NovelToon NovelToon
Sengketa Di Balik Digital

Sengketa Di Balik Digital

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Balas Dendam / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.

Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.

Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26: Melarikan Diri di Tengah Badai

Pilihan mereka adalah perlindungan yang ganas. Sasha mengikuti Zega, kakinya merangkak di atas batu vulkanik yang licin, sementara angin Rinjani berteriak-teriak di telinga mereka. Kabut tebal berubah menjadi hujan es yang menyengat. Di bawah, suara dengungan drone pengintai semakin keras, mencari anomali termal atau pergerakan di ketinggian rendah.

“Mereka menggunakan pencitraan termal!” teriak Zega, menoleh sekilas, wajahnya basah oleh keringat dan air hujan. “Kita harus bergerak cepat. Badai ini adalah penutup kita, tapi juga musuh kita.”

Sasha hanya mengangguk, paru-parunya berjuang keras. Ia memeluk erat ransel berisi laptop Bara, seolah-olah itu adalah jantungnya yang berdetak. Setelan bisnisnya yang kini compang-camping dan berlumpur terasa seperti beban ironis, mengingatkannya pada kehidupan yang baru dua hari lalu ia jalani.

Mereka mendaki menuju formasi tebing yang lebih tinggi, di mana Zega berharap badai akan menjadi terlalu ganas bagi drone mana pun. Saat mereka mencapai celah sempit di antara dua batu besar, angin menghantam mereka dengan kekuatan badak. Zega menarik Sasha masuk, dan mereka jatuh tersungkur di atas kerikil basah.

Di dalam celah itu, mereka aman dari pandangan langsung, tetapi tidak dari suara. Dengungan drone berhenti tepat di bawah mereka. Mereka bisa mendengar tim darat mulai bergerak, suara peluit dan komunikasi radio yang teredam.

“Mereka tahu kita ada di sini,” bisik Sasha, gemetar karena dingin. “Bagaimana mereka bisa secepat ini?”

Zega menggosok lengannya, matanya menajam. “Tim Express Teknologi ini bukan sekadar penjaga keamanan biasa. Mereka terlatih militer, mungkin mantan intelijen. Mereka melacak pola pergerakan, bukan hanya sinyal digital.”

“Jadi, apa rencananya? Kita tidak bisa tetap di sini. Begitu badai reda, kita akan menjadi sasaran empuk,” desak Sasha.

Zega mengeluarkan peta digital Lombok yang sudah ia unduh sebelumnya. Layar laptop Bara, kini ditutupi lapisan plastik pelindung, menjadi satu-satunya sumber cahaya di dalam celah gelap itu. Zega menunjuk ke pantai selatan, jauh dari jalur turis dan pelabuhan feri utama.

“Kita turun melalui jalur timur laut yang terjal. Itu terlalu berbahaya bagi tim darat. Mereka akan mengira kita menuju Mataram atau Pelabuhan Lembar,” jelas Zega. “Kita akan memutar, mencapai pantai terpencil di daerah Jerowaru. Di sana, desa nelayan jarang berinteraksi dengan dunia luar. Kita bisa mendapatkan perahu di sana.”

Sasha menatap rute yang digariskan Zega. Itu adalah penurunan curam, penuh risiko patah tulang. Namun, itu adalah satu-satunya rute yang tidak dijaga.

“Kita harus cepat,” kata Sasha. “Hadi dan Express Teknologi di Bali sedang mencoba mengakses data itu. Kita tidak tahu kapan ‘Final Code’ akan diaktifkan sepenuhnya, tapi kita tidak boleh membiarkan mereka mendapatkan data lama itu. Itu adalah kelemahan terbesar DigiRaya.”

“Aku tahu. Bali adalah prioritas. Kita harus menyeberang selat ini malam ini juga,” Zega menyetujui, lalu menatap Sasha dengan tatapan yang lebih personal. “Kau yakin bisa menahan ini? Kau tidak terlatih untuk ini, Sasha. Ini bukan hanya mendaki, ini bertahan hidup.”

Sasha menarik napas dalam-dalam. Dinginnya gunung itu membakar paru-parunya, tetapi ketegasan hatinya lebih panas. “Aku sudah kehilangan tunanganku dan perusahaanku nyaris dicuri. Aku tidak akan membiarkan kekalahan fisik menghentikan ambisi digital mereka, Zega. Tunjukkan jalannya.”

