⛔ jangan plagiat ❗❗
This is my story version.
Budayakan follow author sebelum membaca.
Oke readers. jadi di balik cover ungu bergambar cewek dengan skateboard satu ini, menceritakan tentang kisah seorang anak perempuan bungsu yang cinta mati banget sama benda yang disebutkan diatas.
dia benar-benar suka, bahkan jagonya. anak perempuan kesayangan ayah yang diajarkan main begituan dari sekolah dasar cuy.
gak tanggung-tanggung, kalo udah main kadang bikin ikut pusing satu keluarga, terutama Abang laki-lakinya yang gak suka hobi bermasalah itu.
mereka kakak-adik tukang ribut, terutama si adik yang selalu saja menjadi biang kerok.
tapi siapa sangka, perjalanan hidup bodoh mereka ternyata memiliki banyak kelucuan tersendiri bahkan plot twist yang tidak terduga.
salah satunya dimana si adik pernah nemenin temen ceweknya ketemuan sama seseorang cowok di kampus seberang sekolah saat masih jam pelajaran.
kerennya dia ini selalu hoki dan lolos dari hukuman.
_Let's read it all here✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisyazkzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selamat jalan untuk Ryan
Lampu-lampu rumah lain mulai menyala terang begitu langit menggelap perlahan-lahan memulai waktu malam yang panjang.
tak terkecuali rumah mereka yang dibangun dua lantai dengan desain simple namun elegan. Lampunya menyala, tapi begitu sunyi.
Jelas karena ratu berisiknya sedang terbaring lemas di balik selimut, kelelahan ditambah badmood habis dimarahi di club sains padahal belum apa-apa.
Zyle tak mau keluar kamar. Ren yang cuek itu juga gak pintar membujuk.
Jangan kira Zyle adalah cewek tomboy yang suka berpakaian serba gelap dan bermental baja serta bodoamatan. Karena nyatanya, gadis itu berwajah kecil, suka memakai cardigan kuning pastel dengan pin kodok lucu, rambutnya dikepang dua, juga ikat pinggang kesukaannya yang digantungi banyak boneka imut yang pernah dibawa ke sekolah sampai ditegur kak Daniel, si OSIS.
Walaupun nakal, tapi Zyle jarang ngambek. biasanya dihukum pun dia biasa saja.
Ren kalau menuruti emosi, rasanya ingin memborgol Zyle yang brutal itu.
suara pintu terdengar. Ren baru pulang dari supermarket berbelanja mie untuk Zyle. Ia masuk ke dalam rumah langsung melempar tas ke meja, lanjut mengambil dua kaleng minuman soda di kulkas.
Devano yang ikut datang dengannya juga diberikan satu.
mereka mau main game.
tapi, lihat sekarang. Adiknya malah tertidur di sofa panjang. Televisinya juga menyala, bahkan remotenya dipegang Zyle.
"Zi, bangun. Gue mau duduk." Ren menertawakan Devano yang jadi duduk di bawah karena Zyle memakai seluruh spek sofa yang ada.
dia tidur nyenyak, posisi terlentang sambil memeluk boneka sosis besar. Kakinya naik ke sandaran sofa.
"dia sakit?" tanya Devano.
Ren mengangkat bahu. Menerka dahi Zyle.
"nggak kayaknya. Tapi dia emang gini dari tadi."
"zi, bangun kek! Gue mau pake TV!" sekali lagi Ren menggoyang lengan adiknya.
Tahu-tahunya Zyle menyahut, "gak mau ah. Udah enak. Orang lagi tidur."
Devano tersenyum tipis, "mana ada orang tidur ngejawab gitu."
Ren mulai ribut. "please~atau mau gue kelitikin?"
Belum sempat Ren melakukan ancamannya, Zyle malah tidak sengaja menendang dagu kakaknya itu.
'DUAK!'
"SIAL! LO KETERLALUAN YA!" bagaikan sapi yang diinjak buntutnya, Ren langsung ngamuk hampir memukul Zyle dengan bantal sosis kalau Devano telat menahannya sedetik saja.
"sabar bro. Adek Lo nggak sengaja." Devano terkekeh, menarik Ren.
"coba gue yang handle."
"cih, awas aja Lo tuyul!" Seru Ren. kesal atau tidak jangan ditanya, ingin sekali rasanya dia mengarungi Zyle.
