Di malam pertunangannya, Sahira memergoki pria yang baru saja menyematkan cincin pada jari manisnya, sedang bercumbu dengan saudara angkatnya.
Melihat fakta menyakitkan itu, tak lantas membuat Sahira meneteskan airmata apalagi menyerang dua insan yang sedang bermesraan di area basement gedung perhotelan.
Sebaliknya, senyum culas tersungging dibibir nya. Ini adalah permulaan menuju pembalasan sesungguhnya yang telah ia rancang belasan tahun lamanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah sosok Sahira hanyalah wanita lugu, penakut, mudah ditipu, ditindas oleh keluarga angkatnya? Atau, sifatnya itu cuma kedok semata ...?
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun! Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!" ~ Sahira ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASA : 04
“Apa?!” nyaris semua orang yang bertahan di sana berseru serentak.
“Katakan yang jelas!” Sigit Wiguna menghardik sang asisten.
“Orang kita baru saja mengabari, bila ada nama Sahira dalam daftar kecelakaan beruntun yang terjadi beberapa waktu lalu,” Wahyu menyampaikan apa yang diberitakan salah satu bawahannya.
“Tidak mungkin! Lantas bagaimana dengan keberlangsungan usaha kuliner kita?!” Dedi Tama, papa nya Wira histeris. Dia menyetujui perjodohan putranya dengan anak angkat sahabatnya, dikarenakan melihat peluang menjanjikan dari seorang Sahira, chef handal yang keberadaannya sengaja disembunyikan.
“Sebaiknya kita periksa langsung untuk memastikan dia benar Sahira atau bukan!” Wira membuka jas nya, melempar asal.
Sigit Wiguna, Widya Mandala, dan kedua orang tua Wira, berjalan beriringan.
“Mengapa kau sibuk mengurusi si buruk rupa itu? Lebih baik kita mengendap-endap masuk kamar hotel, melanjutkan ronde kedua.” Jenny berbisik lirih, tangannya sengaja ia gesekan di pangkal paha Wira.
“Jaga batasan mu, Jalang!” Wira menggeram kesal, menepis kuat tangan wanita berkelakuan layaknya kupu-kupu malam.
Beruntung mereka berjalan paling belakang, sehingga tidak ada yang melihat tindakan berani Jenny, si janda muda yang diceraikan karena ketahuan selingkuh.
Jenny mendengus tidak suka, melangkah lebar sambil menghentakkan kaki.
Satu persatu kedua belah pihak keluarga memasuki mobil yang sudah standby di depan lobi hotel. Sang sopir melajukan kendaraan dengan kecepatan lumayan kencang agar segera sampai di rumah sakit.
Malam semakin beranjak, tinggal beberapa menit lagi, tanggal pun berganti begitu juga dengan hari. Jalanan masih basah, tetapi hujan sudah berhenti.
Tiga puluh lima menit kemudian, iringan tiga mobil itu sampai di halaman rumah sakit.
Anak buah Sigit Wiguna telah menunggu sang tuan, siap memimpin jalan.
Suara sepatu dan heels terdengar nyaring beradu dengan lantai, wajah-wajah cemas berbalut penasaran itu digiring menuju kamar mayat yang mana sudah ada seorang petugas menunggu kedatangan mereka.
“Yang boleh masuk hanya keluarga inti, tidak lebih dari tiga orang,” tutur pemuda berpakaian medis.
“Papa saja, Mama tunggu di sini!” Widya mendorong lengan suaminya, dia tidak berani masuk.
Sigit Wiguna, Jenny, dan Wira, masuk ke dalam ruang jenazah, yang mana terdapat empat sosok ditutupi kain putih.
Sesuai arahan, mereka mendekati tempat pembaringan, perlahan Wira Tama membuka kain putih menutupi wajah.
Seketika perutnya mual, tubuhnya bergetar. Sosok wanita berambut hitam legam ini sama sekali tidak bisa dikenali, kepala pipih, wajah rusak parah tak lagi berbentuk, tangan kanan patah sampai tulang putihnya keluar.
Namun, jemari manis tangan kirinya terdapat emas polos berwarna putih, itu adalah cincin pertunangan Sahira.
“Tidak mungkin, ini pasti rekayasa, dia bukan Sahira!” Sigit Wiguna menggelengkan kepala, enggan mempercayai. Wajahnya pucat pasi, memikirkan bagaimana restorannya yang sudah memiliki 5 cabang tersebar di beberapa tempat strategis baik dalam kota maupun luar.
Hueg!
Jenny tidak kuasa menahan mual, dia berlari keluar dan muntah di rerumputan taman yang bersebelahan dengan kamar mayat.
“Katakan sesuatu! Apa benar dia Sahira?” Dedi menghadang langkah calon besannya.
“Sepertinya iya,” jawab Sigit, lemah.
“Ini malapetaka. Usaha kita sedang bagus-bagusnya dan menghasilkan untung besar! Apalagi restoran pusat yang mana Sahira lah chef utama." Tangannya terkepal erat.
"Cari cara bagaimana tetap mempertahankan cita rasa olahan tangannya!” Widya terlihat frustasi, tidak jauh berbeda dengan ibunya Wira.