Melihat tekad yang tak tergoyahkan itu, Zega mengangguk. Ia tidak lagi melihat Sasha sebagai CEO yang rapuh, tetapi sebagai sekutu yang tangguh.

Mereka memulai penurunan yang mengerikan. Hujan deras telah membuat tanah menjadi bubur licin. Zega bergerak seperti siluman, kakinya yang panjang menemukan celah-celah kecil dan akar pohon sebagai pegangan. Sasha berjuang keras untuk mengikutinya, beberapa kali terpeleset, hanya untuk diselamatkan oleh Zega yang selalu sigap menariknya kembali.

Di satu titik, Sasha tergelincir parah. Lututnya membentur batu, rasa sakit yang tajam membuatnya berteriak. Zega segera berjongkok di sampingnya.

“Kau baik-baik saja?” tanya Zega, suaranya dipenuhi ketegangan.

Sasha mengatupkan giginya, menahan rasa sakit. “Pergelangan kakiku terkilir sedikit. Aku bisa jalan.”

Zega menggeleng. Ia dengan cepat melepaskan kaus luarnya, merobeknya, dan membalut pergelangan kaki Sasha dengan erat. Keintiman yang dipaksakan oleh keadaan itu membuat udara di antara mereka terasa tebal, meskipun cuaca sangat dingin.

“Kita tidak punya waktu untuk berjalan pelan,” kata Zega, nadanya profesional, tetapi sentuhan tangannya saat membalut kaki Sasha terasa lembut. “Naik. Aku akan menggendongmu sebagian rute ini.”

Sasha terkejut. “Tidak, Zega, ranselmu sudah berat—”

“Jangan membantah, CEO. Ini adalah satu-satunya cara kita bisa mencapai pantai sebelum fajar. Kau membawa bukti krusial di ransel itu. Aku akan mengurus pergerakan.”

Tanpa menunggu persetujuan, Zega berbalik, membiarkan Sasha memanjat ke punggungnya. Ransel Bara berada di antara mereka, laptop yang menyimpan rahasia DigiRaya itu kini terimpit di antara dua buronan. Sasha melingkarkan lengannya di leher Zega, merasakan kehangatan dan kekuatan bahunya. Ini adalah pertama kalinya mereka sedekat ini, dan itu bukan karena romansa, melainkan karena kebutuhan untuk bertahan hidup.

Zega melanjutkan penurunan, meskipun beban ganda itu membuatnya terengah-engah. Setiap langkah adalah perjuangan melawan gravitasi dan medan yang kejam.

“Kau benar-benar membenci korporasi, ya?” Sasha bergumam, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa sakitnya.

“Aku benci hipokrisi,” Zega membalas, suaranya serak. “Aku benci bagaimana mereka memanipulasi data dan kehidupan orang untuk kekuasaan. Tapi aku tidak membenci DigiRaya. Aku benci apa yang Bara harus lakukan untuk memulainya, dan aku benci apa yang Hadi lakukan untuk mengakhirinya.”

“Dan kau tidak membenciku?” tanya Sasha.

“Kau adalah korban dari pengkhianatan itu, sama sepertiku yang nyaris ditangkap karena membersihkan kekacauanmu,” jawab Zega dengan sedikit kekesalan yang disamarkan. “Tidak. Aku tidak membencimu. Aku hanya berharap kau bisa bergerak sedikit lebih cepat.”

Sasha tersenyum tipis di bahunya. Hubungan mereka memang panas—panas karena tekanan, panik, dan sedikit rasa hormat yang tumbuh di tengah bahaya.

Mereka mencapai kaki gunung beberapa jam sebelum fajar. Hujan sudah berhenti, digantikan oleh kelembapan tropis yang berat. Mereka berada di hutan bakau yang gelap dan berbau lumpur. Zega menurunkan Sasha, yang hampir tidak bisa berdiri.

“Pantai sudah dekat,” bisik Zega. “Kita harus menyelinap masuk ke desa itu, mengambil perahu, dan menghilang ke Selat Lombok sebelum matahari terbit.”

Mereka berjalan tertatih-tatih melalui bakau, suara air pasang menjadi petunjuk mereka. Akhirnya, mereka sampai di tepi pantai. Desa nelayan itu hanya terdiri dari beberapa gubuk reyot yang terbuat dari kayu dan atap jerami. Sebuah perahu kayu yang ramping, biasa digunakan untuk menangkap ikan, terikat longgar di dermaga kecil.