Devano berbisik, "Zyle, ini gue." "Lo sakit? Sakit perut apa gimana? Gue bikinin obat ya? Tapi Lo pindah tiduran di kamar aja."
Siapa sangka, ternyata kalimat sakti Devano mampu menggerakkan seorang Zyle. Cewek paling keras kepala yang dikenal Ren.
gadis itu berdiri, mengangguk patuh.
"iya."
lalu dia berjalan ke tangga, naik ke atas sambil tetap memejamkan mata. Sosis bantal tadi juga ikut dibawa.
Sebenarnya Devano ngeri melihatnya jalan dengan mata tertutup, apalagi pas naik tangga.
tapi Zyle kan cewek limited edition, jadi kekebalannya tidak diragukan lagi.
Ren tercengang, gimana bisa dia nyuruh si ratu males? Gue... kakaknya gak bisa...
"eh anj*r! Kok bisa?" shock. "jinak banget?!"
"gue kan multifungsi. Dah, siapin game nya!" tiba-tiba Devano berhenti, "lah tol*l! Remotenya masih dipegang dia!"
Dua cowok itu makin ribut.
"ah elah! Lagian si Lo."
"Lo bujukin lagi gih, mintain ke kamarnya. Lo kan soft spoken."
"GAK!" spontan Devano. "kan elo kakaknya gblk!"
tapi Devano mendadak ingat, "ckk yaudah deh. Sekalian gue bikinin obat aja."
Akhirnya setelah melewati banyak drama, mereka berdua bisa main game tanpa gangguan. Mulus.
"eh udah jam segini." tanpa disadari, tahu-tahunya jarum pendek jam dinding menunjuk angka 22:00. Baru mau berdiri, di luar malah hujan deras.
Ren mematikan TV. Tertawa.
"udah nginep aja dulu disini. besok kan libur juga."
mau tidak mau nggak ada pilihan. Devano setuju.
"okelah." dia duduk kembali. "gue numpang toilet, ya."
"Lo mau mandi? Pinjem baju gue dulu aja."
***
"kak, bikinin Zyle mie pake telor dua. Pake bumbu yang enak. Sama makan siang ayam goreng, order aja. Soalnya masakan kakak nggak asin."
masih pagi. Gadis itu keluar dari kamarnya dalam keadaan setengah ngantuk, kemudian berbaring lagi di sofa ruang makan dekat dapur.
sudah ribut sendiri, mengoceh soal makanan. Seleranya memang selalu asin-asin. Bukan salah Ren yang kurang garam, tapi dia sendiri yang aneh.
Zyle juga belum ganti baju tidurnya yang dibeli ayah dari Bangkok bermotif sapi, tapi berwarna kuning pastel.
"kak?"
tak ada respon. Padahal jelas-jelas dia melihat punggung kakaknya memakai baju turtleneck dari belakang sedang masak.
zyle jadi was-was, mengintip sedikit dari balik sofa.
itu kakak Ren bodoh kan? Jangan-jangan hantu?!
"ngintipin apa cil?" tiba-tiba Ren muncul dari belakangnya, menjawil rambut Zyle.
"lah?" Zyle tersentak kaget, bingung. "terus itu siapa?" serunya histeris, menunjuk seseorang yang dikiranya sebagai sang kakak.
Mendengar ada ribut-ribut, Devano menoleh ke belakang.
"sini makan. Katanya mau mie."
"AHAHAHAHA MAMPUS MALU LO! Lagian masih pagi udah berisik!" Ren yang paham kenapa Zyle bingung langsung tertawa puas sekali, lagi-lagi muka Zyle mau meledak.
"dia nginep disini semalem. Pake baju gue." tambah Ren, masih heboh tertawa.
Devano cuma menyapa Zyle dengan senyuman hangat seperti biasa. dia meletakkan mie masakannya di meja makan. Aroma dari mangkuk itu berhasil membuat Ren tertarik.
"Yoi banget wanginya." Ucap Ren sambil duduk di kursi.
"makan dulu Zi."
Yang dipanggil menolak datang. Zyle lagi-lagi ngumpet di balik bantal sofa. Malu.
"nih makan dulu. Telornya banyak." Devano dengan sabarnya membawakan mangkuk mie untuk Zyle.
Zyle mengintip sedikit dari balik bantal, membuat Devano tertawa.
"gak apa-apa. Gue gak marah." katanya.
"malu."
"hm?"
"ngapain malu? Gue kan gak buka baju."
"gue makan, ya."
