Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Malam Pertama Tanpa Ranjang
Setelah selesai, satu orang memegang satu salinan. Ivy tersenyum lebar sambil menatap map dalam genggamannya. Dia memeluknya erat selama beberapa detik, lantas kembali menjauhkan map dari badan.
“Hmmmm, aroma uang memang wangi!” ujar Ivy dengan hidung yang kembang kempis.
Tak lama berselang, Noah mengeluarkan selembar kertas kecil. Ivy langsung menyambarnya. Ditatapnya deretan angka yang ada di sana.
“Satu, dua, tiga ... delapan!” ujar Ivy.
Namun, dahi perempuan tersebut mendadak berkerut. Dia menyipitkan mata dan mendekatkan kertas cek pada indera penglihatannya. Sedetik kemudian, Ivy menatap Noah lagi.
“Ini kamu nggak salah, No?”
Noah menatap Ivy dingin. Ada sebuah senyum tipis terukir samar di bibir lelaki tersebut. Tak ada jawaban yang keluar dari Noah, sehingga membuat Ivy menggebrak meja di hadapannya.
“Ini maksudnya apa?” tanya Ivy sambil menunjuk cek yang kini telah berpindah ke atas meja.
"Aku hanya meminta satu miliar. Ini kenapa tertulis 1,5 miliar?" Ivy menatap Noah curiga.
"Itu kompensasi yang aku berikan karena sudah mengubah sedikit poin kontrak dari draft yang kukirim." Noah mendekatkan jempol dan telunjuknya.
Ivy langsung terbelalak. Perempuan tersebut langsung membuka kembali map dan meneliti setiap detail kontrak yang tertulis. Saat membaca poin yang dimaksud Noah, dia langsung melotot dan mengalihkan tatapan kepada Noah.
"Aku nggak boleh menyentuhmu dengan sengaja atau tanpa izin? Jika hal itu terjadi, maka kontrak otomatis batal dan aku harus membayar pinalti sebesar satu miliar?"
Noah mengangguk sambil tersenyum lebar. Ivy kembali melanjutkan meneliti poin kontrak yang lain. Perempuan tersebut kembali terbelalak.
"Kamu boleh menyentuhku sesuka hati demi menjaga image di depan khalayak umum? Hei, No! Kamu menyamakan aku dengan pelacur?" Ivy menunjuk wajah Noah dengan tatapan tajam.
Noah terkekeh. Dia menggenggam lengan Ivy, lalu menariknya ke bawah. Lelaki itu tidak suka Ivy menunjuk wajahnya sesuka hati.
"Bukankah kamu memang pelacur? Aku sudah menyewamu dan membayarmu dengan uang yang tidak sedikit. Jadi, aku akan bersikap sama sepertimu! Aku nggak mau rugi dan akan memanfaatkanmu semaksimal mungkin!" Noah tersenyum miring karena merasa menang dan memegang kendali atas Ivy.
"Kalau begitu aku mau membatalkan kontrak! Nggak mau aku!" Ivy bersiap untuk menyobek kertas kontrak, tetapi Noah mencegahnya.
"Kalau kamu merusak kontrak dan membatalkan sekarang, kamu akan menyesal! Lihat poin terakhir!" Noah menunjuk kertas yang masih ada dalam genggaman Ivy.
Sontak Ivy membuka halaman terakhir. Kini bahunya merosot. Dia terkulai lesu dengan punggung bersandar pada kepala sofa.
"Kamu tidak bisa membatalkan kontrak secara sepihak, tapi aku bisa! Jika kamu nekat membatalkan kontrak dan kabur sebelum kontrak selesai, kamu harus membayar denda dua kali lipat dari uang kontrak yang diterima. Kamu juga harus mengembalikan fasilitas dan barang yang aku berikan selama pernikahan! Semua ada dalam kendaliku. Jadi, kamu jangan macam-macam!" Noah kini menyipitkan mata.
"Kamu ternyata sangat licik! Aku menyesal telah menerima kontrak ini!"
"Sebenarnya kamu masih bisa bernegosiasi denganku. Tapi aku heran, kenapa kamu asal tanda tangan tanpa membaca ulang semuanya!" Noah tersenyum miring.
Ivy kali ini merutuki kebodohannya. Dia memang keliru. Namun, perempuan itu berjanji dalam hati untuk memanfaatkan kontrak tersebut sebaik-baiknya.
