Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Seorang Pria Hangat
Akhir-akhir ini aku sering menghabiskan waktuku untuk membaca novel berjudul 'Ugly Love' yang alur ceritanya semakin menarik. Aku terbawa, terhanyut dalam kisah emosional di antara kedua tokoh dalam novel tersebut, Tate dan Miles. Dimana Tate yang sebelumnya belum pernah menjalani sebuah hubungan yang serius mulai mempertanyakan kejelasan hubungan diantara dirinya dan Miles. Sementara Miles jelas belum bisa melupakan tragedi dan taruma besar tentang cinta dalam hidupnya, yang membuatnya tidak mau membuka hati dan terlibat ikatan emosional dengan seseorang. Sungguh sebuah percintaan yang kacau dan berantakan.
Sejujurnya, novel tersebut sedikit mengingatkanku pada diri sendiri, terlebih pada bagian Miles yang menutup diri dan hatinya, karena trauma percintaan di masa lalunya. Bagian tersebut berkali-kali mengingatkanku pada diri sendiri yang selama ini selalu menutup diri dan hati, karena bayangan kenangan masa lalu yang dengan susah payah kukubur dalam-dalam dan kulupakan.
Aku menemukan sebuah kutipan yang menarik, yang berbunyi 'Tuhan memberi kita hal-hal buruk, supaya kita tidak menganggap remeh keindahan hidup'. Kutipan tersebut sangat indah dan emosional. Dan itu seakan memberiku sebuah jawaban, bahwa selama ini mungkin Tuhan sengaja menghadirkan kenangan masa laluku sebagai sebuah pelajaran berharga, agar kelak ketika aku sudah menemukan kembali kebahagian dan hal-hal yang indah dalam hidup, aku akan lebih menghargainya. Jadi, aku tidak boleh menutup diri dan hati lagi, seperti yang dilakukan Miles. Aku akan melakukan rencana yang telah dibuat Nina, juga saran yang telah diberikan Jenny.
Berbicara soal Nina, aku belum bertemu dengannya lagi sejak dua hari yang lalu. Pagi-pagi tadi ia mengirim pesan untuk memberitahuku bahwa ia akan kembali besok pagi. Dan, ia kembali mengingatkanku akan rencananya untuk datang ke pesta musim panas bersamaku. Katanya, aku harus mempersiapkan diri dan hati untuk bertemu pria populer yang pernah ia ceritakan padaku. Aku jadi penasaran, sebegitu menawannya kah pria itu hingga Nina begitu memujanya? Aku akan segera mengetahui kebenarannya saat datang ke pesta musim panas lusa.
Menghabiskan hari-hariku dengan membaca novel di rumah akhir-akhir ini terasa agak membosankan. Rasanya aku butuh suasana baru. Lalu, semalam aku menemukan sepeda lamaku di gudang dengan kondisi yang masih baik. Jadi, pagi ini aku membersihkannya dari debu yang menempel pada rangkanya dan berencana untuk bersepeda dari rumah menuju jalanan di sekitar pantai Ben T. Davis yang berjarak sekitar 13 kilometer. Membaca novel di sana, sembari menikmati pemandangan langit senja di tepi pantai rasanya seperti ide yang menarik.
Aku melirik jam tangan di pergelangan tangan kiriku yang menunjukkan pukul tiga sore. Beberapa saat yang lalu aku sudah bersiap-siap, mengenakan pakaian yang nyaman untuk bersepeda, memakai tabir surya di seluruh wajah dan kulit tubuhku yang terbuka, juga mengemas beberapa barang ke dalam tas ransel kecil untuk dibawa ke pantai sana.
"Aku berangkat dulu, Bu!", kataku, berpamitan pada Ibu yang tampak sedang bersantai di ruang tengah sembari menonton acara tv favoritnya.
"Hati-hati, Sayang!", seru Ibu, mencium kedua pipiku.
Suasana di rumah terasa mulai sepi, sejak Ayah kembali bekerja sehari yang lalu. Hanya ada aku yang kebanyakan menghabiskan waktuku dengan membaca novel, dan Ibu yang tampak menikmati hari-hari terakhirnya sebelum kembali ke rutinitas pekerjaannya yang melelahkan.
Aku mengayuh sepeda lamaku, menyusuri jalanan utama pesepeda yang informasinya sudah kudapatkan melalui internet beberapa jam yang lalu, karena sudah sedikit lupa. Dari rumah lama kami yang berlokasi di Town n' Country, rute utama pesepeda akan dimulai dari Town n' Country Greenway, lanjut melalui Upper Tampa Bay Trail, kemudian menyambung ke Courtney Campbell Causeway Trail hingga ke pantai Ben T. Davis. Dengan waktu tempuh sekitar 50–55 menit.
Agaknya pemandangan di sepanjang jalanan utama pesepeda menuju pantai tampak cukup berbeda dari ingatanku saat terakhir kali bersepeda dan menikmatinya beberapa tahun silam. Atau mungkin ingatanku saja yang sudah mulai pudar. Rasanya dulu tampak lebih hijau dan rimbun, juga masih minim bangunan.