Ren geleng-geleng. Devano gak repot apa ngurusin dia?
Devano sendiri sedang makan dengan tenang. Duduk berhadapan dengan Zyle. Matanya terus mengarah pada gadis itu. Berpikir, kalau adik perempuannya dulu sangat mirip dengannya.
"Devano, Devano kan? Lo lagi mikirin apa? serius banget. Cerita dong!" tegur Zyle.
"nggak. Lo mirip sama adek cewe gue."
"hah Devano punya adik cewek juga? Mau liat dong!"
Ren menarik Zyle duduk sambil ikut bersila di lantai.
"jangan ganggu orang lagi makan."
"Kakak." panggil Zyle.
"jangan bilang bunda ya, Zyle bikin rusuh di club sains. Ya? Ya?"
"Devano kali yang bilangin." Ren menunjuk ke samping.
Devano menggeleng pelan, "nggak akan. Syaratnya, Lo harus belajar yang bener ya. Habis ini kita mulai."
"siap!"
dari tadi Ren terus geleng-geleng tak habis pikir. Zyle itu karakter manusia yang keras kepala dan nakal, tapi kalau bikin kerusuhan selalu marah diadukan ke sang ibunda.
"ckckck malaikat juga heran ngeliat kelakuan Lo..."
selang beberapa menit kemudian, mangkuk mie bekas makan Zyle diletakkan di wastafel tanpa dicuci. Ren lagi yang harus pontang-panting membereskan semuanya. Dia marah-marah, tapi sang pelaku malah tidak kelihatan.
Devano ringan tangan membantu, sambil bertanya beberapa hal tentang Zyle termasuk kebiasaannya yang terkadang nggak make sense banget.
Setelah selesai, Ren langsung tiduran di sofa.
"ah elah! Bantalnya gak ada! Pasti si Zyle!"
sedangkan Devano izin mencari Zyle sampai ketemu.
"Zyle!" serunya. "udah siap belajar?"
"Ren, gue cari ke atas ya."
"ho'oh."
Alhasil Devano naik sendirian ke lantai dua, tempat kamar Zyle berada. Mungkin dia memang disana.
tapi, saat pintu kamar itu diketuk dari luar, malah tak ada balasan dari sang empu. Yang ada Devano samar-samar mendengar suara erangan di balik jendela balkon.
"siapa itu?"
Devano melongok keluar balkon, saat menoleh, kagetnya bukan main.
"Sh*t! Kaget gue! Lo ngapain?!"
benar-benar kelakuan yang ekstrem. kepala Devano mendadak nyut-nyutan melihat Zyle ada diatas atap balkon yang luasnya cuma sepetak.
"Lo ngapain disana zi? Turun. Katanya mau belajar."
gimana pusingnya Ren yang ngurusin dia tiap hari ya?
"nggak kok, gue Nemu anak kucing diatas sini. Kasihan.." kata Zyle, nyengir.
"Iya ini Zyle mau turun. Belajar."
Devano mengulurkan tangannya, perlahan Zyle menurunkan satu kaki ke pembatas balkon sambil berpegangan dengan tangan Devano, lalu hap! Melompat turun.
"Nih Depan! Ada kucing! Imut ya? Zyle mau pelihara, bilang ke kakak."
Sebelum sempat jalan, Devano menarik tangannya.
"Jangan, Zyle. Ren capek. Biarin dia istirahat."
"sini biar gue keluarin ke bawah."
"tapi..." Zyle terlanjur manyun.
"yaudah deh. Zyle ikut! Naik skateboard."
Devano ber-ssst menunjuk meja belajar pink diatas karpet dekat kamar Zyle.
"duduk aja Lo. Kan mau belajar. Biar gue sendiri yang balikin ke bawah."
memang agak susah melarang Zyle. Untungnya Devano bisa menyuruh gadis itu diam.
selesai mengembalikan anak kucing tadi ke luar rumah, mereka memulai pelajaran dasar sains dengan buku paket milik Devano.
tapi tidak semudah itu juga, setiap Devano berhenti menjelaskan Zyle selalu memotong dengan membahas kucing.
jenis kucing lah, warnanya, wajah kucing yang lucu lah, dan diselipi pembahasan soal skateboard impiannya.
sebelum belajar tiga puluh menit itu selesai, Devano memberikan tugas untuknya di buku.
"dikerjakan ya. Gue cek di jadwal masuk eskul." ucap Devano.