Wira Tama yang sebelumnya senang atas kepergian Sahira, kini mulai sadar bila usaha keluarganya bergantung pada tangan ajaib wanita yang sayangnya sudah meninggal dunia.
“Sembunyikan rapat-rapat kematian anak pembawa sial itu! Kendatipun sosoknya tak pernah di publikasi, tapi ada segelintir orang penting yang mengetahui bahwa dia lah chef andalan kita!” Widya Mandala kembali bersuara, netranya sedikitpun tidak berembun.
Daripada sedih karena kehilangan seorang putri yang sudah 12 tahun diadopsi, ia lebih menyesali kepergian Sahira di saat restorannya sedang di masa kejayaan.
Wahyu diutus untuk mengurus jenazah Sahira, pihak keluarga Wiguna apalagi Tama, sama sekali tidak mau tahu. Mereka memilih bergegas kembali ke hunian masing-masing.
.
.
Sebelumnya.
Setelah Thariq Alamsyah dan juga Damar keluar dari dalam kamar, Sahira segera mengenakan handuk kimono, melangkah pelan menuju ruang tamu.
“Nona silahkan duduk!” Damar mempersilahkan, dirinya sendiri duduk di sofa tunggal seraya memangku laptop.
Saat melihat wanita yang mengaku pernah ia tiduri telah duduk sempurna, Thariq mulai mencecar nya. “Ada kepentingan apa kau di sana? Atau kejadian itu hasil dari rekayasa mu demi mengeruk keuntungan pribadi?”
Sahira menarik napas berat, menghembuskan secara perlahan, menatap lurus ke depan pada jam analog terpasang di tembok. “Kala itu saya sedang menggantikan chef utama Wita resto (Wiguna Tama) yang bertugas mengelola hidangan untuk para tamu eksklusif di acara tahunan perkumpulan pengusaha sukses.”
“Setelah jam kerja selesai, saya berniat ke kamar yang memang di pesan oleh Tuan Sigit untuk saya, dikarenakan jarak hotel dan rumah panti sangatlah jauh,” tutur nya apa adanya.
“Namun, saat mau melewati kamar nomor 505, Anda keluar, berjalan sempoyongan, tanpa aba-aba menarik saya, memaksa masuk ke dalam, dan terjadilah hal tak diinginkan itu. Saya berani bersumpah kalau pada waktu itu telah melakukan perlawanan, mencakar dan memukul Anda hingga meninggalkan banyak bekas,” Sahira menatap sekilas wajah berahang tegas yang bebas dari bulu jambang.
Entah apa yang dipikirkan oleh Thariq, ekspresi wajahnya tidak berubah, hanya pupil matanya mengecil tanda tengah berpikir keras.
“Mengapa harus kembali ke panti, sedangkan status Anda anak angkat tuan Sigit Wiguna?” Damar mengajukan pertanyaan.
“Status hanyalah sebuah formalitas semata, saya diakui cuma sebatas lisan, tidak tercatat pada kartu keluarga apalagi dokumen adopsi anak yang disahkan oleh negara. Diharamkan memanggil Mama dan Papa, melainkan di haruskan menyebut Nyonya dan Tuan.” Sahira terkekeh lirih, buliran bening kembali terjatuh.
Kenyataannya memang demikianlah, saat memasuki bangku sekolah menengah pertama, yayasan milik keluarga Wiguna melihat kecerdasan nya dalam bidang akademik dan minatnya pada tata boga, lalu memutuskan membiayai sekolahnya lewat jalur beasiswa.
“Mengapa setelah kejadian itu, tidak mencari saya? Meminta pertanggungjawaban?” Thariq menelisik gesture Sahira yang sangat tenang.
“Bila saya katakan, apa Tuan akan percaya begitu saja? Tentu tidak kan? Lagipula apa yang bisa saya perbuat dan ubah, pada kenyataannya saat itu Anda sudah bertunangan dengan kakak angkat saya,” Sahira mencoba menjelaskan.
Ya, pada waktu tragedi malam kelam itu, Thariq Alamsyah baru saja bertunangan dengan Arimbi Wiguna, seorang desainer yang saat ini namanya sedang dielu-elukan berkat tangan ajaibnya menciptakan mahakarya gaun-gaun menakjubkan, membius para wanita kalangan menengah ke atas.
Seketika ruangan terasa sunyi, baik Thariq maupun Sahira memilih bungkam.
Jelas bila pria mapan itu masih sukar percaya, tapi dirinya pun tidak berdaya lantaran sama sekali tak ada jejak yang bisa dijadikan bukti.
Jemari Damar begitu lincah menekan tombol laptop, dia mencari potong-potongan video lawas sebuah hotel mewah, tempat di mana dulu sang tuan kehilangan keperjakaan nya.
Namun, hasilnya tetap sama seperti dua tahun silam. Hanya tayangan cctv yang menampilkan lorong hotel, lift dan serta lobby. Sama sekali tidak ada sosok wanita di hadapannya ini.
Pada akhirnya Thariq Alamsyah bertanya serius. “Apa yang kau inginkan ...?”
.
.
Bersambung.
Kamu bermain di mana ty???
kaya bunglon 🤓
kaya ada clue
Thoriq sebenarnya sudah tau niat awal Sahira 😃🤔