Jalur yang kulewati ini menghubungkan perumahan, taman kota dan jalur pesisir dengan permukaan paving yang rata dan aman untuk bersepeda. Kemudian, pada jalur Courtney Campbell Causeway Trail menyuguhkan pemandangan Teluk Tampa yang memukau di sepanjang jalur utama.
Dengan kecepatan santai sekitar 15 kilometer per jam, aku tiba di pantai Ben T. Davis saat waktu menunjukkan lewat pukul empat sore. Wajah langit masih tampak begitu cerah. Dan, suasana di pantai sore ini tidak terlalu ramai.
Aku memarkir sepedaku di parkiran khusus sepeda yang sudah disediakan disana. Kemudian, aku melangkahkan kaki menuju pantai, mencari titik terbaik untuk melanjutkan kegiatan membaca novelku sembari menikmati hembusan angin sepoi-sepoi dan suguhan pemandangan pantai yang menakjubkan.
Tepat di bawah pohon kelapa yang besar dan menjulang tinggi, aku melanjutkan setengah buku novelku yang masih belum kubaca. Melanjutkan kisah Tate dan Miles yang dengan mudahnya memporak-porandakan perasaanku. Aku benar-benar terbuai dan terhanyut ke dalam kisah percintaan mereka yang kian rumit dan menyakitkan.
Aku tidak bisa membayangkan jika menjadi Tate, sanggupkah aku mencintai seseorang yang tertutup secara emosional seperti Miles? Seseorang yang dingin dan angkuh karena trauma masa lalunya. Seseorang yang belum siap melibatkan perasaannya ke dalam sebuah hubungan. Namun, jika aku melihat dari sudut pandang Miles, tentu tidak mudah juga menjadi dirinya. Tidak mudah untuk sembuh dari luka masa lalu. Tidak mudah menjalani hidup dengan bayang-bayang kenangan di masa lalu. Jadi aku tidak bisa menyalahkan keduanya.
Aku menikmati kisah percintaan Tate dan Miles sejak wajah langit masih tampak biru cerah hingga berubah menjadi jingga kemerahan. Membaca novel di tepi pantai seperti ini memang membuat sang waktu seakan berjalan begitu cepat. Tanpa sadar, kini waktu sudah menunjukkan pukul enam sore.
Dengan gerakan cepat, aku mengemas novel dan barang-barangku ke dalam tas ransel kecil di sebelahku. Lalu, dengan setengah berlari aku menghampiri sepedaku di parkiran yang tampak mulai sepi.
"Ya Tuhan!", pekikku, melihat ban belakang sepedaku yang tiba-tiba kempes. "Apa yang harus kuperbuat?", gumamku pada diri sendiri, sebab aku sama sekali tidak mengerti persoalan sepeda.
Aku menyapukan pandangan ke sekitar area pantai. Mencoba mencari sebuah bengkel untuk memperbaiki ban sepedaku yang sepertinya bocor. Namun, sepertinya di dekat sini tidak ada bengkel reparasi atau semacamnya, jadi aku harus mencari ke area yang lebih jauh lagi.
"Hei! Butuh bantuan?", seru seorang pria dengan suara yang hangat dari arah belakangku.
Aku membalikkan badan dengan perasaan penuh harap. Semoga saja ia bisa membantuku mengatasi masalah yang terjadi pada sepedaku. "Sepertinya ban sepedaku bocor.", jawabku sambil menatapnya.
Pria yang tengah berdiri di depanku saat ini ternyata memiliki paras yang menawan. Tatapan matanya terasa hangat dan menenangkan, begitu juga dengan suaranya. Postur tubuhnya tinggi dan proporsional, dengan bahu yang lebar, kaki yang panjang dan otot lengan yang terlihat tapi tidak berlebihan.
"Boleh kuperiksa?", tanyanya, dengan nada lembut.
"Ya, tentu."
Pria hangat tersebut menghampiri sepedaku, memeriksa masalah apa yang mungkin terjadi.
"Sepertinya ban sepeda ini memang bocor.", katanya, setelah memeriksanya selama beberapa menit.
"Maka aku harus mencari bengkel untuk memperbaikinya.", kataku, sambil menghela nafas berat.
"Sepertinya aku bisa memperbaikinya.", sahutnya di tengah keputusasaanku.
"Sungguh?"
"Aku punya beberapa peralatan untuk memperbaikinya di bagasi mobilku. Jadi, mari kita coba!"
"Baiklah."
Pria itu melangkahkan kaki menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari tempat parkiran sepeda. Ia membuka bagasi mobilnya, mengambil beberapa peralatan untuk memperbaiki ban sepedaku yang bocor, lalu kembali menuju sepedaku untuk memperbaikinya. Sementara itu, aku berdiri tidak jauh dari posisinya, memperhatikannya yang tampak serius memperbaiki ban sepedaku.
"Sepertinya aku harus mengganti ban dalam sepeda ini, karena kelihatannya sudah terlalu tua. Aku tidak bisa menambalnya. Kebetulan aku punya ban dalam cadangan di bagasi mobilku.", ujarnya, langsung bangkit dari posisi jongkoknya untuk mengambil ban dalam cadangan di bagasi mobilnya.