"nggak susah kan? Kalo susah tugasnya di jokiin aja sama kakak." Zyle masih menjawab.
"emang Ren mau?"
Zyle mengangguk bangga, "iya! Biasanya mau kalo Zyle kasih voucher nggak main skateboard di rumah dalam satu hari!"
Devano terkekeh kecil mendengarkan curhatan Zyle yang nggak selesai-selesai itu. Sengaja benar dia mengalihkan pembahasan. Bukannya tak tahu, tapi Devano hanya ingin mengetahui lebih banyak keunikan gadis ini.
"DEVANO!!!" tiba-tiba Ren lari terburu-buru seperti orang gila naik ke lantai atas.
"RYAN! RYAN KECELAKAAN!!!"
Devano bergegas berdiri, "dimana? Aman gak dia?"
wajah Ren yang panik itu mengerut, "Sekeluarga meninggal Dev."
"Ryan...udah gak ada..."
Zyle jatuh berlutut seketika, matanya berkaca-kaca, dia menjerit-jerit.
"ng-nggak!! Ryan ada!!! Ryan pasti hidup!!! Ryan gak mati!!! Kakak!!"
Devano mendekatinya, dengan lembut dia mengusap rambut sang gadis.
"Zizi, jangan begitu. Kalo Ryan nggak mengalami kematian, dia gak akan pernah hidup."
"zi, dengerin gue, Ryan memang udah gak ada. Kita sebagai manusia gak bisa merubah apa-apa. tugas kita cuma menerima."
Bagaimana tidak? Kenapa Ryan mati? Kenapa harus sahabatnya?
Zyle merasa bagai dihujam puluhan juta bom di hatinya yang kecil. Pikiran sempit, mempertanyakan berkali-kali kenapa kematian itu sangat tiba-tiba seperti keinginan untuk buang air saja.
"Kak... kenapa Ryan mati?! Kenapa?!"
Ren maju membiarkan adik kesayangannya jatuh menangis di dadanya.
"Zi, gue juga gak tahu. gue juga terpukul."
Devano menatap kakak-adik itu. Lantas membuang nafas berat.
entah kenapa ia malah mendadak terus menerus melihat bayangan 'Ruka' disana.
"Ren, lokasinya dimana? Kira-kira kita bisa kesana?"
"Nggak Dev. Masih sibuk diurus. Kemungkinan baru besok bisa dilayat." jawab Ren lemah. Sebagai laki-laki, meskipun persahabatan mereka cenderung konyol dan bodoh, tapi justru hal-hal kecil itu yang mengeratkan hubungan mereka selama ini.
Ryan dikabarkan meninggal. Keluarganya masuk ke dalam berita utama akibat kecelakaan beruntun beberapa mobil dan satu truk pengangkut beban.
hari itu juga, Zyle kehilangan pelengkap setiap momennya, sepanjang waktu, tak ada kata kembali bagi yang sudah mati.
Bunda dan ayah menelfon juga setelah berita tersebar di grup sekolah.
mereka menghibur Zyle selama mungkin sampai hp Ren terasa panas disentuh.
Setelah kelelahan menangis, Zyle tertidur dengan posisi duduk di lantai, kepalanya terkulai diatas sofa.
hari mulai malam.
diam-diam Ren menangis tak jauh beda dengan sang adik. namun hanya sebentar, seolah menjadikan air mata itu salam perpisahan terakhir.
dalam tidurnya, Zyle bermimpi.
ia berjalan diatas Padang rumput luas selebar samudera, terus berjalan, menerus ke depan tanpa henti mengejar sosok Ryan yang berjalan di depan tanpa menoleh. Zyle berteriak memanggil, tapi sosok Ryan itu sama sekali tidak peduli. Dia berjalan, dan berjalan meninggalkan Zyle yang tertatih mengejarnya jauh di depan.
lalu, sebuah lobang hitam mendadak muncul, gadis itu terseret masuk dalam sekejap. Semakin dalam, terus masuk, kemudian sebuah tangan terulur memeganginya, saat dia melongok ke dalam lubang itu, Zyle menangis sekaligus tersenyum lebar.
itu Devano! Devano!
"DEVANO!"
Devano mendehem ringan, menoleh sejenak pada Zyle yang mungkin sedang mengigau.
"tumben bener nyebut nama gue.."
Pemuda itu mengunyah roti bakarnya yang semakin lama terasa hambar. Aneh, biasanya malam membuatnya tenang.
...***...