suara, dan mendapati Rea berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat dan mata terbelalak, sebuah pemandangan yang membuat Nurma dan Satria juga terkejut tak percaya.
Jeritan histeris Rea membuat suasana di dapur yang tadinya hangat langsung berubah menjadi tegang dan mencekam. Satria dan Nurma sama-sama terkejut, tak percaya bahwa salah satu murid sekaligus sahabat Nurma telah memergoki rahasia terbesar mereka.
Nurma adalah yang pertama bereaksi. Ia bergegas menghampiri Rea, wajahnya memancarkan kepanikan yang luar biasa. Ia meraih tangan sahabatnya itu.
"Rea, tunggu! Jangan teriak! Dengar dulu penjelasanku!" Ucap Nurma memohon.
Rea masih berdiri mematung, matanya berkaca-kaca antara marah dan bingung. Melihat Rea yang terlanjur syok dan melihat semuanya, Nurma menyadari bahwa ia tidak punya pilihan selain berkata jujur.
Mereka berdua lalu duduk di ruang tamu. Dengan suara bergetar, Nurma menceritakan semuanya: tentang perjodohan mendiang ayahnya,tentang janjinya dengan sahabatnya dan juga tentang desakan ayahnya yang sekarat, dan bagaimana ia akhirnya terpaksa menikah dengan Satria di hadapan ayahnya tepat sebelum ayahnya menghembuskan napas terakhir.
Rea yang awalnya diliputi rasa kesal dan marah karena merasa dibohongi, namun perlahan-lahan ia mulai melunak. Rea melihat kejujuran dan kepedihan di mata Nurma. ia pun akhirnya mengerti bahwa Nurma tidak bersalah; ia hanyalah korban dari keadaan yang memaksa dirinya merahasiakan pernikahan, terutama mengingat status Nurma sebagai pelajar dan Satria sebagai guru.
Sementara itu, Satria merasa sangat malu karena telah kepergok oleh muridnya sendiri. Ia ikut bergabung, duduk di samping Nurma, dan menambahkan detail yang menguatkan cerita Nurma. Ia menjelaskan bahwa pernikahan itu adalah satu-satunya cara untuk memenuhi wasiat terakhir almarhum ayah Nurma.
"Bapak harap, Rea bisa mengerti posisi kami. Ini adalah rahasia yang sangat besar. Tolong, jangan sampai ada satu pun orang di sekolah yang tahu."
Setelah menjelaskan, Satria berinisiatif mengambil jarak. Ia permisi ke dapur untuk menghangatkan kembali masakan yang sudah selesai dimasak, memberikan ruang bagi Nurma dan Rea untuk berbicara lebih intim.
Begitu Satria pergi, Rea langsung mendekat ke arah Nurma, rasa penasarannya yang besar kini mengalahkan kekesalannya.
Wajahnya Rea masih penasaran, tapi suaranya kini lebih lembut.
"Jadi, lo beneran... istrinya Pak Satria?"
Nurma mengangguk pelan."Iya, Rea. Maafin aku, aku terpaksa..."
Rea menghela napas, dan mulai menerima.
"Ya ampun, Nurma. Shock banget aku. Pantas tadi siang di kantin kamu teriak waktu lihat thriller adegan ciuman di ponselku..."
Tiba-tiba wajahnya Nurma memerah karena malu. "I-iya. Itu... jadi teringat..."
Wajahnya Rea berubah menjadi nakal, ia merendahkan suaranya.
"aku ngerti sekarang. Terus, sebentar... Aku kepo banget, sumpah. Sudah berapa kali kamu melakukan itu dengan Pak Satria?"
Nurma malah menutup wajah dengan kedua tangannya karena malu.
"Rea! Kenapa sih kamu tanya sampai sedetail itu!"
Rea mendesak, mencolek lengan Nurma.
"Ayo jawab jujur! Kan aku sudah tahu rahasia kalian. Terus... yang paling penting, Nurma..."
Rea mendekatkan mulutnya ke telinga Nurma, ia berbisik.
"Apakah kamu sudah melakukan hubungan intim dengan Pak Satria? Kalian kan suami istri yang sah, sudah nikah secara agama di depan almarhum ayahmu, jadi Wajib, kan?"
Nurma merasa seluruh wajahnya kini serasa terbakar. Pertanyaan Rea yang sangat pribadi itu benar-benar membuatnya mati kutu dan malu. Ia hanya bisa menunduk dan terdiam, tidak mampu menjawab desakan sahabatnya yang sangat blak-blakan tersebut.
Bersambung...