Tidak lama kemudian ia kembali dengan ban dalam di tangan kirinya. Kembali berkutat dengan ban sepedaku yang sudah dilepasnya.
"Sebenarnya ini memang sepeda lamaku. Ini pertama kalinya aku memakainya lagi, setelah bertahun-tahun meninggalkannya di gudang.", kataku, mencoba mengisi keheningan di antara kami.
"Ya, aku bisa melihatnya dari kondisi ban sepedamu. Beruntung aku punya ban cadangan. Jadi, sepedamu terselamatkan.", katanya, sambil terus mengotak-atik ban sepedaku.
"Terimakasih sudah membantu.", ucapku. Sungguh, aku merasa beruntung bertemu dengan pria hangat ini. Berkat bantuannya, hari ini gagal masuk ke dalam daftar hari burukku.
"Sama-sama.", balasnya, sembari menyunggingkan senyuman simpul yang hangat. "Dan, selesai!", serunya lagi.
Pria hangat itu berhasil memperbaiki ban belakang sepedaku dalam waktu kurang dari tiga puluh menit. Wajah tampan dan kaos berwarna terangnya menjadi kotor oleh debu atau oli akibat membantu. Aku jadi merasa tidak enak oleh karenanya. Sungguh, aku beruntung karena bertemu pria baik dan hangat seperti dirinya di saat seperti ini.
"Sekali lagi, terimakasih atas bantuannya."
"Sama-sama. Seharusnya ban sepedamu sudah aman sekarang. Kamu tinggal di sekitar sini? Sebentar lagi tampaknya langit akan mulai gelap."
"Ya. Aku tinggal di Town n' Country. Tidak terlalu jauh dari sini."
"Jika kamu butuh tumpangan, aku bisa mengantarmu.", tawarnya.
"Tidak, terimakasih. Aku akan pulang bersepeda saja."
"Baiklah, kalau begitu. Berhati-hatilah!"
"Terimakasih."
"Sama-sama."
Dari arah tempat parkiran mobil sana, tiba-tiba terdengar suara seorang pria yang tengah memanggilnya. Dengan sedikit terburu-buru, pria baik dan hangat itu berpamitan padaku dan bergegas pergi, tanpa sempat kami berkenalan atau setidaknya mengetahui nama masing-masing.
Setelah itu, aku bergegas pulang, menaiki sepeda lamaku melintasi jalur bersepeda menuju rumah. Wajah langit sudah berubah gelap, ketika aku sampai di halaman rumahku. Aku menyimpan kembali sepeda lamaku di dalam garasi, bergegas membersihkan diri dari peluh yang menempel, lalu bergabung dengan Ibu dan Ayah di meja makan untuk makan malam bersama.
"Bagaimana kegiatan bersepedanya? Apakah menyenangkan?", tanya Ibu, sambil menyantap makan malamnya.
"Ya dan tidak.", jawabku.
"Kenapa begitu?", tanya Ayah, menatapku dengan penuh tanda tanya.
Aku menelan habis makanan yang ada di dalam mulutku, agar bisa menceritakan kejadian di pantai sore ini pada Ayah dan Ibu. "Aku bersepeda menuju pantai Ben T. Davis, melewati jalur bersepeda yang memiliki pemandangan yang sangat menakjubkan. Dan, sesampainya di sana, aku membaca novel sambil menikmati pemandangan pantai di depanku yang sangat indah. Jadi, itu sangat menyenangkan dan aku sangat menyukainya."
"Lalu, apa yang menjadi bagian tidak menyenangkannya, Sayang?"
"Ban belakang sepedaku bocor, saat aku berniat untuk pulang."
"Ya Tuhan! Lalu bagaimana, Sayang?"
"Beruntungnya, ada seorang pria yang membantuku memperbaikinya, Bu. Aku sangat berterimakasih padanya"
"Syukurlah, Sayang. Kamu bertemu orang-orang baik di sini."
"Ya. Aku juga bersyukur sekali, Bu."
"Oh ya, Nina masih belum kembali? Sepertinya Ibu belum melihatnya lagi sejak sore itu."
"Nina masih di Orlando, Bu. Dia bilang akan kembali besok pagi."
"Sejujurnya, Ibu sedikit merindukannya."
"Ya. Aku juga, Bu. Mungkin besok kita bisa melihatnya lagi."
"Ajak Nina main kesini, Sayang! Ibu akan membuatkan kalian cookies yang enak."
"Sepertinya, besok dia memang berencana datang, Bu."
"Kalau begitu, besok pagi Ibu akan membuat cookies untuk kalian, Sayang."
"Trims, Bu."
Aku langsung kembali ke kamar untuk melanjutkan kegiatan membaca novel, begitu menyelesaikan makan malam bersama Ayah dan Ibu. Aku sudah tidak sabar ingin mengetahui bagaimana kelanjutan hubungan Tate dan Miles yang begitu rumit. Sepertinya malam ini aku akan tidur larut malam. Aku berencana akan menuntaskan novel tersebut agar mengetahui bagaimana akhir dari hubungan Tate dan Miles.