"Ah, baiklah. Tidak masalah! Aku ada di sini juga karena menjadi istri sewaanmu! Hubungan kita seharusnya bisa menjadi saling menguntungkan, bukan?" Ivy tersenyum kecut karena masih memikirkan kebodohannya yang tak membaca kontrak baik-baik.
“Aku ingin biaya bulanan tetap dan kebebasan penuh setelah 1 tahun. Selebihnya aku tidak masalah dengan syarat berat sebelah itu,” lanjut Ivy.
“Kamu bahkan tak malu menyebut dirimu istri sewaan.”
“Mendingan istri sewaan daripada pria yang harus beli pasangan demi warisan. Kalau dipikir-pikir kita ini sama saja, No! Jangan-jangan kita beneran jodoh yang sudah diikat sama Tuhan!” Ivy terkekeh kemudian beranjak dari sofa.
"Aku bebas memilih kamarku, kan?"
Noah hanya mengangguk. Ivy mengambil salinan kontrak dan cek yang diberikan oleh Noah. Perempuan tersebut mulai melangkah meninggalkan suami kontraknya.
Begitu langkah Ivy menghilang di tikungan lorong rumah yang sunyi, Noah langsung meraih gelas kristal di meja dan meneguk air dengan kasar. Bukan karena haus, tetapi karena kesal. Perempuan itu terlalu berani untuk seorang yang sudah “disewa”. Noah menggertakkan rahangnya sambil menatap pintu yang baru saja dilalui Ivy.
Di sisi lain, Ivy berjalan menyusuri rumah megah berdesain modern-minimalis yang begitu asing baginya. Dinding putih bersih, lampu gantung yang elegan, dan aroma kayu manis samar dari pengharum ruangan membuat tempat itu terasa seperti dunia yang berbeda.
"Ini beneran rumah manusia?" gumam Ivy setengah berbisik, menatap lukisan abstrak di dinding dengan bingung. "Kayak hotel bintang lima ...."
Akhirnya Ivy menemukan kamar tamu di lantai dua. Kamarnya tidak besar, tetapi cukup nyaman. Jendela besar dengan tirai linen putih, ranjang queen size, dan lemari kayu jati yang mahal. Ivy menaruh koper kecilnya di lantai, lalu duduk di tepi ranjang.
Tangannya meraih ponsel dan segera menekan nomor. Suaranya pelan, tetapi cukup jelas terdengar dari balik pintu.
“Bu, aku sudah di rumahnya,” ucap Ivy sambil menghela napas. “Iya, rumahnya seperti istana … Tapi orangnya ....” Ivy berhenti sejenak untuk menelan kekesalan.
"Aku cuma butuh setahun, Bu. Setelah itu, aku akan bebas. Aku janji, kita akan mendapatkan semua yang terbaik.”
Di balik pintu, Noah mengepalkan tangan. Noah masuk ke kamarnya tanpa suara. Kamar utama yang luas itu kini terasa hampa. Dia membanting tubuh ke atas kasur. Bukannya lega, malah pikirannya justru dipenuhi wajah Ivy yang keras kepala.
Malamnya, mereka makan malam dalam diam. Meja makan sepanjang tiga meter itu hanya terisi dua piring. Ivy duduk di ujung kanan, Noah di ujung kiri. Hanya suara sendok dan garpu yang menemani makan mereka.
"Besok kita akan hadiri pesta ulang tahun mamaku," ucap Noah tiba-tiba, tanpa menatap Ivy.
“Kurasa aku belum memiliki pakaian yang cocok buat acara beginian,” jawab Ivy pelan sambil mengaduk sup yang sudah dingin.
“Aku tahu. Sudah aku siapkan di kamar ganti dekat tangga. Pilih saja yang kamu suka,” ucap Noah singkat.
Ivy mendongak, menatap Noah dengan sorot curiga. “Biar kamu bisa pamer istrimu yang kamu sewa?”
Noah tersenyum sinis. “Tepat sekali.”
Malam itu berlalu tanpa ucapan selamat tidur, tanpa sapaan hangat. Ivy mengurung diri di kamar tamu, sementara Noah kembali terpenjara di dalam pikirannya sendiri. Rumah itu terlalu besar untuk dua hati yang saling membeku.