Clarisa Duncan hidup sendirian setelah keluarganya hancur, ayahnya bunuh diri
sementara ibunya tak sadarkan diri.
Setelah empat tahun ia tersiksa, teman lamanya. Benjamin Hilton membantunya namun ia mengajukan sebuah syarat. Clarissa harus menjadi istri, istri kontrak Benjamin.
Waktu berlalu hingga tiba pengakhiran kontrak pernikahan tersebut tetapi suaminya, Benjamin malah kecelakaan yang menyebabkan dirinya kehilangan ingatannya.
Clarissa harus bertahan, ia berpura-pura menjadi istri sungguhan agar kondisi Benjamin tak memburuk.
Tetapi perasaannya malah semakin tumbuh besar, ia harus memilih antara cinta atau menyerah untuk balas budi jasa suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nula_w99p, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Benjamin menyandarkan kepalanya pada kursi kerja di kantor, ia lelah sekali mondar-mandir ke sana-kemari di perusahaan ini. Ia harus mengecek projek perusahaan kali ini untuk acara fashion week agar berjalan lancar.
Padahal ia baru beberapa jam pergi dari rumah, tapi sudah merindukan perempuannya. Ia ingin sekali memeluk Clarissa sekarang, mendekapnya dengan sangat erat dan mencium seluruh inci tubuhnya.
Tiba-tiba dia memikirkan kejadian saat Clarissa mengatakan ada orang yang salah alamat ke rumah mereka. Ia merasa hal itu mustahil, pasalnya mereka tinggal di kawasan cluster dan ada petugas keamanan yang pasti sudah memberitahu rumah yang benar untuk orang itu.
Dia mulai menyalakan komputer di hadapannya, menekan tombol untuk melihat CCTV di rumahnya. Tanggal empat dua puluh satu, kemarin.
Dia melihat istrinya yang menghampiri suara bel pintu, Clarissa berdiam sejenak saat suara itu berhenti.
Aneh sekali, padahal orang yang menekan bel sudah tahu kalau menekan bel pasti membuat pemilik rumah atau penghuninya keluar untuk mengecek namun orang itu malah mengetuk kembali pintu tersebut.
Ada apa ini? Apa Clarissa memang mempunyai kekasih lain? Kekasihnya itu mengatakan sesuatu dengan kode itu? Kalau benar begitu, pernikahan ini mungkin tak bisa di pertahankan lagi. Clarissa pasti lebih memilih kekasih idamannya di banding Benjamin.
Namun Benjamin tetap melihat CCTV, ia masih sangat penasaran. Mungkin pikirannya salah tentang ini, Clarissa mungkin tak mempunyai kekasih. Ia tak mau kalau harus memisahkan istrinya dengan kekasihnya tapi kalau ini membuat Clarissa meninggalkannya. Lebih baik ia menghilangkan keberadaan lelaki bajingan itu.
Benjamin menyipitkan matanya saat melihat Clarissa membuka paket yang ia bawa dari pintu, ia tak melihat orang yang mengirim nya. Dia sudah melihat CCTV luar dan orang yang membawa paket itu berpakaian serba hitam, ia tak bisa mengidentifikasi jenis kelamin orang tersebut.
"Apa itu? Hadiah dari si bajingan?" Benjamin mulai menggerakkan satu kakinya, ia penasaran dengan ekspresi apa yang akan di keluarkan oleh istrinya. Apakah dia akan bahagia saat membukanya?
"Clarissa, dia diam saja." Benjamin mendapati istrinya tak memasang wajah senang saat membuka paket itu. "Mengapa? Kenapa Clarissa seperti ketakutan! Sepetinya benar lelaki maksudnya orang yang tidak di ketahui itu bukan kekasihnya. Syukurlah, tapi apa isi paket itu sampai istriku berekspresi begitu."
Benjamin membesarkan ukuran layar CCTV, ia ingin melihat apa sebenarnya yang ada dalam kotak itu.
"Sebuah rambut," Benjamin melihat rambut yang mirip dengan warna rambut istrinya. "Tunggu jangan bilang," Benjamin terus memutar CCTV itu dan benar saja apa yang ada di benaknya itu.
"Boneka, boneka yang dulu sering ku kirim. Kenapa bisa ada yang mengirim hal yang sama sekarang? Aku tak pernah memberi boneka itu lagi padanya, siapa yang berani melakukannya pada istriku?" Benjamin berdecak kesal, ia tak menyangka ada yang sedang mengancam istrinya.
Bagaimana ini mungkin! Yang tahu soal boneka ini hanyalah dia dan Clarissa.
"Tunggu, toko boneka itu." Benjamin terpikir untuk menanyakan hal tersebut langsung dari pemilik atau penjual boneka yang ia beli dulu.
"Alan, kemari lah." Benjamin menelpon sekretarisnya di telepon seluler kantor.