“Itu dia,” kata Zega, matanya bersinar karena kelegaan. “Cukup cepat, dan cukup kecil untuk menghindari deteksi radar besar.”

Sasha mengeluarkan dompetnya yang basah kuyup. “Ambil uang tunai. Kita harus meninggalkannya untuk pemilik perahu. Kita buronan, tapi kita bukan pencuri.”

Zega mengangguk, menghargai etika Sasha yang masih tersisa. Ia mengambil uang yang cukup besar dan menaruhnya di bawah jaring ikan yang ada di gubuk terdekat, sebagai ganti rugi.

Mereka bergegas menuju perahu. Zega dengan cepat melepaskan tali tambatan. Saat Sasha melangkah masuk, ia merasakan tanah bergetar pelan. Itu bukan getaran alam.

Zega mendongak. Di kejauhan, di jalan utama yang menghubungkan desa ini dengan kota, sepasang lampu depan mobil SUV hitam menyala, bergerak cepat ke arah mereka.

“Sialan,” desis Zega. “Mereka memprediksi rute kita. Mereka memasang penjaga di setiap titik pelarian.”

“Kita harus pergi sekarang!” seru Sasha.

Zega menyalakan mesin perahu. Suara mesin diesel tua itu terdengar memekakkan telinga di keheningan pagi. Lampu mobil itu kini berjarak kurang dari seratus meter, dan Sasha bisa melihat siluet beberapa orang turun dari kendaraan, memegang senter dan mungkin senjata.

“Tahan erat, Sasha!”

Zega mendorong perahu menjauhi pantai. Mesin meraung, dan perahu itu melaju cepat menuju perairan terbuka. Mereka nyaris lolos.

Namun, saat mereka mulai bergerak, sebuah cahaya terang menyapu perairan di belakang mereka. Itu bukan senter. Itu adalah lampu sorot militer yang kuat, dipasang di lambung kapal patroli yang lebih besar, yang tampaknya telah menunggu di balik tanjung.

Kapal patroli itu, yang jelas berafiliasi dengan otoritas yang disuap Paman Hadi, menyalakan sirine. Mereka terjebak.

Zega memegang kemudi dengan erat, wajahnya tegang. “Mereka tidak hanya menunggu di darat. Mereka mengepung kita dari laut.”

“Kita tidak bisa kembali ke pantai,” kata Sasha, melihat kembali ke daratan di mana para pengejar bersenjata mulai berlarian.

Kapal patroli itu mendekat dengan cepat, memotong jalur mereka menuju Bali. Zega membanting kemudi, mengarahkan perahu kecil itu ke jalur yang berlawanan, menuju perairan dalam yang gelap.

“Aku harus memancing mereka keluar dari Selat Lombok,” kata Zega, berusaha keras menghindari gelombang yang diciptakan kapal patroli itu. “Kita akan menuju Laut Flores.”

“Laut Flores? Itu ke arah Timur, menjauh dari Bali!” Sasha berteriak melawan angin laut.

“Aku tahu! Tapi di Laut Flores, ada tempat yang bisa kita tuju. Tempat yang tidak ada di peta radar mereka. Tempat yang pernah aku gunakan untuk melarikan diri dari sistem lama.” Zega menatap Sasha, matanya berkilat di bawah cahaya bulan yang redup. “Ini adalah satu-satunya kesempatan kita untuk menghilang lagi. Tapi kita harus menempuh jarak ratusan mil lebih jauh, melintasi perairan berbahaya.”

Kapal patroli itu kini hanya berjarak lima puluh meter di belakang mereka, lampu sorotnya menusuk mata. Mereka bisa mendengar perintah yang diteriakkan melalui megafon.

“Siapkan dirimu, Sasha,” kata Zega. “Pelarian kita baru saja menjadi perjalanan laut yang sangat panjang.”

Tiba-tiba, suara tembakan terdengar. Peluru pertama mengenai air tepat di samping lambung perahu mereka, membuat air laut memercik ke wajah Sasha. Mereka bukan lagi buronan korporat. Mereka adalah target hidup. Sasha mencengkeram erat ransel Bara, sementara Zega memacu perahu kecil itu menuju kegelapan Laut Flores, menjauh dari tujuan mereka di Bali, menuju rute yang sepenuhnya tidak diketahui.

"Terpaksa, menjauh dari tujuan. Sial! mereka benar-benar ketat!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!