Beberapa detik kemudian, sekretarisnya sudah berada di hadapannya. Ia berdiri tegak seolah sedang menunggu komandan memberinya perintah.
"Alan siapkan mobil untuk ku dan temani aku pergi." Benjamin segera meminta Alan mempersiapkan semuanya.
"Baik Bos," Alan pergi setelahnya.
***
"Benar toko ini," Benjamin melihat dahulu sebelum memasuki toko yang dia maksud.
"Selamat datang Tuan, apa Anda akan membeli boneka itu lagi?" Seorang karyawan datang, ia familiar dengan Benjamin. Sedari dulu yang dia pesan pasti boneka yang sama.
"Tidak, aku ingin bertanya padamu dan panggilkan semua karyawan yang ada di sini." Benjamin tahu orang yang bertanya padanya adalah manager toko ini. Ia sudah melihat resume dari toko boneka ini.
"Baiklah, sebentar Tuan." Begitu pula dengan sang manager, ia tak mungkin tak tahu tokoh terkenal ini. Ia merasa sedikit senang, setidaknya ia akan mendapat keuntungan karena tokonya di datangi kembali oleh pelanggan tetap nya.
"Pekerja yang ada di sini sudah berkumpul Tuan," beberapa menit saja sudah cukup untuk membuat para karyawan berkumpul di sana.
"Kalian yang ada di sini pernah menjual boneka yang ku pesan sejak dulu kepada orang lain?" Benjamin tanpa basa-basi langsung menanyakan sesuatu, tujuannya di sini memang untuk mengkonfirmasi langsung apakah bajingan yang mengancam istrinya memesan boneka itu langsung dari ini.
para karyawan sekaligus manager menatap satu sama lain. "Emm seperti tidak Tuan, kami tidak pernah menjual boneka yang tuan pesan itu. Biasanya kami membuat boneka dalam waktu dua hari sebelum di kirim dan kami tidak pernah menerima orderan dalam dua hari tersebut." Sang manager berbicara, ia dengan tenang menjawab pertanyaan Benjamin.
"Benarkah? Coba kau pikirkan lagi, apakah boneka itu di jual kembali secara langsung di toko ini. Mungkin bukan sekarang tapi dahulu atau kau menjualnya di toko cabang mu yang lain." Benjamin tak begitu percaya, pedagang maupun penjual itu sama. Kalau mereka selalu mencari keuntungan dari apa yang mereka jual.
"S-sebenarnya-" Seorang karyawan perempuan yang ada di sana ragu-ragu mengatakan sesuatu. Ia sesekali menatap manager, ia meminta izin padanya apakah dirinya boleh berbicara.
"Katakan saja, aku akan memberimu sejumlah uang kalau kau mau."
Manager mengangguk, ia menyuruh karyawannya mengatakan langsung. Tidak ada gunanya melarang pekerjanya, yang dia hadapi sekarang adalah Benjamin Hilton, seorang pebisnis yang cukup cerdas dan licik.
"Sekitar dua tahun lalu, boneka itu di pajang di sini. Saya yang melakukannya, maaf. Toko ini sudah hampir bangkrut dan saya tanpa sadar merasa kalau boneka itu harus di jual."
"Lalu? Ada yang membelinya?"
Karyawan itu menatap manager toko kembali, ia tak sanggup mengatakannya sendiri.
"Benar, ada yang membelinya. Kami mohon maaf Tuan, telah melakukan hal yang sangat terhina. Kami tidak akan pernah menjual boneka yang di pesan khusus oleh pelanggan lagi." Manager membungkukkan badannya, diikuti semua karyawan.
"Aku tak masalah, tapi aku hanya ingin tahu siapa yang membelinya dan berapa yang dia beli."
"Kami tidak tahu pelanggan tersebut, dia mengenakan pakaian yang tertutup jadi kami tak bisa mengidentifikasi jenis kelamin pelanggan tersebut. Dia juga tidak bersuara, mohon maaf Tuan kami tak tahu apapun lagi tentangnya."
Benjamin menghela nafas panjang, ia tak menyangka bajingan ini cukup terampil dan dia pasti sudah meneror istrinya selama dua tahu itu.
"Boleh aku melihat CCTV atau nota pembelian pelanggan tersebut."
"Tentu saja Tuan, kami akan membawanya."
Salah satu karyawan pergi mengambil yang di inginkan Benjamin, ada sebuah tablet yang terhubung CCTV dan notanya.
"Namanya Vy, apa artinya itu?" Benjamin terheran melihat nama pelanggan yang membeli boneka yang dia buat khusus untuk Clarissa.
Para karyawan menggeleng, mereka juga tak tahu apa arti dari namanya. Entah itu samaran atau sebuah nama asli.
Benjamin kembali menghela nafas panjang dan berdecak kesal saat melihat CCTV, yang meneror Clarissa dan pelanggan ini sama-sama mengenakan pakaian tertutup serba hitam.
To be continue....